Perang Bubat adalah perang yang diceritakan pernah
terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan
mahapatihnya Gajah Mada. Perang ini melibatkan sejumlah besar pasukan
kerajaan Majapahit pimpinan Mahapatih Gajah Mada melawan sekelompok
kecil pasukan kerajaan Sunda pimpinan Prabu Maharaja Linggabuana, di
desa pelabuhan Bubat, Jawa Timur pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360
masehi.
Pertempuran yang sangat tidak seimbang tsb dimenangkan
secara mutlak oleh pihak Majapahit. Pasukan kerajaan Sunda dibantai
habis termasuk komandannya yang juga raja kerajaan Sunda, Prabu Maharaja
Linggabuana. Dan tidak cuma itu, permaisuri dan putri raja Sunda
bernama Dyah Pitaloka Citraresmi – yang sedianya akan dinikahkan dengan
raja Hayam Wuruk – ikut tewas dengan cara bunuh diri setelah meratapi
mayat ayahnya.
Diceritakan bahwa timbulnya perang ini akibat
kesalahpahaman mahapatih Gajah Mada saat melihat raja Sunda datang ke
Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit
prajurit sunda. Gajah Mada menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda
di pelabuhan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri kerajaan Sunda kepada
Majapahit. Hal ini menimbulkan perselisihan antara utusan Linggabuana
dengan Gajah Mada, dan memuncak hingga terjadi perang terbuka.
Sumber
tertua yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya Perang Bubat
ternyata hanya sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan
berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali,
berjudul Kidung Sunda. Pakar sejarah Belanda bernama Prof. Dr. C.C. Berg
pada awal tahun 1920an menemukan beberapa versi Kidung Sunda,
diantaranya Kidung Sundayana, yang merupakan versi sederhana dari versi
aslinya.
Secara analisis, Kidung Sunda harus dianggap sebagai
karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat. Meskipun
kemungkinan besar berasal dari Bali, tetapi tidak jelas apakah syair
tsb. ditulis di Jawa atau di Bali.Kemudian nama penulis tidak diketahui
dan masa penulisannyapun tidak diketahui secara pasti. Di dalam teks
disebut-sebut tentang senjata api, ini menunjukkan kemungkinan bahwa
Kidung Sunda baru ditulis paling tidak sekitar abad ke-16, saat orang
nusantara baru mengenal mesiu, kurang lebih dua abad dari era Hayam
Wuruk.
Lebih menarik lagi adalah bahwa dalam Kidung Sunda
ternyata tidak disebutkan nama raja Sunda, ratu/permaisuri, dan putri
raja. Diduga nama Maharaja Prabu Linggabuana dan nama putri Dyah
Pitaloka Citraresmi sengaja diambil karena bertepatan pada tahun-tahun
1360an tersebut dia memang merupakan raja Sunda dan putrinya.
Perlu
di perhatikan pula bahwa catatan peristiwa Perang Bubat tidak terdapat
di dalam kitab utama peninggalan Majapahit, Negarakretagama, yang
notabene ditulis oleh empu Prapanca sekitar tahun 1365 (satu tahun
sepeninggal Gajah Mada). Adalah hampir tidak mungkin jika peristiwa
besar sekaliber Perang Bubat dan belum lama terjadi tidak tercatat dalam
kitab itu. Hanya disebutkan bahwa desa Bubat adalah suatu tempat yang
memiliki lapangan yang luas, dan raja Hayam Wuruk pernah mengunjunginya
untuk melihat pertunjukan seni dan hiburan.
Sebenarnya peristiwa
bubat ini adalah upaya daripada devide et impera yang dilancarkan oleh
para penjajah belanda yang kemudia di kembangkan dan dilestarikan
kembali oleh penjajah bangsa Nusnatara yang bernama Indonesia saat ini,
bersama dengan penguasa Negara kesatuan republic Indonesia, devide et
impera terus dilestarikan, hukum belanda yang merupakan produk hokum
pemjajah untuk melestarikan penjajahannya juga terus dilestarikan Perlu
dikemukakan bahwa sang penulis Kidung Sunda (yang belum diketahui
orangnya) lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan,
seringkali bertentangan dengan sumber-sumber sejarah lainnya.
Sepertinya
kita perlu curiga bahwa cerita tentang Perang Bubat dalam Kidung Sunda
adalah fiksi belaka dan merupakan rekayasa dari pihak penjajah (Belanda
?) untuk tujuan perpecahan antar suku di pulau Jawa. Bisa jadi syair
tersebut diciptakan sendiri oleh ilmuwan Prof. Dr. C.C.Berg atas
perintah penguasa kolonial. Hal ini perlu adanya kajian yang lebih
mendalam.Akibat yang fatal yang telah dirasakan oleh bangsa kita atas
rekayasa tersebut (kalau memang benar) adalah adanya sikap etnosentrisme
orang Sunda terhadap orang Jawa, dan juga pandangan yang sangat negatif
orang Sunda terhadap tokoh/figur Gajah Mada (di Jawa Barat hingga saat
ini mungkin tidak ditemukan nama jalan; Gajah Mada).
Semoga
bangsa kita tetap bersatu dan tidak ada lagi rasa sentimen kesukuan.
Karena sikap etnosentrisme tidak lain adalah hasil dari rekayasa politik
pemecah belah si penjajah.Sejarah tak bisa ditutup-tutupi, apalagi
dihilangkan. Sedalam apapun dipendam, bahkan dikubur sekalipun, suatu
saat sejarah akan terangkat muncul dan menampakkan diri ke permukaan
sebagai pengakuan kebenaran. Salah satu peristiwa lama yang selama ini
terpendam adalah menyangkut Perang Bubat cerita tentang perang tersebut
tidak dilengkapi data akurat.Buktinya penggalian purbakala di Trowulan
dan di lapangan Bubat, tak ada temuan yang dapat mendukung terjadinya
peristiwa itu.Bubat dilukiskan sebagai bandar tempat kapal atau perahu
berlabuh karena terletak di tepi sebatang sungai besar. Di sana terdapat
sebuah lapangan upacara yang luas tempat dipusatkan keramaian atau
upacara kenegaraan dan keagamaan. Jika ingin menghadiri upacara
tersebut, Raja Hayam Wuruk datang ke Bubat dengan mengendarai kereta
yang ditarik empat ekor kuda.
Pusat Kerajaan Majapahit
pun berbeda dengan anggap-an awam selama ini yang membayangkan tempat
tersebut sebagai sebuah wilayah yang dikelilingi tembok tinggi sebagai
benteng pertahanan. Pusat kota Kerajaan Majapahit dikelilingi oleh
kanal-kanal yang saling berpotongan sehingga membentuk areal yang
berbentuk segi empat. lokasi Bubat bukan sebagai pusat kerajaan
Majapahit, di sekitar Bubat diperkirakan sebagai lingkungan yang padat
penduduk. Seharusya jika terjadi peperangan, tentulah diketahui oleh
masyarakat sekitar. Kalaupun terjadi pertempuran, barangkali bukan
pertempuran besar. Arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar
belum pernah mendatangi langsung tempat yang disebut-sebut sebagai
lokasi pecahnya Perang Bubat "Menurut informasi, lapangan Bubat itu
sekarang berada di Desa Tempuran. Tempuran yang dimaksud bukan pertemuan
antara dua sungai, tetapi tempat bertempumya pasukan-pasukan zaman
dulu," katanya.
Bubat bisa jadi berasal dari kata "butbat"yang
berarti jalan yang lega dan lapang.biasanya pada sebuah situs peperangan
ditemukan benda-benda arkeologi yang bisa menjadi bukti terjadi perang.
Misalnya ditemukan tombak dan keris yang berceceran.Nmun pada peristiwa
Bubat ini, sanagt miskin bukti arkeologi. Bahkan bisa dibilang, belum
ada bukti arkeologinya. Peristiwa sejarah akan lebih dipercaya jika
mempunyai bukti-bukti arkeologi. Apalagi kalau sampai ada prasasti yang
menerangkannya, tidak akan bisa dibantah.
Bukti arkeologi akan
memperkuat bukti sejarah yang berupa naskah-naskah kuno. Naskah kuno
biasanya sudah melalui proses penyalinan berkali-kali sehingga
memungkinkan adanya perubahan dari naskah aslinya Tetapi setidaknya
terdapat empat naskah Sunda kuno yang menyebut peristiwa Bubat, meski
dalam versi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, peristiwa ini juga tidak
bisa diabaikan begitu saja. "Bukan berarti peristiwa itu tidak pernah
ada," katanya.Bernard H.M. Vlekke, Guru Besar Universitas Leiden,
Belanda, penulis buku Nusantara. Sejarah Indonesia, menyebutkan bahwa
lokasi Bubat yang diambil dari Kidung Sunda. Bubat adalah sebuah
lapangan besar di sebelah utara Trowulan, ibu) kota Majapahit.
DI kalangan masyara-kat Sunda, peristiwa Bubat yang lebih sering disebut
Perang Bubat, bisa dijumpai dalam beberapa naskah kuno yang ditulis hampir
dua abad setelah peristiwanya terjadi. Naskah-naskah itu antara lain
Pararaton, Kidung Sunda, Carita Parahyangan, dan naskah Wangsakerta.
Sebaliknya, naskah Nagarakertagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca sama
sekali tidak menyinggung peristiwa tersebut.
Naskah-naskah kuno itu banyak dijadikan acuan dalam menulis Sejarah Jawa
Barat. Salah satu di antaranya buku "Sejarah Jawa Barat" yang ditulis
wartawan dan budayawan Drs. Yoseph Iskandar. Di sana, Yoseph melukiskan
peristiwa
itu secara mengharukan.Lewat "Pararaton" dan Pustaka Nusantara II/2
yang diambil dari naskah Wangsakerta terjemahan Drs. Saleh Danasasmita
(alm), peristiwa itu bisa
dituturkan kembali sebagai berikut: "Kemudian terjadi peristiwa orang Sunda
di Bubat. Sri Prabu ingin memperistri putri dari Sunda. Patih Madu diutus
mengundang orang Sunda. Maksudnya mengharap agar orang Sunda menikahkan
putrinya. Lalu raja Sunda datang di Majapahit. Sang ratu Maharaja tidak
bersedia mempersembahkan putrinya. Orang Sunda harus meniadakan selamatan
(jangan mengharapkan adanya upacara pesta perkawinan) kata sang utusan. Sang
Mahapatih Majapahit tidak menghendaki pernikahan (resmi), sebab ia
menganggap rajaputri sebagai upeti".
Karena merasa terhina, Raja Sunda dan rombongannya menolak permintaan
tersebut. Apalagi Kerajaan Sunda bukan bawahan dari Kerajaan Majapahit. Raja
Sunda merasa sejajar dengan Majapahit, sehingga akhirnya terjadilah Perang
Bubat pada hari Selasa-Wage sebelum te-ngah hari, tanggal 13 bagian terang
bulan Badra tahun 1279 Saka.
Orang Sunda sebenarnya cukup lama bersabar menanti peng-akuan dari para
penulis sejarah di luar Jawa Barat dalam menyikapi peristiwa Perang Bubat.
Jika memang terjadi, mengapa hanya para penulis sejarah dari Jawa Barat saja
yang mengangkat peristiwa itu sebagai fakta sejarah.
Sebaliknya jika memang tidak pernah terjadi, bukan hanya ganjalan hubungan
emosional dua daerah yang bertetangga yang bisa dihilangkan. Tetapi
bagian-bagian yang mengisahkan peristiwa tersebut dalam naskah-naskah kuno
di atas, patut dikesampingkan atau bahkan diabaikan karena dianggap
menyesatkan. Namun jika benar kandungan naskah kuno tersebut, mengapa kita
harus malu dan kemudian berusaha menutup aib seseorang yang selama itu
berambisi menyatukan seluruh wilayah Nusantara. Bukankah pepatah lama
mengatakan, "Tak ada gading yang tak retak?"
Apalagi
sejarah yang ditulis dengan jujur bukanlah untuk mempermalukan
seseorang. Tetapi bisa merupakan cermin untuk generasi berikutnya,
sehingga tidak mengulang kekeliruan atau kesalahan yang sama. Dalam
buku-buku sejarah yang ditulis oleh pengarang dari luar Jawa Barat,
paling tidak terdapat dua buku yang memuat Perang Bubat menurut versi
masing-masing.Peristiwa itu menjadi bagian dalam buku "Peperangan
Kerajaan di Nusantara" (Penelusuran Kepustakaan Sejarah) yang ditulis
Capt. R.P. Suyono (Grasindo, 2003: 18). Suyono tidak menyebut peristiwa
itu sebagai peperangan, namun dianggap sebagai "perkelahian". Padahal,
katanya sendiri, dalam peristiwa itu, Raja Sunda dan seluruh
pengiringnya tewas. Putri Sunda dibawa paksa ke Majapahit, namun tak
lama kemudian meninggal.
Menjadi pertanyaan, jika
dianggap "perkelahian" saja, mungkinkah mengakibatkan banyak orang
tewas? Kalau perkelahian kan paling tidak hanya mengakibatkan luka
kecil, benjol-benjol atau benjut. Paling tidak, tangan atau kakinya
terkilir.Perkelahian sangat berbeda dengan perang. Perkelahian, menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zain (Pustaka Sinar Harapan, 1996)
berasal dari kata "kelahi". Berkelahi artinya mengadu tenaga, berhantam,
bertinju, mengadu buku jari. Sebaliknya, "perang" artinya pertempuran
dengan senjata antara dua negara, perkelahian besar antara dua kelompok
orang, perlawanan yang sungguh-sungguh. Yang tak kalah menariknya adalah
buku sejarah terbaru yang memberi tempat cukup panjang untuk Perang
Bubat, "Jejak Nasionalisme Gajah Mada-Refleksi Perpolitikan dan
Kenegaraan Majapahit untuk Masa Depan Indonesia Baru" yang ditulis oleh
Dr. Purwadi M.Hum (DIVA Press, Jogjakarta, Agustus 2004). Kajiannya
mengangkat Gajah Mada sebagai mahapatih dan sekaligus tokoh sentral yang
mengantarkan puncak kejayaan Majapahit di bawah kepemimpinan Hayam
Wuruk yang berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan di wilayah
Nusantara.
Sebagian besar perluasan wilayah kekuasaan itu
berhasil diraih berkat peperangan. Namun tidak demikian halnya dengan
Kerajaan Sunda yang menguasai wilayah bagian barat Pulau Jawa. Purwadi
secara terang-terangan mengungkapkan upaya Gajah Mada melalui tipu
muslihat sehingga pada tahun 1357 bisa mendatangkan Sri Baduga dan para
pembesar Sunda ke Majapahit dan dibinasakan secara kejam di lapangan
Bubat. Mengutip dasar tulisannya dari Kidung Sundayana, buku setebal 270
halaman itu, sembilan halaman dalam Bab VIII, Sumpah Palapa Gajah Mada
Sebagai Politik Integrasi Nasional, bagian ini mengangkat hubungan
dengan dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran yang belum juga mengakui
kekuasaan Majapahit, walau sudah dua kali diserang. Akhirnya, alih-alih
Raja Hayam Wuruk yang lajang ingin menyunting putri Sunda yang kesohor
cantik jelita, maka diutuslah Tuan Anepaken untuk melamar Dyah Pitaloka
Citraresmi.
Maka ketika tiba saatnya, ratusan rakyat mengantar
keberangkatannya yang disertai raja dan para bangsawan Sunda ke
Majapahit dengan menggunakan perahu. Namun tiba-tiba, laut yang semula
biru, secara mendadak dilihatnya berubah menjadi hamparan air yang
berwarna merah. Tanda-tanda buruk itu rupanya tidak dihiraukan, sehingga
setelah sepuluh hari berlayar, rombongan tiba di Bubat.
Namun
apakah yang terjadi kemudian. Gajah Mada merasa keberatan menyambutnya
karena menganggap putri Dyah Pitaloka Citraresmi akan "dihadiahkan"
kepada Sang Raja. Sebaliknya Raja Sunda dan rombongan tetap bersikukuh
bahwa putri Sunda yang cantik jelita itu akan "dipinang" oleh Hayam
Wuruk. Perbedaan pendapat yang kemudian menimbulkan ketegangan itu
akhirnya mencapai puncaknya setelah utusan Pasundan yang bernama Patih
Anakepan mencela dengan keras sikap Gajah Mada. Bahkan ia mengingatkan
adanya bantuan Pasundan yang tidak sedikit kepada Majapahit ketika
menaklukkan Bali.
Purwadi menuturkan, sebelum ada keputusan
sidang mahkota, Gajah Mada mendahului menyerang di sebelah utara kota
Majapahit. Maka peperangan pun tak terhindarkan. Para kstaria terkemuka
dari pihak Sunda yang bersemangat berperang ialah Larang Agung, Tuan
Sohan, Tuan Gampong, Panji Melong, orang-orang dari Tobong Barang,
Rangga Cahot, Tuan Usus, Pangulu, Rangga Kaweni, orang Siring,
Satrajali, Jagadsaya, dan banyak lagi. Namun karena tujuan mereka bukan
untuk berperang, maka hasil akhir peperangan itu sudah bisa ditebak.
Dalam membela kehormatan martabatnya dan Kerajaan Sunda, Sang Prabu
Maharaja gugur lebih dulu, jatuh bersama Tuan Usus. Namun peperangan
masih belum berakhir.Para ksatria Sunda lainnya mengikuti jejak Prabu
Maharaja, namun mereka terdesak dan akhirnya gugur. Pada halaman 173,
Purwadi menggambarkan korban akibat peperangan tersebut secara dramatis:
"Darah seperti lautan, bangkai seperti gunung, hancurlah orang Sunda,
tak ada yang ketinggalan". Peristiwa ini terjadi pada tahun Saka
sembilan kuda sayap bumi, atau tahun 1279.Prabu Maharaja yang gugur di
Bubat sebagaimana diungkapkan naskah-naskah kuno di Sunda, memerintah
selama tujuh tahun (1279-1357 M). Ia dikenal sebagai raja yang adil dan
bijaksana, sehingga kematiannya yang tragis selalu dikenang.
Untuk
mengisi kekosongan, selama enam tahun dari tahun 1357-1363 M, tampuk
kekuasaan kerajaan berada di bawah perwalian Hyang Bunisora karena putra
mahkota Prabu Niskala Wastu Kancana saat itu masih berusia di bawah
umur. Setelah itu, Prabu Niskala Wastu Kancana memerintah dalam kurun
waktu cukup lama, yakni selama 104 tahun, dari tahun 1363-1467. Ia
dikenal juga sebagai Prabu Wangi yang menurut sumber-sumber prasasti,
pernah memerintah dan meninggal di Kawali/Galuh. Ia memerintah dengan
adil, sehingga mengantarkan kerajaan pada kebesaran dan kejayaan.
Hayam
Wuruk yang merasa sangat menyesal dengan terjadinya Perang Bubat,
ternyata tetap menepati janjinya tidak menyerang Kerajaan Sunda. Bahkan
sampai akhirnya masa keemasannya makin suram dan kemudian Majapahit
mengalami kehancuran
beberapa data yang patut dikaji ulang mengenai peristiwa Bubat
1. Kidung Sunda,
Bahwa
ketika melihat Dyah Pitaloka mati, Hayam Wuruk sedih hatinya dan tak
lama setelah itu maka Hayam Wuruk meninggal dunia, yang menjadi
pertanyaan adalah jika setelah beberapa saat peristiwa Lapangan Bubat
Raja Hayam Wuruk mangkat maka pada usia berapa tahun Hayam Wuruk
memiliki anak yaitu Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana,
andai saja kidung itu benar seharusnya akan ada masa kekosongan posisi
Raja Majapahit karena putri Kusumawardhani masih kecil dan ini tentunya
akan jauh lebih heboh.
Disebutkan bahwa utusan Majapahit ke Sunda
hanya menempuh waktu 6 hari dengan menggunakan kapal, jika menggunakan
kapal besar kemungkinannya melalui sungai brantas, sementara sungai
brantas bermuara di selat surabaya berarti jauh sekali, jika melalui
laut selatan mungkinkah? lantas benarkah kejadian tersebut!
2. simulasi angka tahun sejarah(data diambil dari wikipedia)
- 1334 Hayam Wuruk lahir (ditandai dengan gempa besar di prabanyu pindah)
- 1351 peristiwa lapangan Bubat berarti usia Hayam Wuruk 17 tahun(1351-1334=17)
-
1365 dalam negara krtagama Kusumawardhani sudah menikah dengan
Wikramawardhana, jadi usia Kusuma wardhani pada saat peristiwa bubat
adalah kurang dari 14 tahun(1365-1351=14), dan usia Hayam Wuruk adalah
31 tahun (1365-1334=31)
- 1377 Hayam Wuruk menyerang palembang sebagai penundukan atas Sriwijaya, usia Hayam Wuruk 43 tahun (1377-1334=43)
- 1389 Hayam Wuruk Meninggal di usia 55 tahun(1389-1334=55) dan wikramawardhana menjadi raja
jika
hal di atas benar maka benarkah kutipan dalam pararaton menyebut bahwa
Hayam Wuruk meninggal setelah peristiwa bubat karena kesedihan atas
meninggalnya Dyah Pitaloka, karena berdasar data tersebut Hayam Wuruk
meninggal 38 tahun setelah peristiwa Bubat!!
source: http://politikana.com/baca/2010/05/30/perang-bubat-sebuah-kebohongan-para-pemecah-belah-nusantara.html
Menarik untuk terus digali kebenaranya ada dan tidaknya perang Bubat agar generesai mendatang dapat menilai bukti sejarah secara arif. Karena akibat dongeng perang Bubat ini masih saja terjadi rajutan emosi terutama dari sementara sdr2 Sunda yang masih menyimpan dendam kepada Gajah Mada dan membawa sifar sinis berupa ejekan atau umpatan kepada orang Jawa kemasa sekarang.....
BalasHapussaya lebih condong menyetujui kalau cerita perang Bubat ini sebagai rekayasa penjajah belanda yang kewalahan dengan pergerakan di berbagai daerah, dan kebanggaan rakyat terhadap leluhur mereka yang bisa menyatukan berbagai bangsa dalam satu perserikatan di bawah majapahit
BalasHapusdisamping itu, wilayah majapahit berkembang semakin meluas bukan karena perang.... tetapi karena pendekatan secara diplomasi sehingga bangsa2 tersebut tertarik untuk bergabung jadi satu di bawah kendali majapahit..
apalagi saya pernah dengar tutur dari sejarawan KH Agus Sunyoto bahwa pararaton dan kidung sunda di buat jaman kerajaan mataram islam masa kekuasaan amangkurat (entah yg ke berapa saya Lupa..) silakan saksikan di youtube ceramah Prof. DR KH. Agus Sunyoto
Betul mas,saya percaya sekali dg hasil penelitian alam prof Agus Sunyoto dari NU.yg juga peneliti dokumen 2 kuno di Leiden belanda.perang Bubat dikarang oleh seorang suruhan Belanda dari Kediri,paska perang Diponegoro, tentu dg cerita mirip2,Pararaton atw negara' kertagama.semoga ada penerus prof Agus untuk meluruskan sejarah Nusantara.
HapusKoreksi:
BalasHapusPerang Bubat tahun 1279 Saka atau 1357 M, negara kertagama di tulis tahun 1287 Saka atawa 1365 M, prabu Hayam Wuruk lahir 1333, jadi pada wktu kejadian Palagan Bubat Hayam Wuruk berusia 24 th
Jadi jelas Palagan Bubat tidak akan tertuang dalam negara kertagama karena Palagan Bubat terjadi setelah negara kertagama selesai ditulis
BalasHapusKl psrang bubat 1357 dan negara kertagama ditulis 1365 berarti negara kertagama ditulis setelah peeistiwa perang bubat bro,bukan sebbaliknya
HapusItulah anehnya jika memang perang bubat benar2 terjadi tdk mungkinlah peristiwa besar itu tdk tertulis dlm kitab negara kertagama cuma selisih 8 tahun setelah perang trsebut..atau malah sengaja tdk di tulis ...??! Itu malah tdk mungkin....
BalasHapusSaya cenderung berasumsi perang Bubat itu tidak ada. Karena bagaimana pun kerajaan Sunda adalah sedarah dengan Majaphit. Raden Wijaya kakek dari Prabu Hayam Wuruk adalah anak dari Raja Sunda. Cerita Perang Bubat adalah cerita fiksi yang ingin mengadu domba orang suku sunda dengan suku jawa.
BalasHapus