Sikap Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang menentang dan tidak bersedia
tunduk dibawah kekuasaan Majapahit menimbulkan ketegangan antara
Kerajaan Bali dan Kerajaan Majapahit. Dalam rapat yang diadakan oleh
Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi dengan para Mentri Kerajaan, Patih
Gajah Mada menyampaikan sindiran secara halus melalui seorang pendeta
istana (Pendeta Purohita) yang bernama Danghyang Asmaranata
“ Ada suatu cerita yang menceritakan sorga yang rusak akibat ulah
dari seorang manusia. Semua Gandarawa takut karena diserang oleh manusia
yang bernama Werkodara “
Ratu Trihuwana Tunggadewi yang telah maklum akan maksud sindiran tersebut kemudian menjawab
“ Sungguh benar katamu itu Mada kalau tidak Bhatara Bayu lekas
datang menasehati sang Werkodara, pastilah sorga itu hancur lebur
keadaannya.
(Pendeta Purohita Danghyang Asmaranata kemudian meyampaikan pendapatnya
“Memang benar sabda paduka, perihal yang tadi disebut Bhimaswarga karena sang Werkodara itu sungguh sungguh teguh dan perwira “
Atas saran kedua orang kepercayaanya tersebut Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi kemudian memerintahkan kepada para Menterinya
“ Wahai paman paman sekalian, kini ada yang kami anggap manusia yang
bernama Werkodara mengacau sorga yakni Raja Bali. Beliau sekarang tidak
mau menghiraukan perintah kita disini. Oleh Karena itu marilah kita
mencari Bhatara Bayu untuk menasehati atau menghukum Raja Bali itu “
Demikianlah hasil rapat tersebut yang memutuskan melaksanakan
ekspedisi ke Pulau Bali untuk menangkap Raja Sri Astasura Ratna Bumi
Banten. Namun demikian usaha untuk menundukkan Bali tidaklah mudah
karena Kerajaan bali dikawal oleh patih dan menteri yang memiliki
kesaktian yang sangat tinggi sehingga sulit ditaklukkan. Patih patih
yaitu diantaranya Ki Pasung Grigis dan Ki Kebo Iwa
Rapat akhirnya memutuskan bahwa sebelum Gajah Mada melakukan
penyerangan ke Bali maka Kebo Iwa sebagai orang yang kuat dan sakti di
Bali harus disingkirkan terlebih dahulu. Jalan yang ditempuh dengan tipu
muslihat yaitu raja putri Tribhuwana Tunggadewi mengutus Gajah Mada ke
Bali dengan membawa surat yang isinya seakan-akan raja putri
menginginkan persahabatan dengan raja Bedahulu.
Keesokan harinya berangkatlah patih Gajah Mada ke Bali melalui
lapangan Bubat kemudian meyusuri pantai dipesisir desa Pejarakan,
Telagorung, Palu Ayam, Kapurancak dan mendarat di pantai Jembrana. Dari
sana patih Gajah Mada melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki
melalui pesisir Umabangkah, Seseh, Kadungayan, Kalahan , Tuban dan terus
ke Gumicik. Dari Gumicik Patih Gajah Mada mengarah ke utara menuju
Sukawati. Di Sukawati Patih Gajah Mada dijemput oleh Kipasung Grigis
yang sudah mengetahui perihal kedatangan patih Gajah Mada tersebut ke
Bali.
Dalam pertemuannya dengan Ki Pasung Grigis, Patih Gajahmada
menyampaikan maksud dan tujuannya ke Bali karena diutus oleh Ratu
Tribhuwana Tunggadewi untuk menyampaikan surat kehadapan Raja Sri
Astasura Ratna Bumi Banten. Mendengar keterangan tersebut Ki Pasung
Grigis sangat risau hatinya karena menduga pasti ada sesuatu hal yang
sangat penting sampai mengutus seorang patih Gajah Mada yang sangat
disegani di wilayah Nusantara untuk datang ke Bali. Ki Pasung Grigis
mempersilahkan Patih Gajah Mada untuk menunggu terlebih dahulu di Karang
Kepatihan karena kedatangan Patih Gajahmada akan dilaporkan terlebih
dahulu Kehadapan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten.
Tiada diceritakan dalam perjalanannya Ki Pasung Grigis akhirnya
sampai di Istana Bedulu dan langsung menghadap sang Prabu untuk
melaporkan perihal kedatangan Patih Gajah Mada dari Majapahit. Kemudian
atas ijin sang Prabu, Patih Gajah Mada kemudian mempersilahkan Patih
Gajah Mada untuk menghadap Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten di Istana
Bedulu.
Dihadapan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten patih Gajah Mada
menyampaikan maksud kedatangannya dan menyerahkan surat dari Ratu
Majapahit Tribhuwana Tunggadewi. Surat tersebut kemudian diterima yang
isinya
“ Hormat susuhunan pukulun yang menaungi bumi Bali ini. Kami di
Majapahit sebagai burung elang dalam bulan oktober, berkepanasan
berharap harap hujan. kami disini sebagai burung tadahasih yang selalu
meratap pada waktu bulan tak bersinar. Tiada lain hanya Sri Susuhunanlah
yang patut menaungi bumi ini dan yang patut dijunjung. Dari itu harapan
kami janganlah kiranya paduka tuan menyimpang dari tali persahabatan
kita yang sudah erat sedari dulu. Kami risau karena menurut berita
berita yang kami peroleh, Konon Sri Susuhunan akan menyerang kekuasaan
kami di Jawa. Nah jika sungguh kabar itu demikian, kami mohon sekali
agar penyerbuan paduka terhadap kami diurungkan. Maksud kami tak lain
dan tak bukan hanya berkawan saja dengan Sri Susuhunan disini. Sekiranya
maksud kami, paduka setujui maka kami mohon kiranya Paduai sudi
mengirim Ki Kebo Iwa yakni patih paduka yang masih jejaka ke Jawa
bersama patih Gajah Mada. Maksud kami, ia akan kami nikahkan dengan
putri lemah Tulis yang sangat masyur kecantikannya. Itulah kebaikan kami
yang kami tunjukkan kepada paduka demi untuk mempererat persahabatan
diantara kita. Sekian hormat dari kami Tribhuwana “
Demikianlah isi surat dari ratu Tribhuwana Tunggadewi. Sri Baginda
sangat gembira hatinya setelah membaca surat tersebut dan hatinya tiada
terbalas akan kebaikan hati ratu Majapahit tersebut. Menanggapi tawaran
dari Majapahit, Patih Kebo Iwa yang setia terhadap rajanya, memohon
petunjuk dan persetujuan dari baginda Sri Astasura Bumi Banten. Sang
Raja menyetujuinya tanpa rasa curiga. Sebelum pergi ke Majapahit, Patih
Kebo Iwa terlebih dahulu melakukan upacara keagamaan di Pura Uluwatu,
untuk meminta kekuatan dari Sang Hyang Rudra. Dan Sang Hyang Rudra
memenuhi permintaan Kebo Iwa, mengakibatkan meningkatnya kekuatan dan
kesaktian menjadi sangat luar biasa.
Patih Gajah Mada bersama Ki Kebo Iwa kemudian mohon pamit kepada Sri
Baginda. Mereka berjalan mengarah keselatan menuju pesisir pantai.
Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan mengarungi lautan, namun ketika
sampai di tengah lautan tiba tiba Ki Kebo Iwa terjatuh ke dalam lautan.
Hal tersebut memang telah direncanakan sebelumnya oleh patih Gajah Mada
untuk menyingkirkan Ki Kebo Iwa. Akan tetapi walaupun jatuh di laut yang
dalam Ki Kebo Iwa karena kesaktiannya mampu berenang dan menyusul
sampan patih Gajah Mada. Melihat hal tersebut patih Gajah Mada tiada
berdaya lagi dan mencari jalan lain untuk menyingkirkan ki Kebo Iwa.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang akhirnya sampailah mereka
disisir pantai Banyuwangi. Disana mereka mampir di rumah Raden Arya.
Keesokan harinya patih Gajah Mada akan melanjutkan perjalanannya ke
Majapahit dan minta ke pada Kebo Iwa untuk menunggunya di tempat ini
karena ia akan meloporkan terlebih dahulu hasil perjalanannya ke Pulau
Bali kepada Ratu Majapahit.
Tidak diceritakan dalam perjalanannya sampailah Patih Gajah Mada di
Istana Majapahit dan langsung menghadap Ratu Tribhuwana Tunggadewi
melaporkan hasil kunjungannya ke Pulau Bali menemui Raja Sri Astasura
Ratna Bumi Banten. Patih Gajah Mada juga melaporkan bahwa telah berhasil
membawa Kebo Iwa kemari dan sekarang telah menunggu di banyuwangi di
rumah Raden Arya serta berbagai upaya yang telah dilakukan untuk
melenyapkan Kebo Iwa namun selalu menemui kegagalan. Setelah melalui
perundingan yang cukup panjang akhirnya diputuskan bahwa upaya yang
ditempuh adalah dengan menyediakan soerang gadis cantik untuk menggoda
Kebo Iwa.
Ki Kebo Iwa adalah seorang yang sangat disegani karena kesaktian
yang dimiliki dan sifat pemberani serta kejujuran hatinya sehingga
sampai sampai Majapahit yang sangat termasyur akan kejayaannya di medan
pertempuran mengalami kesulitan untuk menundukkan kerajaan Bali kalau
patih Kebo Iwa masih ada.
Untuk mengungkap lebih jauh tentang keberadaan Kebo Iwa berikut kami uraikan mengenai asal usul beliau :
Di desa Bedahulu wilayah kabupaten Tabanan, Bali pada zaman dahulu,
hiduplah sepasang suami istri yaitu Ki Demang yang terkenal dengan lurah
Bekung ( Lurah-sakti dan bekung ). Lama beliau tidak berputra sedangkan
Ki Demang ini sangat dihormati, disegani, oleh kawan dan lawan,
beliaulah yang menciptakan Yeh ngenu, hasil dari membedah-hulu sungai,
sehingga desanya disebut dengan desa Bedah-Hulu ( bukan bedahulu ) yang
tadinya desanya adalah kering krontang, tandus dengan adanya Yeh Ngenu,
maka desanya menjadi subur makmur, sampai terkenal kesuburannya didaerah
Bali. Hanya sayang beliau tidak punya keturunan, akhirnya dengan
menggunakan Mantramnya untuk Nyeraya Putra ( Nunas kesidian ngelungsur
Putra ) dengan jalan Agni Gotra, beliau mohon kepada Sang Pencipta untuk
diberikan keturunan. Namun karena niat yang terlalu besar untuk
mempunyai keturunan sehinnga secara tidak sengaja istrinya menyampaikan
permohonan yang berlebihan .
"Asalkan diberkati putra, berapapun kuat makan putranya itu akan diladeni”
demikianlah konon sosot / sesangi tambahan yang nyeplos dari istri
Ki Demang tersebut. Waktu pun berlalu sampai akhirnya sang istri mulai
mengandung, betapa bahagianya mereka. Beberapa bulan kemudian, lahirlah
seorang bayi laki-laki. Bayi tersebut hendak disusui oleh ibunya, namun
jarinya terus menunjuk ke arah sebuah nasi kukus. Bahwa nantinya anak
ini akan menjadi tokoh besar, sudah nampak tanda- tandanya sejak dini.
Bayi itu menangis merengek seolah meminta sesuatu. Sang Ibu kasihan
mendengar rengekan sang bayi , Ibu kemudian mengambil nasi kukus
tersebut dan mencoba untuk memberikannya pada bayi. Ibu bergumam dalam
hatinya : Apakah anak ini ingin merasakan nasi kukusan ini? Umurnya
belum cukup untuk makan nasi?”
Tak dinyana ternyata bayi tersebut memakan nasi kukus tersebut
dengan lahapnya. Ibu bayi tersebut menampakkan keterkejutan yang sangat.
Ketika baru lahir, anak tersebut sudah bisa untuk memakan nasi… Ibu:”
Astaga, Kau telah berikan anak yang luar biasa, ya Hyang Widi… Ternyata
yang lahir bukanlah bayi biasa. Ketika masih bayi pun ia sudah bisa
makan makanan orang dewasa. Anak itu tumbuh menjadi orang dewasa yang
tinggi besar. Karena itu ia dipanggil dengan nama Kebo Iwa, yang artinya
paman kerbau.
Kebo Iwa makan dan makan terus sehingga lama kelamaan habislah harta
orang tuanya untuk memenuhi selera makannya. Mereka pun tak lagi
sanggup memberi makan anaknya. Dengan berat hati mereka meminta bantuan
desa. Sejak itulah segala kebutuhan makan Kebo Iwa ditanggung desa.
Penduduk desa kemudian membangun rumah yang sangat besar untuk Kebo Iwa.
Mereka pun memasak makanan yang sangat banyak untuknya. Tapi lama-lama
penduduk merasa tidak sanggup untuk menyediakan makanan. Kemudian mereka
meminta Kebo Iwa untuk memasak sendiri. Mereka cuma menyediakan bahan
mentahnya. Bahan-bahan pangan tersebut diolah oleh Kebo Iwa di Pantai
Payan, yang bersebelahan dengan Pantai Soka.
Danau Beratan merupakan tempat dimana , Kebo Iwa biasanya
membersihkan, walaupun jaraknya cukup jauh namun dengan tubuh besarnya
jarak tidak menjadi masalah baginya, dia bisa mencapai setiap tempat
yang diinginkannya di wilayah Bali dengan waktu singkat. Kebo Iwa memang
serba besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia dapat
bepergian dengan cepat. Kalau ia ingin minum, Kebo Iwa tinggal
menusukkan telunjuknya ke tanah. Sehingga terjadilah sumur kecil yang
mengeluarkan air.
Walaupun terlahir dengan tubuh besar, namun Kebo Iwa adalah seorang
pemuda dengan hati yang lurus. Suatu ketika dalam perjalanannya pulang
dari Danau beratan, Tampak segerombolan orang dewasa yang tidak berhati
lurus, Dari kejauhan para warga desa merasa sangat cemas. Tampak seorang
dari mereka tersita perhatiannya pada seorang gadis cantik. Laki-laki
itu menggoda gadis ini dengan kasar, gadis ini menjadi takut dan enggan
berbicara. Laki-laki itu semakin bernafsu dan tangan-tangannya mulai
melakukan tindakan yang tidak senonoh.
Tiba-tiba Kebo Iwa muncul di belakang gerombolan tersebut,
mencengkeram tangan salah seorang dari mereka, nampak kegeraman
terpancar dari wajahnya, laki-laki itu menjerit kesakitan, gerombolan
itu sangat terkejut melihat Kebo Iwa yang begitu besar, ketakutan nampak
dari raut muka gerombolan tersebut. Gerombolan tersebut lari tunggang
langgang. Demikianlah Kebo Iwa membalas jasa baik para warga desanya
dengan menjaga keamanan di mana dia tinggal. Tubuh yang besar sebagai
karunia dari Sang Hyang Widi dimanfaatkan dengan sangat baik dan benar
oleh Kebo Iwa.
Pada abad 11 Masehi, sebuah karya pahat yang sangat megah dan indah
dibuat di dinding Gunung Kawi, Tampaksiring. Kebo Iwa yang memahat
dinding gunung dengan indahnya, hanya dengan menggunakan kuku dari jari
tangannya saja. Karya pahat tersebut dibuat hanya dalam waktu semalam
suntuk, menggunakan kuku dari jari tangan Kebo Iwa. Pahatan tersebut
diperuntukkan memberikan penghormatan kepada Raja Udayana, Raja Anak
Wungsu ,Permaisuri dan perdana menteri raja yang disemayamkan disana.
Raja Anak Wungsu adalah raja yang berhasil mempersatukan Bali.
Salah satu hal yang paling istimewa dari Kebo Iwa adalah
kemampuannya untuk membuat sumur mata air. Kebo Iwa dengan segenap
kekuatan menusukkan jari tangannya ke dalam tanah. Dengan kekuatan jari
tangannya yang dahsyat, dia mampu mengadakan sebuah sumur mata air,
hanya dengan menusukkan jari telunjuknya ke dalam tanah. Beragam
kemampuan yang luar biasa tersebut, menyebabkan timbulnya daya tarik
tersendiri dari pribadi seorang Kebo Iwa. Dan kekuatan luar biasa itu,
menyebabkan seorang raja yang berkuasa keturunan terakhir dari Dinasti
Warma Dewa, bernama Sri Astasura Bumi Banten… menginginkan Kebo Iwa
untuk menjadi salah satu patihnya di wilayah Blahbatuh…Yang juga dikenal
dengan sebutan Raja Bedahulu.. Kebo Iwa diangkat menjadi Patih kerajaan
dan saat itu dia mengucapkan Janji bahwa selama Kebo Iwa masih bernafas
Bali tidak akan pernah dikuasi.
Pura Gunung Kawi Bali, yang konon dibuat oleh Kebo Iwa
Dengan dukungan dari patih Kebo Iwa yang luar biasa kuat, Sri
Astasura Bumi Banten menyatakan bahwa kerajaannya tidak akan mau
ditundukkan oleh Kerajaan Majapahit yang berkehendak untuk menaklukkan
kerajaan di Bali. Adapun kerajaan Majapahit waktu itu dipimpin oleh Ratu
Tri Bhuwana Tungga Dewi, dengan patihnya yang paling terkenal dengan
terkenal dengan Sumpah Palapanya (sumpah untuk tidak menikmati
kenikmatan dunia bila seluruh wilayah nusantara belum dipersatukan di
bawah panji Majapahit) yang bernama Gajah Mada.
Kembali ke awal cerita dimana salah seorang Kriyan diutus untuk
menjemput Ki Kebo Iwa yang ditinggal oleh Patih Gajah Mada di daerah
Banyuwangi berhasil menemui Ki Kebo Iwa dan mengantarnya ke Istana
Majapahit. Kedatangan Patih Kebo Iwa ke tanah Majapahit menyebabkan para
tentara, baik yang belum pernah melihatnya maupun yang pernah takluk
atas kekuatannya, menjadi terperangah, kagum, bercampur rasa ngeri dan
waspada, Tentara Majapahit, menampakkan ekspresi terkejut dan cemas.
Arah pandang mereka terpusat ke satu tujuan yang sama. Beberapa diantara
mereka nampak sedang berbisik pelan dengan teman yang berada di
sebelahnya;
“Lihatlah ukuran tubuhnya! Luar biasa ! Mengerikan !”.
Patih Gajah Mada menyambut kedatangan Patih Kebo Iwa: “Salam, Patih
yang tangguh ! Selamat datang di Kerajaan Majapahit” Patih Kebo Iwa yang
menimpali salam dari Patih Gajah Mada. Kebo Iwa :
“Terima Kasih Patih, kiranya anda bersedia untuk langsung
menjelaskan maksud dari Baginda Tri Bhuwana Tungga Dewi yang meminta
saya untuk datang ke Majapahit.
Gajah Mada : “Seperti yang telah dikabarkan sebelumnya, Patih kebo
Iwa, baginda Raja mengharapkan kedatangan patih guna menjalin suatu tali
persahabatan dengan Kerajaan Bedahulu di Bali dan juga berharap agar
patih bersedia menemui wanita terhormat pilihan baginda yang dirasa
pantas untuk mendampingi seorang patih yang tangguh seperti anda”.
Gajah Mada menarik nafas panjang kemudian melanjutkan kata-katanya:
“Akan tetapi sebelumnya, akan sangat berati apabila Patih kerajaan. Kebo
Iwa berkenan membuat sumur air di sana yang nantinya akan
dipersembahkan untuk wanita calon pendamping anda. Lebih lagi, sumur itu
nantinya juga akan dimanfaatkan oleh rakyat kerajaan Majapahit yang
saat ini sedang kekurangan air. Kiranya patih berkenan mengabulkan
permohonan ini.
Patih Kebo Iwa memiliki jiwa besar dan lurus hatinya, akhirnya
diapun meluluskan permintaan tersebut. Nampak Patih Kebo Iwa yang sedang
mempertimbangkan permintaan tersebut. Kemudian memutuskan untuk
memenuhi permintaan tersebut. Kebo Iwa (berpikir sejenak) kemudian dia
berkata:
“Baiklah, biarlah kekuatanku ini kupergunakan untuk sesuatu yang menghadirkan berkat bagi orang banyak”.
Tanpa banyak cakap lagi, Patih Kebo Iwa segera melakukan
aktivitasnya untuk menciptakan sebuah sumur air. Sebelum memulai
pekerjaannya, tidak lupa Patih Kebo Iwa meminta pedoman dari Sang Hyang
Widi. Kebo Iwa : (dalam hati) Ya yang Kuasa, segala yang akan saya
lakukan semoga menggambarkan kebesaran namaMu. Kebo Iwa mulai menggali
sumur di tempat yang telah ditunjuk.Dalam waktu yang cukup singkat,
sumur telah tergali cukup dalam. Namun belum ada mata air yang keluar.
Di atas lubang sumur yang digali oleh Patih Kebo Iwa, para prajurit
Majapahit terlihat berkerumun, nampak mereka memusatkan pehatian pada
Patih Gajah Mada. Seakan mereka menantikan sesuatu perintah…Tiba-tiba
Gajah Mada berteriak:
“Timbun dia dengan batu………!!!!” Seketika itu juga, para prajurit
menimbun kembali lubang sumur yang sedang dibuat, dengan Patih Kebo Iwa
berada di dalamnya.
Para prajurit menimbun lubang sumur dengan batu hasil galian itu
sendiri, nampak Kebo Iwa sangat terkejut dan berusaha menahan jatuhnya
batu. Dalam waktu yang singkat, lubang sumur itupun tertutup rapat.
Mengubur seorang pahlawan besar didalamnya. Patih Gajah Mada yang
berbicara kepada para parjuritnya.Gajah Mada :
“Sungguh amat disayangkan seorang pahlawan besar seperti dia harus
mengalami ini. Namun, hal ini terpaksa harus dilakukan, agar nusantara
ini dapat dipersatukan. Dengan ini kerajaan Bali akan menjadi bagian
dari Majapahit”.
Tiba-tiba timbunan batu melesat ke segala penjuru, menghantam
prajurit Majapahit. Terdengar teriakan membahana dari dalam sumur. Kebo
Iwa : (berteriak)
“Belum ! Bali masih tetap merdeka, karena nafasku masih berhembus !!.
Batu-batu yang ditimbunkan melesat kembali keangkasa dibarengi
dengan teriakan prajurit Majapahit yang terhempas batu. Dari dalam
sumur, keluarlah Patih Kebo Iwa, yang ternyata masih terlalu kuat untuk
dikalahkan. Patih Gajah Mada terkejut, menyaksikan Patih Kebo Iwa yang
masih perkasa, dan beranjak keluar dari lubang sumur.
Kebo Iwa : “Dan pembalasan adalah apa yang kutuntut dari sebuah
pengkhianatan !” Patih Kebo Iwa menyerang Patih Gajah Mada kemarahan dan
dendam mewarnai pertempuran. Akibat amarah dan dendam yang dirasakan
oleh Patih Kebo Iwa, pertempuran berlangsung sengit selama beberapa
waktu. Disela-sela saling serang Gajah Mada berteriak:”Untuk
memersatukan dan memperkuat nusantara, segenap kerajaan hendaklah
dipersatukan terlebih dahulu. Dan kau berdiri di garis yang salah
sebagai seorang penghalang !”.
Kesaktian Patih Kebo Iwa, sungguh menyulitkan usaha Patih Gajah Mada
untuk menundukkannya. Pertempuran antara keduanya masih berlangsung
hebat, namun amarah dan dendam Patih Kebo Iwa mulai menyurut…Dan rupanya
Patih Kebo Iwa tengah bertempur seraya berpikir … Dan apa yang tengah
dipikirkan olehnya, membuat dia harus membuat keputusan yang sulit… Kebo
Iwa : (dalam hati) Kerajaan Bali pada akhirnya akan dapat ditaklukkan
oleh usaha yang kuat dari orang ini, keinginannya untuk mempersatukan
nusantara agar menjadi kuat kiranya dapat aku mengerti kini. Namun
apabila, aku menyetujui niatnya dan ragaku masih hidup, apa yang akan
aku katakan nantinya pada Baginda Raja sebagai sangkalan atas sebuah
prasangka pengkhianatan ? Masih dalam keadaan bertempur, secara sengaja
Patih Kebo Iwa melontarkan pernyataan yang intinya mengenai hal untuk
mengalahkan kesaktiannya.
Kebo Iwa :
“Wahai Patih Gajah Mada ! Cita-citamu untuk membuat nusantara
menjadi satu dan kuat kiranya dapat aku mengerti, namun selama ragaku
tetap hidup sebagai abdi rajaku, aku akan menjadi penghalangmu. Maka,
taklukkan aku, hilangkan kesaktianku dengan menyiramkan bubuk kapur ke
tubuhku.
Pernyataan Patih Kebo Iwa rupanya membuat terkesiap Patih Gajah
Mada. Patih Gajah Mada menunjukkan reaksi keheranan yang amat sangat
atas perkataan Patih Kebo Iwa. Gajah Mada yang mengerti atas keinginan
Kebo Iwa, nampak menghantamkan jurusnya ke batu kapur, batu itupun luluh
lantak menjadi serpihan bubuk. Patih Gajah Mada menyapukan bubuk
tersebut ke arah Patih Kebo Iwa dengan ilmunya, bubuk kapur menyelimuti
tubuh sang patih Nampak Patih Kebo Iwa, sesak napasnya oleh karena bubuk
kapur tersebut.
Kiranya bubuk kapur tersebut membuat olah pernapasan Patih Kebo Iwa
menjadi terganggu, hal tersebut mengakibatkan kesaktian tubuh Patih Kebo
Iwa menjadi lenyap.Patih Gajah Mada melesat ke arah Patih Kebo Iwa,
menusukkan kerisnya ke tubuh Kebo Iwa. Dan sebelum kepergiannya, dengan
sisa tenaga yang ada Patih Kebo Iwa mengutarakan apa yang ingin
dikatakan untuk terakhir kali. Patih Kebo Iwa :
“Kiranya kematianku tidak sia-sia adanya…biarlah nusantara yang kuat bersatu hasil yang pantas atas harga hidupku”.
Patih Gajah Mada dengan raut muka sedih, memberikan jawaban atas perkataan Patih Kebo Iwa. Gajah Mada :
“Kepergianmu sebagai tokoh besar akan terkenang dalam sejarah… Sejarah suatu nusantara yang satu dan kuat”.
Tak lama setelah mendengar pernyataan tersebut, napas terakhirpun
pergilah sudah, meninggalkan raga seorang patih tertangguh dalam sejarah
Bali… dan pertiwi pun meredup melepas kepergian salah satu putra
terbaiknya.
Kisah Kebo Iwa belakangan ini banyak dikaitkan dengan bencana lumpur
( Lumpur Sidoarjo ) karena konon disitulah tempatnya Kebo Iwa diperdaya
oleh ki Patih Gajahmada, ketika perang tanding terjadi, Patih Gajahmada
sudah terjulur lidahnya keluar dipecik / cekuk oleh Kebo Iwa yang
pantang berperang menggunakan senjata, mereka hanya memanpaatkan
kekuatan yang ada pada dirinya. Ketika Ki Patih Gajahmada sudah menjulur
lidahnya keluar, tiba tiba mendadak niatnya Kebo Iwa untuk menunda
kematian Gajahmada dengan cara ingin tau mengapa Gajahmada seorang
Mahapatih yang begitu tersohor namanya, menghadapi Kebo Iwa seorang diri
saja mereka masih mempergunakan tipu daya ( pengindra jala ) denga cara
mengubur Kebo Iwa dalam sumur- hidup hidup.....? apakah begini strategi
perang Majapahit yang terkenal tersebut . Disitulah akhirnya Gajahmada
dengan Isak tangisnya menyatakan bahwa : Disatu sisi dia mengakui
kedigjayaan Kebo Iwa Ksatria Bali, disatu sisi mereka konsisten dengan
keinginan luhurnya mempersatukan Nusantara. Begitu Kebo Iwa mendengarkan
kesaksian Gajahmada yang jujur dan misi yang luar biasa ini
"MEMPERSATUKAN NUSANTARA" maka menangislah Kebo Iwa sejadi jadinya,
disatu sisi mereka adalah seorang kesatria yang pantang menyerah, distau
sisi Kebo Iwa ingin mensuport perjuangan untuk mempersatukan Nusantara,
akhirnya Kebo Iwa memilih jalan Ksatria, dengan jalan membuka rahasia
kelemahannya dengan satu sarat : ( Statementnya ini ditulis dalam sebuah
Prasasti yang ada di Pulau Menjangan sebelah utara Gilimanuk ( Dalam
Pura Gajah mada & Kebo Iwa ) yang Berbunyi : “ Wahai Ki Patih
Gajahmada, kupersembahkan Pulau Bali ini kepadamu dengan utuh, demi
sebuah cita citamu yang luhur "MEMPERSATUKAN NUSANTARA" Namun apabila
Pulau bali diperlakukakan secara tidak adil, Majapahit harus bertanggung
jawab, aku akan berontak dan menenggelamkan Majapahit sesuai dengan
lumpur kapur sirih yang merupakan bubuk yang akan kau siramkan dalam
tubuhku, karena disitulah letak kelemahanku, sekarang aku mengalah demi
cita citamu yang luhur.
Prasati ini terpatri dalam sebuah Pura di Pulau Menjangan. Dengan
meninggalnya patih Ki Kebo Iwa maka tinggal 1 orang lagi orang yang
paling berpengaruh yang harus disingkirkan untuk dapat menaklukan
Kerajaan Bali. Orang tersebut tiada lain yaitu Krian Pasung Grigis yang
merupakan Mangkubumi dari Kerajaan Bali.
Meninggalnya Kebo Iwa akhirnya memuluskan upaya Majapahit untuk
melaksanakan ekspedisi ke Bali untuk menangkap Raja Sri Astasura Ratna
Bumi Banten. Untuk melaksankan ekspedisi teraebut digelarlah sidang
antara Ratu Majapahit dengan para pembesar/ pejabat istana. Dalam
perundingan tersebut ikut serta adik adik Raden Cakradara yang merupakan
Suami dari Ratu Majapahit Tribhuwana Tunggadewi. Dalam perundingan
tersebut Gajah Mada menyampaikan pendapatnya
“ Mohon ampun baginda Raja, Kryan Pasung Grigis teramat sakti dan
sulit untuk dikalahkan. Untuk menaklukkan Bali harus dilakukan
penyerangan dari segala penjuru, oleh karena itu apabila Baginda
mengijinkan kepergian hamba ke Bali dapat kiranya disertai kelima adik
baginda raja, karena rasanya tanpa beliau pulau Bali akan sulit
ditaklukkan.
Raden Cakradara tidak keberatan atas pendapat Patih Gajah Mada dan menyerahkan sepenuhnya hal tersebut kepada adik adiknya
“ Bagaimana adik adikku apakah kalian bersedia membantu Patih Gajah Mada untuk bersama sama berangkat untuk menaklukkan Bali “
Semua adik adiknya menjawab dengan serentak
“ Demi kejayaan Majapahit, apapun perintah Kanda Prabu akan kami laksanakan dengan sebaik baiknya sebagai seorang kesatria “
Patih Gajah Mada sangat senang hatinya, cita citanya untuk
melaksanakan sumpah Palapa sebentar lagi akan terwujud dengan
menaklukkan Pulau Bali terlebih dahulu.
“ Baiklah kalau demikian halnya, hamba Patih Gajah Mada menghaturkan
rasa terima kasih dengan segala hormat. Kini hamba bertambah yakin akan
dapat menaklukkan Pulau Bali dan menangkap Pasung Grigis.
Setelah itu Gajah Mada mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan
untuk menyerang Bali. Terjadilah ekspedisi Gajah Mada ke Bali pada tahun
1334 dengan Candrasangkala Caka isu rasaksi nabhi (anak panah, rasa,
mata pusat). Pasukan Majapahit dipimpin oleh Gajah Mada sendiri bersama
panglima perang Arya Damar dibantu oleh beberapa Arya. Setelah sampai di
pantai Banyuwangi, tentara Majapahit berhenti sebentar untuk mengatur
siasat peperangan. Dari Hasil perundingan tersebut diputuskan untuk
menyerang bali dari 3 arah yang berbeda sebagai berikut :
1. Dari Arah Timur
Penyerangan Bali dari arah timur akan dipimpin oleh Patih Gajah Mada
bersama dengan para patih keturunan Mpu Witadarma, Krian Pemacekan, Ki
Gajah Para, Krian getas akan mendarat di Toya Anyar
2. Dari Arah Utara
Penyerangan Bali dari arah utara akan dipimpin oleh Arya Damar
bersama dengan Arya Sentong dan Arya Kutawaringin akan mendarat di
Ularan
3. Dari Arah Selatan
Penyerangan Bali dari arah utara akan dipimpin oleh Arya Kenceng
bersama dengan Arya Belog (Tan Wikan) Arya Pengalasan dan Arya Kanuruhan
akan mendarat di pantai Kuta
Kita beralih ke suasana di kerajaan Bali, setelah mengetahui
kematian Patih Kebo Iwa, Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten kemudian
mengadakan rapat penting dengan para patih dan pejabat-pejabat Kerajaan
lainnya. Dalam pertemuan tersebut diputuskan bahwa patih Amangkubhumi
Pasung Grigis menggantikan Kebo Iwa mengorganisir pasukannya menentang
Majapahit. Dalam rapat tersebut seluruh hadirin sepakat mempertahankan
Bali dan tidak mau tunduk kepada Majapahit.
Setelah menyeberangi lautan pasukan Majapahit akhirnya mendarat di
Pulau Bali. Kedatangan prajurit Majapahit tersebut membuat Pulau Bali
bagaikan bergetar, rakyat Bali menjadi panik dan melaporkan hal tersebut
kepada pangeran Sri Madatama yang merupakan putra mahkota kerajaan Bali
serta kehadapan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Setelah mendengar
laporan tersebut, Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten kemudian mengutus
putranya pangeran Sri Madatama untuk menyelidiki kebenaran berita
tersebut. Setelah memastikan kebenaran berita tersebut Krian Pasung
Grigis beserta para patih lainnya serta punggawa menyiapkan pasukannya
masing masing dengan membagi pasukan menjadi 3 sesuai arah pengepungan
pasukan dari Majapahit.
· Pertahanan di wilayah Utara dijaga oleh Ki Pasung Grigis, Si Buwan dan Krian Girikmana.
· Pertahanan di wilayah Barat dijaga oleh Sri Madatama, Ki Tambyak, Ki Walumgsingkat dan Ki Gudug Basur.
· Pertahanan di wilayah Timur dijaga oleh Ki Tunjung Tutur, Kom Kopang dan Ki Tunjung Biru.
Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan
Gajah Mada dengan kerajaan Bedahulu. Diceritakan pasukan dari arah timur
yang dipimpin langsung oleh Patih Gajah Mada sesuai kesepakatan,
langsung membakar semak belukar di hutan untuk memberi tanda kepada
pasukan dari arah Utara dan selatan bahwa penyerangan akan segera
dimulai. Akibat pembakaran hutan tersebut membuat nyala api membumbung
tinggi ke angkasa sehingga dapat dilihat oleh para arya dari arah utara
dan selatan.. Dengan isyarat tersebut dengan serentak para prajurit
Majapahit melakukan penyerangan ke Pusat kerajaan Bedahulu.
Pasukan dari arah Timur dipimpin oleh Patih Gajah Mada berhadapan
langsung dengan pasukan Bedahulu yang dipimpin oleh Ki Tunjung Tutur
yang berkedudukan di Toya Anyar dan Ki Kopang yang berkedudukan di
Seraya. Pertempuran berjalan dengan dahsyatnya, saling terjang dan
masing masing memperlihatkan kesaktian, kedigjayaan serta kemahiran
bertempur, sampai akhirnya pasukan Bedahulu dapat dipukul mundur oleh
Pasukan dari Majapahit setelah Ki Tunjung Tutur dan Ki Kopang gugur
dalam pertempuran. Pasukan yang masih tersisa akhirnya tercerai berai
menyelamatkan hidupnya masing masing. Dengan gugurnya kedua pemimpin
pasukan tersebut maka daerah Tejakula, Bondalem, Julah, Bangkah, Bukti,
Sembiran, Tajun, Bontihing, Bila, Depaa, Dausa, Lateng, Tunjuk,
Kepakisan, Selulung, Batur dan desa sekitar bintang danu dan bagian
timur seperti Tongtongan, Margatiga, Ngis dan Tianyar dapat dikuasai
oleh Prajurit Majapahit dibawah Pimpinan Patih Gajah Mada.
Demikian pula pasukan dibawah pimpinan Krian Kepakisan dan Krian
Tumenggung dapat menguasai desa Celukan Bawang, Banjar-Aseman, Uma
Anyar, Yeh Anakan, Kalopaksa, PatemonUlaran, Unggahan, Gelagah, Kutul,
Sepang, sekitar sungai Ubo, Ringdikit, Rangdu, Mayong, Pusuh, Lapuan,
Kekeran, Belah-Manukan, Kedis, Gesing, Banyuatis, Gobleg, Cempaga, Kayu
Putih, Munduk dan Baha.
Pertempuran di Bali bagian utara juga tidak kalah serunya. Daerah
Ularan dipertahankan oleh Ki Girikmana diserang oleh pasukan dari
Majapahit dibawah pimpinan Panglima Arya Damar. Terjadi pertempuran
antara kedua pimpinan pasukan yaitu Arya Damar dengan Si Girikmana.
Kedua pasukan yang tadinya bertempur menghentikan pertempuran untuk
menyaksikan perang tanding ke dua tokoh tersebut. Dalam perang tanding
yang berlangsung sangat seru tersebut masing masing menunjukkan
kesaktiannya untuk secepatnya melumpuhkan musuhnya, sampai akhirnya Si
Girikmana tidak mampu menandingi kesaktian Arya Damar sehingga gugur
dalam pertempuran sebagai kesatria sejati. Gugur pula dari pihak
kerajaan Bali Krian Jembrana sebagai prajurit yuda.
Di Batur pasukan yang dipimpin oleh Arya Damar dihadang oleh Ki
Bwan. Dalam pertempuran tersebut Arya Kutawandira mohon diberi
kesempatan untuk untuk perang tanding dengan Ki Bwan. Arya Damar
mengijinkan dan memberi nasehat untuk berhati hati dalam menghadapi Ki
Bwan karena orangnya juga tidak kalah saktinya dengan Si Girikmana
sehingga terjadilah pertempuran antara kedua tokoh tersebut. Dalam
pertemuran tersebut Ki Bwan tidak mampu menandingi kesaktian Arya
Kutawandira sehingga gugur dalam pertemuran sebagai pahlawan. Dengan
gugurnya ke dua pimpinan pasukan dari Bedahulu tersebut maka wilayah
Bali bagian utara jatuh ketangan pasukan Majapahit dibawah pimpinan Arya
Damar. Panglima perang pasukan Majapahit yang gugur dalam pertempuran
tersebut bernama Arya Gait . Dengan gugurnya Ki Girikmana dan Ki Bwan
maka daerah Jembrana, Pamagetan, Kebon jangung, Pangesan, Cangku,
Pupuhan, Balimbing, Serampangan, penatahan, Jelijih, Punggang, Gadungan,
Kayu Kunyit, Uma-Gati, Uma-Bangkah dan desa Selajong dapat dikuasai
prajurit Majapahit dibawah pimpinan Arya Damar.
Prajurit Tempo Dulu
Berbeda dengan Bali bagian utara dan bagian Timur, pertahanan Bali
bagian Selatan jauh lebih kuat karena dipimpin langsung oleh Putra
mahkota Kerajaan Bali yaitu pangeran Sri Madatama bersama panglima
pasukan yang sakti mandraguna yaitu Ki Gudugbasur yang berpangkat demung
dan Ki Tambyak yang berkedudukan di Jimbaran. Pasukan dari Bali
tersebut bertempur dengan semangat tinggi dengan diiringi oleh gamelan
yang gegap gembita sehingga berbaur dengar gemerciknya suara tombak
beradu.
Dalam pertempuran tersebut Lurah Kadengayan, Lurah Suwung terlibat
pertempuran sengit dengan Arya Wangbang dan Arya Dalancang. Pertempuran
tersebut berjalan seimbang dimana Kedua belah pihak sama sama
mengeluarkan ilmu pamungkas, sampai akhirnya Lurah Kadengayan dan Lurah
Suwung gugur dalam perang tanding tersebut. Melihat temannya gugur dalam
pertempuran Ki Demang Kalambang dan Ki Tambyak maju ke medan
pertempuran menuntut balas
Ki Tambyak mengamuk dalam pertempuran sehingga membuat pasukan
Majapahit tercerai berai. Dalam pertempuran tersebut Arya Pasuruhan
tewas di tangan ki Tambyak dan di injak injak dengan kuda sedangkan kyai
Banyuwangi lari dikejar oleh pasukan Ki Kalambang. Melihat pasukan
Majapahit terus terdesak Arya Kenceng kemudian turun langsung ke medan
pertempuran.
Pasukan Majapahit di wilayah Selatan dibawah pimpinan Arya Kenceng
menggempur habis habisan, tiada henti hentinya mengurung pasukan musuh
dari segala arah. Pasukan Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak mulai terdesak
dan banyak yang mati terluka. Dalam keadaan terdesak Ki Tambyak berhasil
mengalahkan Kyai Lurah Belambangan. Tubuhnya dilemparkan oleh Ki
Tambyak sehingga terpelanting ke tempat yang agak jauh. Kyai Lurah
Belambangan menghembuskan napasnya yang terakhir, gugur sebagai prawira
yuda yang gagah berani. Melihat kawan seperjuangannya gugur, Arya
Balancang, Arya Sentong, Arya Wangbang dan Kyai Banyuwangi maju
bersamaan untuk mengimbangi kekuatan musuh.
Ki Tambyak adalah seorang patih kerajaan Bali yang sangat teguh dan
sakti sehingga sulit untuk dikalahkan, kalau hal tersebut terus
dibiarkan maka makin banyak korban yang berjatuhan dari pihak Majapahit.
Untuk menghindari hal tersebut maka pimpinan pasukan Majapahit di
wilayah selatan yaitu Arya Kenceng memutuskan menghadapi langsung Ki
Tabyak. Dalam pertempuran satu lawan satu tersebut masing masing pihak
berusaha saling mengalahkan. Karena hebatnya perang tanding tersebut
prajurit dari kedua belah pihak sampai menghentikan pertempuran untuk
menyaksikan kedua tokoh sakti tersebut saling mengalahkan. Namun
demikian ternyata Arya Kenceng dapat memanfaatkan kelengahan Ki Tambyak
sehingga dapat terus menekannya. Ki Tambyak akhirnya gugur dalam
pertempuran sampai kepalanya terpisah dari badannya. Dengan gugurnya Ki
Tambyak pertahanan Bali di wilayah selatan menjadi lemah karena hanya
menyisakan Ki Gudug Basur.
Dalam Pertempuran tersebut Ki Gudug basur diserang dari segala arah
oleh para Arya dari Majapahit. Namun I Gudug basur ternyata mempunyai
ilmu yang sangat tinggi yaitu teguh, kebal oleh senjata apapun sehingga
para Arya mengalami kesulitan untuk mengalahkannya. Namun demikian
walaupun tubuhnya tidak dapat terluka apabila terus menerus digempur
dari segala arah lama kelamaan Ki Gudig Basur kehabisan tenaga dan
sehingga dapat dikalahkan oleh pasukan dari Majapahit.
Dengan Gugurnya Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak maka daerah Seseh,
Tralangu, Padang Sambian, Kedonganan, Benua, jimbaran, Kuta, Mimba,
Suwung, Sesetan, Tuban, Renon, Batankendal, Sanur, Tanjungbungkah, Kaba
Kaba, Kapal, Tanah barak, Camagi, Munggu, Parerenan, Dukuh, Kemoning,
Pandak, Kelahan, Pancoran, Babahan, Keliting, Cengkik dan Kerambitan
dapat dikuasai oleh Prajurit Majapahit dibawah pimpinan Arya Kenceng.
Sisa sisa langkar Bedahulu yang masih tersisa setelah mengalami
kekalahan dalam pertempuran menyelamatkan diri dan mengungsi ke daerah
Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munti, Bonyoh, Tarobayan, Serahi,
Sukawana, Panarajon, Kintamani, Pludu, Manikliu, dan ada pula yang
mengungsi ke daerah timur seperti Culik, Tista, Margatiga, Muntig, Got,
Garbawana, Lokasarana, Garinten, Sekul Kuning, Puhan, Hulakan, Sibetan,
Asti, Watuwayang, Kadampai, Bantas, Turamben, Crutcut, Datah, Watidawa,
Kutabayem
Kemenangan Pasukan Majapahit di wilayah selatan yang dipimpin oleh
Arya Kenceng melengkapi kemenangan pasukan Majapahit yang terlebih
dahulu berhasil mengusai wilayah Utara dan Timur Pulau Bali sehingga
praktis semua daerah pesisir Bali dapat dikuasai. Sekarang tinggallah
Krian Pasung Grigis yang bertahan di desa Tengkulak di wilayah Bali
Bagian Tengah.
Krian Pasung Grigis adalah seorang yang sakti mandraguna, pemberani
dan ahli perang, siasatnya licin, bisa lenyap seperti bayang bayang
(maya maya). Menghadapi kenyataan ini patih Gajah Mada menjadi bingung,
karena perintah Ratu Majapahit adalah menangkap hidup hidup Krian Pasung
Grigis. Jangankan menangkap hidup hidup membunuhnya pun sangat sulit
untuk dilaksanakan. Patih Gajah Mada berupaya mencari jalan untuk dapat
mengalahkan Pasung Grigis.
“ Kalau begini terus, aku tak akan pernah menang, dan itu berarti
aku gagal mewujudkan cita citaku untuk mempersatukan Nusantara. Aku
harus mencari akal bagaimana caranya agar Krian Pasung Grigis dapat
ditangkap hidup hidup “
Pada malam harinya Patih Gajah Mada mengumpulkan semua Arya dan pasukan untuk diajak berunding
“ Para Arya dan punggawa semua, kalau kita berperang melawan pasukan
Pasung Grigis rasanya kita tidak akan pernah menang. Pasung Grigis amat
sakti dan sulit ditaklukkan oleh siapapun. Kita harus mencari jalan dan
siasat yang tepat untuk menaklukkannnya. Saya Tahu kesaktian Pasung
grigis akan lenyap bila hatinya dikuasai sifat tamah, lupa daratan, mati
akan kesombongan hatinya. Oleh karena itu kita buat dia lupa daratan,
bangga akan dirinya, keluar semua kesombongannya dan tipu dia supaya dia
seolah olah ingkar janji. Pada saat ingkar janji itulah kesaktiaannya
akan lenyap dan disanalah kita akan menangkap dia hidup hidup “
Demikian Patih Gajah Mada mengemukakan pendapatnya dan mendapat
persetujuan oleh segenap yang hadir. Keesokan harinya sesuai yang telah
direncanakan, semua prajurit Majapahit serempak membalikkan senjata
serta menaikkan bendera putih pertanda menyerah dan tidak akan
mengadakan perlawanan, takluk pada keluasaan Krian Pasung Grigis.
Melihat kenyataan tersebut betapa gembira hati Pasung grigis. Beliau
tidak berfikit lebih lanjut mengapa secara tiba tiba pasukan Majapahit
yang terkenal gagah berani menyerah dan takluk sebelum mengadalkan
perlawanan. Beliau hanya menyangka musuh takut akan kesaktiannya.
Demikian bangganya beliau akan kesaktiannya sehingga tidak
seorangpun yang bisa mengalahkannya, beliau lupa bahwa diatas langit
masih ada langit. Karena mungkin telah menjadi kehendak Dewata sehingga
lenyap pertimbangan beliau dan tiada menyadari bahwa beliau telah
terkena upaya licin dari Patih Gajah Mada. Beliau menjadi lupa bagaikan
kena “sasirep” sehingga tidak menyadari bahaya yang mengancamnya.
Seorang patihnya telah memperingatinya dengan penuh bijaksana
“ Tuangku hendaknya berhati hati menghadapi musuh yang penuh tipu
muslihat, bisa saja musuh sengaja memasang perangkap untuk menjebak
tuanku. Kita harus waspada karena mereka yang tampaknya sangat kuat dan
tidak pernah mengalami kekalahan dalam pertempuran tiba tiba menyerah
tidak mengadakan perlawanan “
Namun demikian nasehat dari patihnya tidak dihiraukan karena bangga akan kesaktian yang dimiliki
“ Apa katamu patih, tipu muslihat, mereka benar benar tidak berani melawan aku,. takut akan kesaktian yang kumiliki “
Demikian Krian Pasung Grigis berteriak teriak dengan sombongnya.
Patihpun mundur teratur tidak berani mengeluarkan sepatah katapun. Hati
Pasung Grigisa sudah diliputi rasa takabur akan kesaktian yang dimiliki.
“ Suruh mereka semua menghadap dengan segera “
Pasung Gerigis memerintahkan punggawanya untuk menemui pasukan dari
Majapahit untuk dibawa menghadap ke Istana. Semua arya dan prajurit dari
Majapahit mengikuti utusan dari Pasung Grigis untuk karang kepatihan.
Rakyat di Tengkulak menyambut gembira kemenangan Kriyan Pasung Grigis
dengan berpesta pora. Setibanya di sana para Arya dan punggawa dari
Majapahit seperti tidak punya keberanian untuk memandang langsung wajah
Pasung Grigis. Sambil mencakupkan tangan Patih Gajah Mada
mempermaklumkan kekalahannya. Kata Patih Gajah Mada
“ Prajurit gusti patih sangat gagah berani, apalagi gusti patih juga
teramat sakti tiada seorangpun diantara kami semua yang dapat
mengalahkan gusti Patih. Gusti memang benar benar tiada tandingannya di
dunia ini.
Dengan manisnya Patih Gajah Mada menyanjung Krian Pasung Grigis.
Mendengar pujian tersebut tambah hilanglah kesadaran beliau, hatinya
seperti diatas awan, lupa segalanya, hatinya sudah dikuasai rajah tamah,
sehingga apapun yang akan diminta niscahya akan dikabulkan. Beliau
tidak sadar akan perangkap yang dipasang oleh musuhnya.
“ Ya kalian semua telah tahu akan kesaktian yang aku miliki, maka lebih baik kalian menyerah saja “
Dengan bujuk rayu yang manis dan pujian pujian yang membuai pasung
Grigis menjadi lupa daratan. Patih Gajah Mada mulai memasang
perangkapnya yang licin untuk membuat Pasung Grigis ikar janji sehingga
kesaktian yang dimiliki akan lenyap selamanya , karena itulah kelemahan
dari Pasung Grigis yang dicari oleh Patih Gajah Mada.
“ Ampunilah permintaan hamba kehadapan Gusti patih, karena hamba
mendengar kabar bahwa gusti mempunyai seokor anjing yang cerdik, seekor
anjing hitam yang menurut penuturan orang mengerti akan bahasa manusia,
seperti layaknya sifat manusia. Apabila Gusti berkenan, hamba mohon
dipanggilkan anjing itu dengan menjanjikan akan diberikan makanan. Hamba
sangat ingin menyaksikan kecerdikan anjing itu.
Demikianlah perangkap yang dipasang oleh Patih Gajah Mada. Dengan
hati yang masih terbuai oleh sanjungan Krian Pasung Grigis segera
berteriak memanggil anjingnya, ingin memamerkan kepintaran ajingnya.
Anjing hitam tersebut segera muncul dengan membawa tempurung kelapa
bundar (kau) dimulutnya, maksudnya supaya diberi makanan oleh
majikannya. Setelah sampai di depan majikannya, Anjing itu tampat
bersunggut sunggut karena tidak diberi makanan oleh majikannya. Tanpa
disadarai ternyata Pasung Grigis telah berbuat ingkar janji kepada
anjingnya, karena tidak memberi makanan sesuai yang dijanjikan
sebelumnya. Melihat hal tersebut seketika bangkitlah Patih Gajah Mada
seraya menuding Krian Pasung grigis.
“ Hai Pasung Grigis ternyata engkau telah ingkar janji pada
anjingmu, ingkar pada kata katamu sendiri dan karena telah disaksikan
oleh Sang Hayang Triyodana Sakti semoga lenyaplah semua kesaktianmu.
Sekarang bagaimana kehendakmu apakah akan mengadu ketangkasan denganku
atau dengan salah satu patih atau punggawa yang ku bawa. Ayo angkat
senjatamu hadapi aku sekarang juga.
Krian Pasung Grigis membisu seribu basa, tidak disangka dirinya
terkena tipu muslihat dari Patih Gajah Mada. Seketika itu beliau merasa
tiada bertenaga lagi bagaikan telah terbang semua keberanian beliau,
bagaikan terkena senjata Bajra yang dilepaskan Patih Gajah Mada. Dengan
tiada harapan lagi Kryan Pasung Grigis akhirnya menyerahkan dirinya dan
seluruh rakyatnya dibawah kekuasaan Majapahit.
“ Baiklah aku menyerah, aku baru sadar bahwa kesombongan tidak akan
mendapat retu dari para dewata. Dengan ini seluruh pulau Bali dibawah
kekuasaan Majapahit “
Penduduk Bali Tempo Dulu
Demikianlah akhir perlawanan Kryan Pasung Grigis terhadap Majapahit
dan selanjutnya Pasung Grigis dipenjaraan di Tengkulak. Dengan
tertawannnya Pasung Grigis maka seluruh rakyat dan para pemuka Bali
menyatakan tunduk dibawah kekuasaan Majapahit. Peristiwa penundukan Bali
oleh Majapahit terjadi pada Tahun saka 1265 atau 1343 M. Pasukan Gajah
Mada beserta para Arya merayakan kemenangan ini dengan suka cita.
Dalam ekspedisi Majapahit ke Pulau Bali dapat diuraikan bahwa
pasukan Majapahit dibawah pimpinan Patih Gajah Mada dan Arya Damar
mengalahkan musuh musuhnya dengan caranya sendiri sendiri. Patih Gajah
Mada dengan “Wiweka”nya (akal) sedangkan Arya Damar dengan mengandalkan
“Kawisesan”nya atau ilmu magic yang dimilikinya sebagai pengikut setia
aliran Bajrayana-Amoghapasa yang menyebabkan pahlawan dan prajurit Bali
ketakutan dan menyerah.
Dalam perayaan kemenangan tersebut tiba tiba muncullah utusan dari
Ratu Majapahit Tri Bhuwana Tunggadewi yang bernama Kuda Pengasih yang
tiada lain merupakan ipar dari Patih Gajah Mada, karena Kuda Pengasih
adalah adik Ken Bebed , istri dari Patih Gajah Mada. Kuda Pengasih putra
patih Matuwa diutus dari Majapahit untuk memantau langsung pasukan
Majapahit dibawah pimpinan Patih Gaja Mada yang telah lama meninggalkan
Majapahit. Kuda Pengasih menyaksikan pesta ria yang dilaksanakan untuk
menyambut kemenangan yang baru saja diraih pasukan dari Majapahit dengan
menundukkan Kryan Pasung Grigis.
Kuda Pengasih kemudian menyampaikan pesan dari Ratu Tribhuwana
Wijaya Tunggadewi yang isinya meminta apabila Bali telah berhasil
ditaklukkan maka Patih Gajah Mada dan Arya Damar diminta kembali
secepatnya ke Majapahit karena telah lama meninggalkan Istana Majapahit,
akan tetapi para arya yang lain diperintahkan untuk tetap tinggal di
Bali untuk menjaga keamanan Pulau Bali. Para Arya yang ditugaskan di
Bali diantaranya :
- Arya Kenceng
- Arya Sentong
- Arya Beleteng
- Arya Kutawaringin
- Arya Belog
- Arya Binculuk
Patih Gajah Mada menyanggupi hal tersebut namun meminta waktu untuk
menempatkan para Arya yang akan mampu mempertahankan kekuasaan Majapahit
di Pulau Bali.
source:sejarah majapahit bali blogspot
Tidak ada komentar:
Posting Komentar