Indonesia merupakan negara kepulauan dengan potensi ekonomi maritim
yang sangat besar. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia
memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km2 dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia 2,7 juta km2.
Selain itu terdapat 17.840 pulau di Indonesia dengan garis pantai
sepanjang 95.181 km. Letaknya yang diapit oleh dua samudera besar yaitu
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta berada di daerah khatulistiwa
telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat kaya sumberdaya
alam dengan keanekaragaman-hayati yang luar biasa sehingga dimasukan
dalam kelompok negara mega-biodiversity.
Tidak ada yang menyangkal ketika historis berbicara bahwa Indonesia
merupakan negara maritim. Hal tersebut terungkap dari berbagai kejayaan
maritim Nusantara pada masa lalu. Nenek moyang bangsa Indonesia telah
memahami dan menghayati kegunaan laut sebagai sarana kehidupan baik
untuk perdagangan maupun jalur komunikasi. Bukti keunggulan bahari
bangsa Indonesia ini tersebar di berbagai penjuru nusantara bahkan
hingga Madagaskar. Diantara sekian banyak kejayaan maritim Nusantara
yang terkait dengan dunia global, maka peristiwa yang berkaitan dengan
perdagangan dan transportasi laut tergolong spektakuler. Pada abad ke-15
berjamurlah pelabuhan kerajaan maritim yang lebih terkenal dengan
sebutan Bandar. Pasai di Aceh, Banten, Demak, Cirebon, Tuban, Gresik,
Makasar, Buton, Ternate , Tidore, Jaylolo dan Bacan hanyalah beberapa
Bandar termaju pada zamannya yang menjadi lintasan perdagangan
rempah-rempah dari kepulauan Maluku menuju India melalui Selat Malaka
dan kemudian menyebar ke Timur Tengah sampai Eropa. Kerajaan Sriwijaya,
Majapahit, Ternate dan Tidore pun pernah mencapai masa kejayaan dengan
armada lautnya yang sangat tangguh. Kisah maritim Nusantara pada masa
lalu tersebut diabadikan dalam sebuah lagu yang sudah tidak asing lagi
kita dengar.
“Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa…”
Namun kejayaan maritim ini secara berangsur menyusut. Keruntuhan
bangsa bahari dimulai setelah masuknya VOC ke Indonesia pada 1602-1798
M. Salah satu peristiwa bersejarah yaitu adanya perjanjian Giyanti tahun
1755 yang dilakukan oleh Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta,
dimana kedua kerajaan itu menyerahkan hasil rempah-rempah kepada pihak
Belanda. Kondisi ini yang membuat secara lambat-laun menghilangkan jiwa
bahari bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia kini merindukan kembali datangnya kejayaan maritim
Nusantara. Pada tanggal 13 Desember tahun 1957 di bawah kepemimpinan
Presiden Soekarno, dideklarasikanlah Wawasan Nusantara yang dikenal dengan Deklarasi Djoeanda
yang memandang laut merupakan satu keutuhan wilayah dengan darat.
Deklarasi itu merupakan tindakan sepihak yang sangat patriotik sehingga
dijadikan titik awal kebangkitan kembali Indonesia menjadi bangsa
maritim. Momentum kebangkitan kembali bergulir di tahun 1998. Deklarasi Bunaken
dibawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie semakin menegaskan bahwa
laut merupakan peluang, tantangan dan harapan untuk masa depan
persatuan, kesatuan dan pembangunan bangsa Indonesia.
Sampai sekarang Indonesia masih berjuang menuju kejayaan maritim.
Namun ironisnya paradigma pembangunan di Indonesia masih seringkali
mengabaikan laut sebagai prioritas utama pembangunan, padahal lautan
Indonesia memiliki potensi dan fungsi yang vital. Sebagai negara maritim
potensi kelautan di Indonesia harus dimanfaatkan dan dikelola secara
optimal untuk kemajuan bangsa.
Salah satu kekayaan laut yang berpotensi menunjang perekonomian
Indonesia adalah perikanan. Namun sebagai bangsa dengan kawasan laut
mendominasi wilayah negeri ini, produksi perikanan kita masih jauh dari
harapan. Ditinjau dari GDP Indonesia pada tahun 2007, terhitung sekitar
Rp. 547 triliun berasal dari pertanian, perikanan, hasil hutan, dan
peternakan. Namun hanya Rp 96 triliun saja berasal dari hasil perikanan
(2,4%). Saat ini (2010) Indonesia baru mampu memproduksi sekitar 10 juta
ton ikan per tahun. Target Indonesia pada tahun 2015 menjadi produsen
ikan terbesar di dunia melampaui China yang saat ini sudah mencapai 45
juta hingga 50 juta ton per tahun dengan produk yang relatif sama dengan
Indonesia. Untuk mengelola potensi laut dengan optimal dan efektif
perlu regulasi yang sifatnya khusus bagi daerah berbasis laut. Selain
itu pula pemerintah harus memberikan perhatian penuh pada pembangunan
infrastruktur yang dapat mendukung pertumbuhan sektor industri kelautan
serta modernisasi pada teknologi kelautan.
Secara geografis letak Indonesia yang begitu strategis pada jalur
pelayaran dapat menjadi potensi tersendiri dalam peningkatan ekonomi.
Penelitian Martin Stopford pada tahun 2003 menerangkan bahwa sekitar 46%
GNP dunia memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap aspek
kelautan. Sedangkan Indonesia terbukti memiliki 4 dari 23 perlintasan
laut strategis yang ada di dunia. Terhitung sekitar 80% lalu-lintas
perdagangan laut melintasi kawasan perairan Indonesia. Namun isu
perompakan yang sering terjadi di Selat Malaka memberikan dampak yang
merugikan bagi Indonesia. Pelayaran internasional akan mengenakan
berbagai biaya tambahan atau surcharge kepada pemilik barang
yang akan mengimpor atau mengekspor ke Indonesia dengan alasan perairan
Indonesia merupakan daerah rawan. Dengan biaya tambahan yang
diberlakukan tadi jelas barang yang akan dijual atau berasal dari
Indonesia akan lebih mahal dibanding harga di negara lain. Dibutuhkan
sistem pertahanan dan keamanan yang baik agar Indonesia dapat menjadi
kompetitif secara ekonomis.
Sistem pertahanan dan keamanan yang lemah pun berdampak pada hasil
laut dan kedaulatan Indonesia. Bayangkan saja negara mengalami kerugian
lebih dari Rp 30 trilyun per tahun akibat menjadi objek penjarahan
nelayan asing Thailand, Cina, Korea, dan Vietnam. Satu demi satu nusa
kita pun dipetik. Sipadan, Ligitan dan Ambalat telah hilang dari
pangkuan ibu pertiwi. Dibutuhkan armada laut yang kuat untuk menjaga
hasil kekayaan laut dan kedaulatan wilayah Indonesia. Namun tantangannya
adalah masih minimnya dana untuk pertahanan di Indonesia yang berdampak
pada kualitas militer kita. Memang pada tahun 2010 ini anggaran
pertahanan naik 20% menjadi 40,6 triliun. Namun tetap saja belum cukup
untuk memenuhi kekuatan minimal militer kita yang membutuhkan dana
sekitar 100-120 triliun. Sebuah pekerjaan besar yang harus dilakukan
untuk memperkuat sistem pertahanan dan keamanan khususnya di perairan
Indonesia.
Selain dari segi ekonomi dan kewilayahan, laut pun memegang peranan
penting secara ekologis. Salah satu fungsi dari laut adalah menyerap CO2. Laut berperan menyerap kentalnya CO2 di atmosfer untuk meminimalisir efek global warming.
Kualitas laut pun menentukan hasil kekayaan hewani dan nabati yang ada
didalamnya. Namun tantangan yang harus dihadapi adalah pencemaran. Salah
satu kasus yang baru terjadi, Indonesia mengalami kerugian Rp 510
miliar akibat pencemaran Laut Timor setelah meledaknya ladang minyak
Montara di Australia. Tidak kalah pula, pencemaran yang dihasilkan 15
kapal barang terbesar di dunia saat ini mengeluarkan polusi udara sama
dengan 780 juta mobil.
Sebagai negara maritim dengan potensi kelautan yang luar biasa,
Indonesia tidak boleh mengabaikan laut sebagai prioritas utama
pembangunan. Memang, untuk kembali meraih kejayaan maritim tersebut
banyak tantangan yang harus dihadapi Indonesia mulai dari isu pertahanan
dan keamanan yang berdampak pada banyak hal meliputi perikanan,
ekologis bahkan kedaulatan. Untuk menjawab tantangan yang ada butuh
fokus dari semua elemen khususnya pemerintah sebagai pemegang kebijakan.
Nenek moyang kita pernah menorehkan tinta emas maritim Nusantara pada
masa lalu dan kini saatnyalah generasi kita untuk berkarya membangun
kembali kejayaan maritim Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar