INDONESIA terkenal
bukan hanya jumlah penduduknya yang besar, tetapi juga sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia yang terbentang di tiga zona waktu, dipaku
oleh 17.500 pulau, dengan luas terumbu karang 86.700 km2, dan hamparan
mangrove 24.300 km2. Melihat kekayaan alam nusantara yang luar biasa,
Indonesia memiliki 12 kawasan konservasi yang perlu mendapat perhatian
serius dari pemerintah.
Dari jumlah penduduk yang mencapai 230
juta jiwa, sebuah fakta bahwa masyarakat Indonesia semakin bergantung
pada sumber daya laut, mulai untuk bahan makanan hingga sumber
pendapatan sehari-hari. Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) memiliki tugas penting mengawasi sumber daya tersebut.
Di dalamnya termasuk upaya pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan,
sekaligus meningkatkan sektor kelautan dan perikanan dengan tujuan
utama meningkatkan kualitas hidup masyarakat di tanah air.
Ironisnya, sumber daya laut Indonesia
saat ini sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak, ikan yang ada justru
habis dicuri nelayan asing. Selain itu, banyak terumbu karang yang
hampir punah akibat ketidakpedulian masyarakat dan pemerintah akan
kelanggengan ekosistem laut.
Dikaruniai hampir 18 persen terumbu
karang dunia, Indonesia berada tepat di tengah “Segitiga Karang”, suatu
kawasan dengan keanekaragaman hayati laut terbanyak. Meskipun penetapan
pola kekayaan di Segitiga Karang masih diperdebatkan, hal ini tidak
menghalangi adanya kebutuhan mendesak untuk menetapkan prioritas wilayah
geografis melakukan aksi dan upaya investasi konservasi strategis di
kawasan ini.
Pada Desember 2007, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan komitmen Indonesia pada Inisiatif Segitiga Karang (The Coral Triangle Initiative),
sebuah inisiatif dari enam negara terkait dan berbagai donor, untuk
mengoptimalkan praktik pengelolaan terumbu karang di pusat
keanekaragaman hayati laut dunia. Indonesia juga telah berhasil
mencapai target ambisius Kawasan Konservasi Laut (KKL) seluas 10.000.000
hektar pada 2010 dan telah menetapkan komitmen selanjutnya untuk
menggandakan pencapaian tersebut menjadi seluas 20.000.000 hektar pada
2020.
Karena itu, pemerintah Indonesia sangat
memerlukan adanya panduan baru mengenai pembuatan prioritas konservasi
keanekaragaman hayati laut, khususnya dalam menunjang rancangan sistem
KKL nasional dan jejaring KKL yang efektif.
Berdasarkan data, Indonesia memiliki
beberapa tempat yang menjadi prioritas konservasi. Pertama, Papua
sebagai wilayah yang keanekaragaman hayatinya cukup tinggi, terumbu
karang dengan sejumlah binatang, habitat dan clade (kelompok
taksa/jenis yang memiliki sifat yang sama yang diwariskan dari nenek
moyangnya) genetik yang sulit ditemukan di daerah lain. Termasuk
sejumlah jenis ikan endemik, karang dan stomatopoda, juga merupakan
tempat membesarkan anak Paus Sperma, tempat bertelur penyu belimbing
Pasifik terluas di dunia, tempat bertelur utama penyu hijau, terdapat
pula jenis Paus Bryde penetap (resindent), serta populasi duyung dan buaya muara.
Rendahnya kepadatan populasi manusia di
Papua ternyata menambah potensi konservasi di wilayah tersebut.
Berbagai kegiatan eksploitasi yang sedang berlangsung dapat meningkatkan
urgensi dalam upaya konservasi laut di wilayah ini.
Kedua, Laut Banda. Hal ini didasarkan
pada tingginya keragaman jenis dan habitat terumbu karang di sana,
termasuk habitat laut dalam yang langka. Laut Banda juga berperan
strategis dalam pola arus laut, dan siklus hidup penyu dan jenis cetacean oseanik yang terancam punah seperti Paus biru.
Sebagai cekungan yang sangat dalam,
Laut Banda berfungsi memberikan perlindungan bagi terumbu karang selama
turunnya tingkat permukaan laut di masa lalu. Di masa depan mungkin
ekoregion Laut Banda akan memiliki peran yang sama di mana perubahan
iklim global akan memanaskan laut-laut yang dangkal.
Seperti juga di Papua, tingkat
kepadatan populasi manusia di Laut Banda relatif rendah. Namun, Laut
Banda dipandang mendapat gangguan penangkapan ikan yang berat sehingga
menjadikannya status bahaya.
Ketiga, Nusa Tenggara. Selain memiliki,
keragaman dan tingkat endemik yang sangat tinggi, Nusa Tenggara
berfungsi sebagai koridor migrasi bagi berbagai jenis mahluk laut besar
yang bermigrasi (termasuk Cetacean dan jenis ikan pelagis komersial yang penting).
Mereka bergerak antara Samudera Hindia
dan Samudera Pasifik melalui berbagai terusan dekat pantai dan laut
dalam di antara pulau-pulau. Adanya coldwater upwellings yang
terbentuk di sepanjang pesisir Nusa Tenggara bagian Selatan dan dapat
menyangga wilayah ini dari perubahan Iklim. Tidak kalah pentingnya
adalah, kawasan ini juga memiliki produktivitas primer yang sangat
tinggi menjadi dasar bagi rantai makanan yang kaya, dapat menopang
kehidupan berbagai jenis ikan pelagis dan cetacean besar, termasuk Paus Biru.
Keempat, Laut Sulawesi/Selat Makassar.
Hal ini mengacu pada perannya yang utuh antara lain dalam hubungan dan
penyebaran larva melalui Arlindo (Indonesian Throughflow).
Infrastruktur dan kapasitas di Taman Nasional Bunaken yang ada di sana
seharusnya menjadi dasar pengembangan ukuran-ukuran konservasi tambahan,
termasuk pembentukan sebuah jejaring KKL dari utara sampai selatan dan
membentuk “koridor penghubung” melalui Laut Sulawesi.
Kelima, Halmahera sebagai prioritas
konservasi laut di Indonesia. Kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati
yang sangat tinggi dan keragaman habitat, keterwakilan fauna Asia dan
Australia. Wilayah ini berperan penting dalam menghubungkan Papua dan
Sulawesi. Beberapa pakar menyarankan agar Halmahera seharusnya dilihat
sebagai perpanjangan dari Bentang laut Kepala Burung di dalam ekoregion
laut Papua.
Keenam, Ekoregion Palawan/Borneo Utara,
yang mencakup perairan di Indonesia, Malaysia dan Filipina. Wilayah ini
sebagai prioritas konservasi laut di Indonesia. Keanekaragaman hayati
di ekoregion ini merupakan bagian dari keanekaragaman hayati ekoregion
di sekitarnya, terutama dari Laut Sulawesi/Selat Makassar yang mendapat
peringkat lebih tinggi.
Hutan mangrove dan padang lamun yang
luas di ekoregion ini sangat mendukung kehidupan Pesut Irrawaddy yang
terancam punah, pesut tak bersirip, burung-burung laut dan penyu.
Ekoregion ini secara global sangat penting bagi populasi Penyu Hijau dan
Penyu Sisik. Bahkan, KKL Berau di Kalimantan Timur telah menjadi rumah
bagi kelompok bertelur Penyu Hijau yang terbesar di Asia Tenggara.
Ketujuh, Sumatera bagian Barat. Daerah
tersebut sebagai wilayah ekoregion yang memiliki data keanekaragaman
hayati paling kurang di Indonesia. Walaupun keanekaragaman hayati tidak
disurvei dengan baik, kebanyakan para pakar setuju bahwa Sumatera bagian
Barat merupakan rumah bagi pertumbuhan terumbu karang yang terbaik dan
berbagai tipe habitat terumbu karang terluas di sepanjang pantai
Samudera Hindia (Indonesia). Dari perspektif keragaman genetik, Sumatera
bagian Barat diyakini menempati tempat kedua terpenting setelah Papua.
Wilayah ini juga memiliki jenis dengan
silsilah genetik berbeda yang tidak dijumpai di manapun di Indonesia.
Seluruh enam jenis penyu yang dijumpai di Indonesia mencari makan dan
bertelur di sini, walaupun pola-pola penggunaan ruang antar mereka tidak
banyak diketahui. Ekoregion ini diberi peringkat sebagai wilayah dengan
prioritas paling mendesak untuk menjadi target lokasi survey agar
mendapatkan pemahaman lebih baik akan status keanekaragaman hayati yang
terkandung di dalamnya. Banyak diantara pakar yang ada yang memberikan
catatan bahwa peringkat kawasan ini berpotensi untuk naik bila dilakukan
survey lebih lanjut.
Kedelapan, Ekoregion Timur Laut
Sulawesi/Teluk Tomini. Wilayah ini menjadi prioritas geografis
konservasi keanekaragaman hayati laut. Hal ini, berdasarkan tingginya
keanekaragaman hayati, clade genetik yang berbeda dan taksa endemik, terutama di Kepulauan Togean.
Perwakilan keanekaragaman hayati Teluk
Tomini sudah tercakup dalam sebagian besar kawasan Taman Nasional Laut
Kepulauan Togean yang dideklarasi baru-baru ini. Pemerintah provinsi
saat ini tengah membahas rencana untuk melakukan kerjasama dalam
melakukan pengelolaan zona pesisir terpadu di kawasan yang unik ini.
Kesembilan, Ekoregion Dangkalan
Sunda/Laut Jawa menempati peringkat untuk prioritas konservasi laut di
Indonesia. Wilayah ini dicirikan dengan terumbu karang tepi yang baru
terbentuk sejak akhir jaman es, dengan kekayaan jenis yang relatif
rendah dan hampir tidak ditemukan organisme endemik. Faktor penekan
utama, antara lain aliran air tawar, aliran sedimentasi yang masuk, dan
dampak anthropogenik. Meskipun demikian, wilayah ini tetap menjadi
lokasi mencari makan dan bertelur yang penting untuk Penyu Hijau dan
Penyu Sisik, dan mungkin tempat bertelur penting bagi Penyu Sisik di
Asia Tenggara yang terletak di Kepulauan Anambas dan Natuna.
Ekoregion ini juga merupakan rumah dari
hamparan mangrove yang penting. Bahkan burung-burung yang bermigrasi di
sepanjang pesisir Timur Sumatera menggunakan Dangkalan Sunda/Laut Jawa.
Meskipun wilayah ini miskin akan jenis biota yang berasosiasi dengan
terumbu karang, tetapi memiliki keragaman jenis fauna lunak yang tinggi,
termasuk stomatopoda dan infauna bentuk lain.
Kesepuluh, Laut Arafura sebagai
prioritas konservasi laut di Indonesia. Hal ini disebabkan karena
tingkat pertumbuhan terumbu karang di sana rendah, karena itu
berpengaruh pada keanekaragaman hayati baik secara genetik maupun
taksonomi. Namun demikian, beberapa tegakan mangrove yang paling beragam
dan paling luas di dunia dapat dijumpai di sepanjang pesisir Selatan
Papua. Mangrove ini umumnya miskin variabilitas habitat tetapi secara
global memiliki peran penting bagi komunitas mangrove dan lamun dalam
mendukung kehidupan burung-burung laut, ikan duyung, penyu, buaya muara,
hiu paus dan mungkin hiu gergaji yang terancam punah. Paparan luas yang
dangkal dan memiliki pantai berhutan ini diyakini sebagai habitat utama
dan belum terganggu untuk jenis Cetacean pesisir.
Laut Arafura juga merupakan salah satu
rumah yang sangat penting bagi kelompok bertelur Penyu Hijau di
Indonesia (di Kepulauan Aru), dan merupakan tempat mencari makan penting
bagi Penyu Sisik, Penyu Lekang dan mungkin Penyu Pipih yang bermigrasi.
Namun, kawasan ini belum dikenal dengan baik, amat penting untuk
melakukan survei lebih lanjut.
Kesebelas, Jawa bagian Selatan
merupakan peringkat untuk prioritas konservasi laut di Indonesia.
Seperti telah umum diketahui, wilayah ini miskin kekayaan jenis, di mana
semua jenisnya dapat juga ditemukan di ekoregion Sumatera bagian Barat
sampai ke ekoregion Nusa Tenggara. Di mana keduanya mendapat prioritas
yang lebih tinggi. Kondisinya yang sangat curam, tutupan terumbu
karangnya rendah, energi gelombang yang tinggi dan dasar lautnya
bergelombang telah membatasi kegiatan perikanan di wilayah ini.
Kendati demikian, kegiatan perikanan di
kawasan pesisir masih dapat dilakukan dengan intensitas yang tinggi.
Kawasan ekoregion ini sangat penting bagi penyu (hijau, sisik, belimbing
dan lekang yang bertelur di sepanjang pantai Jawa bagian Selatan), dan
laguna Cilacap/Segera Anakan yang secara lokal sangat berarti bagi
tegakan mangrove yang juga penting bagi jenis burung-burung laut.
Keduabelas, Selat Malaka mendapat
peringkat terendah untuk prioritas konservasi laut di Indonesia. Namun,
ekoregion ini merupakan habitat perairan dangkal unik yang secara global
penting bagi banyak jenis burung laut, dan menjadi koridor yang
berpotensi untuk penyebaran fauna antara Indonesia dengan Samudera
Hindia bagian Timur. Namun, kawasan ini juga sangat miskin akan
keragaman terumbu karang dan sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia,
sedimentasi, dan polusi karena lokasinya dekat dengan pusat populasi
besar dan jalur pelayaran di Selat Malaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar