Minggu, 12 Februari 2012

Arus Balik - Pramoedya Ananta Toer

ARUS BALIK adalah bagian dari suatu proyek besar studi sejarah Nusan­tara yang dilakukan Pramoedya sebelum ditahan pada 1965. Terpaksa dia menulis hasil risetnya semasa tahanannya di Pulau Buru (1969–1979) tanpa membawa sebaris pun catatannya. Yang dihasilkan bukanlah sebuah thesis sejarah, tetapi novel sejarah sebagaimana juga halnya de­ngan sejarah gerakan kebangkitan kebangsaan Indonesia yang dituangkannya dalam bentuk novel tetralogi Bumi Manusia.
      ARUS BALIK mung­kin merupakan novel pertama dalam khazanah sastra Indonesia mo­dern yang mengisahkan Nusantara dalam segala kemegahannya sebagai kesatuan maritim, sebagai kekuatan bahari yang jaya. Bagi Pramoedya kekuatan citra bahasa Indonesia, berikut segenap wawasan falsafah dan estetiknya tertempa dan berkembang berkat wawasan kelaut­annya yang berwatak luas menembus kedangkalan dan kekerdilan; sebagaimana juga kejayaan persatuan dan kesatuan Indonesia dilahirkan oleh gelora kebaharian – sebalik­nya kawasan-kawasan pedalaman agraris me­ngungkung wawasan berpikir, cenderung membentuk watak kerdil dan kemunafikan akibat tiada­nya sentuhan gemuruh gelombang lautan.
      Maka benar sekali ucapan Pramoedya, Indonesia tak habis-habis­nya dirundung masalah integrasi dan tersendat perkem­bang­annya, di­sebabkan sebagai kekuatan bahari Indonesia sejak merdeka justru selalu diatur oleh kekuasaan ang­katan darat dengan watak khasnya yang bukan saja tak kenal, malah meminggirkan wawasan kebaharian.
      Sebagai penulis yang pada tempat pertama adalah novelist, Pram sengaja memilih menuangkan hasil penelitiannya dalam bentuk no­vel daripada suatu karya ilmiah. Di situ pulalah letak kekhasan Pramoedya sebagai novelist : dia seorang master dalam mempresentasikan pesan yang dikan­dung sejarah bagi semua segment masyarakat, mulai dari pembaca paling awam sampai kepada lingkungan paling terpelajar. Lingkaran pembaca seluas-luasnya itu­lah yang ingin dia jangkau, bukan hanya sejumput intelektual dari lingkaran masyarakat ilmiah, melainkan semua lapis masyarakat diharapkannya dapat mencerna dan memahaminya.
      Sebagaimana juga karya-karya sebelumnya, kekuatan bahasa dan imajinasinya menjadi wahana gaya bercerita Pramoedya yang dengan kemahir­an kepujanggaannya mampu menjalin-jalin dan memilin-milin fakta dan fiksi sambil tetap berkukuh pada hakekat kebenaran sejarah.

ARUS BALIK adalah suatu epos pasca kejayaan Majapahit pada saat arus zaman membalik, pada saat segalanya berubah – kekuasaan di laut menjadi kekuatan darat yang mengkerut di pedalaman, ke­mulia­an menukik ke dalam keme­rosotan, kejayaan berubah ke kekalahan, kecemerlangan cendikia menjadi kedungu­­an dalam penalaran, kesatuan dan persatuan berubah menjadi perpecahan yang memandulkan segala kegiatan.
        Wiranggaleng, seorang pemuda desa sederhana, protagonis dalam epos kepahlawan ini berkata : “Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal besar dibuat hanya oleh kerajaan besar, kapal kecil oleh kera­jaan kecil, menyebabkan arus tidak berge­rak lagi dari selatan ke u­tara. ‘Atas Angin’ sekarang unggul, membawa segalanya ke Jawa, termasuk kehancuran, penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita makin kecil untuk kemudian tidak mempu­nyai lagi ....
       “Semasa jaya Gajah Mada, arus ber­gerak dari selatan ke utara; segala­-galanya : kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya dan cita-cita­ dan citranya – berge­rak dari Nus­an­tara di selatan ke ‘Atas ­Angin’ di utara, sebab Nus­antara bukan saja kekuatan darat tetapi juga ­ke­rajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ....”
        Pramoedya bukan menangisi kebesaran masa lalu, tidak merindukan kejayaan purbakala, tetapi dia bernostalgi dengan masa depan yang cerah. Baginya sejarah merupakan cermin paling jernih, refe­rensi terpercaya untuk suatu perubahan guna membangun masa depan yang lebih baik. Itulah isi paling substansial Pramoedya bila ia meng­orek-orek sejarah; di situ­lah kecintaannya pada rakyat dan tanah tumpah darahnya. Sedemikian banyak pelajaran dipersembahkan oleh sejarah dan diterus­kan oleh Pramoedya kepada masyarakat luas lewat keunggul­an pèna­nya. Dia menulis betapa kekuat­an dan kesatuan maritim Nusantara pernah mengimbak-imbak megah berpendaran da­mai ke utara, tetapi kemudian arus membalik. Arus raksasa menggelombang dari utara menghempas Nusantara mundur ke selatan – yang ter­tinggal hanya negara-kota kecil-kecil di pesisir utara Jawa, bahkan lebih jauh lagi mundur sampai ke pedalaman, ke desa-desa di kaki-kaki pegunungan. Mundur, mundur te­rus sampai ke pedalaman bukan hanya geografis, tetapi lebih-­lebih lagi mundur ke pedalaman diri sendiri, ke pedalaman nurani dan kenalurian yang mengganti  nalar rasional. Merasuk dalam ke pedalaman diri yang paling aman, pe­dalaman yang tak akan mampu disentuh oleh siapa pun; peda­laman di mana bisa diba­ngun kekuasaan paling perkasa dan ­bisa berbuat segala-galanya,... kha­yal dan kenyataan bersimpang­an tanpa batas, akhirnya ... lahirlah mistik Jawa yang menjamur dan membudaya pada prilaku manusia­nya. Bukankah arus utara
yang pa­ling hebat pun tak mampu meng­hadap­i kekuasaan dahsyat Ratu Laut­an Kidul yang tak tertaklukkan itu? Akhir­nya ARUS BALIK bukan hanya lagi kisah tentang para sultan dan para adipati Nus­antara dan Jawa, dia juga kisah tentang manusia Nusantara, manusia Jawa, kultur Jawa, kisah tentang “the Javanese mind” dengan berbagai perwatakannya. Kebesar­annya, kearifannya, kemunafikannya, eufemis­­­m­enya.

ARUS BALIK adalah sebuah karya monumental Pramoedya – malah ada yang meng­anggapnya  lebih besar dibanding karya-karya sebe­lumnya selama ini, seperti a.l. tetra­logi Bumi Manusia yang sudah menyebar dalam berbagai bahasa asing di du­nia. Di negeri merdeka dan di antara manusia merdeka, orang merdeka menafsir, bagaimana dan ke mana pun mau ditafsirkan. Yang pasti ARUS BALIK adalah juga literatur maritim Nusan­tara, tonggak baru dan sumbang­an tak ternilai dalam khazanah sastra Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar