Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra....
Penggalan
syair lagu itu mengingatkan kebesaran nusantara di masa lalu yang kini
hilang. Namun, "Betulkah nenek moyang kita pelaut? Betulkah kita ini
bangsa bahari? Betulkah karakter bangsa kita berwawasan maritim?"
Sebagai
bangsa bahari, negeri ini seharusnya mempunyai visi kelautan,
direfleksikan dalam pembangunan berwawasan bahari, termasuk menguatkan
armada laut (niaga dan militer).
Zaman keemasan
Menengok
masa keemasan nusantara, sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia telah
berlayar jauh menggunakan kapal bercadik. Mereka ke utara mengarungi
lautan, ke barat memotong Lautan Hindia hingga Madagaskar, ke timur
hingga Pulau Paskah. Dengan kian ramainya arus perdagangan melalui laut,
mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di nusantara yang bercorak
maritim dan memiliki armada laut yang besar.
Kerajaan maritim
terbesar di nusantara diawali Kerajaan Sriwijaya (tahun 683-1030 M).
Petualang Tiongkok, I Tsing, mencatat, Shih Li Fo Shih (Sriwijaya)
adalah kerajaan besar yang mempunyai benteng di Kotaraja, armada lautnya
amat kuat. Guna memperkuat armada dalam mengamankan lalu lintas
perdagangan melalui laut, Sriwijaya memanfaatkan sumber daya manusia
yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaannya, yang kini disebut
"kekuatan pengganda".
Runtuhnya Sriwijaya disusul naiknya
Kerajaan Majapahit (1293-1478 M) yang semula agraris. Majapahit lalu
berkembang menjadi kerajaan maritim setelah Gajah Mada menjadi
mahapatih. Dengan Sumpah Palapa, Gajah Mada bercita-cita menyatukan
nusantara dan diangkatlah Laksamana Nala sebagai Jaladimantri yang
bertugas memimpin kekuatan laut Kerajaan Majapahit. Dengan armada laut
yang kuat, kekuasaan Majapahit amat luas hingga keluar nusantara.
Kejatuhan
Majapahit diikuti munculnya Kerajaan Demak. Kebesaran Kerajaan Demak
jarang diberitakan. Kekuatan maritim Kerajaan Demak dibuktikan dengan
mengirim armada laut sebanyak 100 buah kapal dengan 10.000 prajurit
menyerang Portugis di Malaka. Pemimpin armada itu adalah Pati Unus yang
bergelar Pangeran Sabrang Lor. Meski berteknologi sederhana, Demak mampu
mengerahkan pasukan dan perbekalan dari utara Pulau Jawa menuju
semenanjung Malaka.
Sejarah itu menggambarkan kehebatan armada
niaga, keandalan manajemen transportasi laut, dan armada militer yang
mumpuni dari beberapa kerajaan di nusantara yang mampu menyatukan
wilayah luas dan disegani bangsa lain. Dengan armada niaga yang besar,
kerajaan bersosialisasi dan membawa hasil alam sebagai komoditas
perdagangan ke negeri lain. Dan untuk menjaga keamanan, kerajaan
memiliki armada laut yang kuat.
Sayang, beberapa kerajaan besar
itu jatuh bukan karena serangan lawan, tetapi karena "perang saudara".
Kondisi itu dimanfaatkan kekuatan asing untuk menguasai wilayah ini.
Dengan mempelajari kondisi kerajaan dan kultur penguasa di nusantara,
kekuatan asing mampu menduduki negeri ini dengan menjauhkan penghidupan
masyarakat dari laut. Masyarakat digiring untuk kembali menjadi petani.
Lama-kelaman armada laut kerajaan menjadi kecil. Kesempatan ini
dimanfaatkan kekuatan asing, seperti Portugis, Inggris, dan VOC, untuk
ganti menguasai laut nusantara. Dengan terdesaknya raja-raja ke
pedalaman dan dikuasainya berbagai pelabuhan oleh asing, sejak saat itu
paradigma maritim kita diubah penjajah, menjadi bangsa agraris.
Bangsa pelaut
Sejarah
menyakitkan itu dibaca para pejuang kemerdekaan Indonesia. Untuk itu,
ketika bangsa ini baru mulai hidup di alam kemerdekaan, para pemimpin
kita sadar atas kondisi geografis dan kejayaan masa lampau sebagai
bangsa bahari.
Saat membuka Institut Angkatan Laut (IAL) tahun
1953 di Surabaya, Presiden Soekarno berpesan, ".usahakan penyempurnaan
keadaan kita ini dengan menggunakan kesempatan yang diberikan oleh
kemerdekaan. Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya...,
bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di
kapal... bukan! tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudra.
Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai
armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama
gelombang lautan itu sendiri ".
Hal ini dibuktikan Soekarno.
Tahun 1960-an kekuatan Angkatan Laut Indonesia adalah yang terbesar di
Asia Tenggara dengan komposisi 234 kapal perang terdiri dari sebuah
kapal penjelajah (cruiser), 12 kapal selam, 7 kapal perusak (destroyer),
7 fregat, dan beberapa jenis kapal perang lain. Dalam usia kemerdekaan
yang masih muda, para pemimpin telah memfokuskan kekuatan militer
berdasarkan konstelasi geografis. Dengan kekuatan militer, bangsa ini
mampu mengusir Belanda yang saat itu masih mempertahankan Irian Barat.
Mengapa
Belanda meninggalkan Irian Barat tanpa pertempuran? Terlepas dari upaya
diplomasi politik saat itu, jawaban kuatnya adalah kuat dan solidnya
TNI, terutama kekuatan lautnya. Besarnya armada laut dengan persenjataan
canggih saat itu, mampu mengangkut pasukan dalam jumlah besar, siap
melaksanakan pertempuran laut. Maka, saat itu, Indonesia memiliki posisi
tawar yang tinggi.
Seiring perjalanan waktu dan akibat kondisi
ekonomi yang berbeda serta perhatian pada maritim berkurang membuat
kekuatan laut kita mencapai antiklimaks. Peralatan alutsista rontok,
menjadi besi tua. Armada niaga kita pun bernasib sama. Meski tak laik,
dipaksa melaut sehingga kadang terjadi kecelakaan.
Menuju AL yang kuat
Kini
keadaan relatif membaik. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara, terutama Pasal 3 Ayat (2) menyatakan, pertahanan
negara disusun dengan memerhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai
negara kepulauan. Artinya, pemimpin Indonesia menyadari, laut berikut
segala aktivitas di dalamnya dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa.
Bagi TNI AL, ini merupakan tantangan, menjaga keamanan perairan dari
gangguan ataupun ancaman kedaulatan. Untuk itu, dibutuhkan Angkatan Laut
yang kuat dan upaya menuju ke arah itu telah dimulai.
Saat ini
telah dibeli empat korvet kelas Sigma dari Belanda, sebuah kapal sudah
tiba di Tanah Air, KRI Diponegoro-365, sisanya masih diselesaikan. Dari
Korea juga telah datang dua kapal LPD, disusul segera dua lainnya yang
masih dibangun. Meski anggaran menjadi kendala, dengan perencanaan yang
baik mudah-mudahan kapal-kapal lain akan menyusul memperkuat kekuatan
penjaga laut kita. Kita berharap perhatian dalam aspek maritim tidak
hanya tertumpu pada pembangunan kekuatan angkatan laut, tetapi mampu
mengembalikan Indonesia sebagai negara bahari.
Bangsa yang
memiliki karakter bahari tidak harus diartikan bangsa yang sebagian
besar masyarakatnya adalah nelayan, tetapi bangsa yang menyadari
kehidupan masa depannya bergantung pada lautan. Intinya, selalu menoleh,
menggali, dan memanfaatkan laut sebagai tulang punggung bangsa dan
negara.
Laksamana Sumardjono Kepala Staf TNI Angkatan Laut
source: http://www.opensubscriber.com/message/zamanku@yahoogroups.com/8129816.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar