Minggu, 12 Februari 2012

Menuju Kebangkitan Maritim Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan potensi ekonomi maritim yang sangat besar. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km2 dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia 2,7 juta km2. Selain itu terdapat 17.840 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km. Letaknya yang diapit oleh dua samudera besar yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta berada di daerah khatulistiwa telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat kaya sumberdaya alam dengan keanekaragaman-hayati yang luar biasa sehingga dimasukan dalam kelompok negara mega-biodiversity.
Tidak ada yang menyangkal ketika historis berbicara bahwa Indonesia merupakan negara maritim. Hal tersebut terungkap dari berbagai kejayaan maritim Nusantara pada masa lalu. Nenek moyang bangsa Indonesia telah memahami dan menghayati kegunaan laut sebagai sarana kehidupan baik untuk perdagangan maupun jalur komunikasi. Bukti keunggulan bahari bangsa Indonesia ini tersebar di berbagai penjuru nusantara bahkan hingga Madagaskar. Diantara sekian banyak kejayaan maritim Nusantara yang terkait dengan dunia global, maka peristiwa yang berkaitan dengan perdagangan dan transportasi laut tergolong spektakuler. Pada abad ke-15 berjamurlah pelabuhan kerajaan maritim yang lebih terkenal dengan sebutan Bandar.  Pasai di Aceh, Banten, Demak, Cirebon, Tuban, Gresik, Makasar, Buton, Ternate , Tidore, Jaylolo dan Bacan hanyalah beberapa Bandar termaju pada zamannya  yang menjadi lintasan perdagangan rempah-rempah dari kepulauan Maluku menuju India melalui Selat Malaka dan kemudian menyebar ke Timur Tengah sampai Eropa. Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Ternate dan Tidore pun pernah mencapai masa kejayaan dengan armada lautnya yang sangat tangguh. Kisah maritim Nusantara pada masa lalu tersebut diabadikan dalam sebuah lagu yang sudah tidak asing lagi kita dengar.
“Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa…”
Namun kejayaan maritim ini secara berangsur menyusut. Keruntuhan bangsa bahari dimulai setelah masuknya VOC ke Indonesia pada 1602-1798 M. Salah satu peristiwa bersejarah yaitu adanya perjanjian Giyanti tahun 1755 yang dilakukan oleh Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta, dimana kedua kerajaan itu menyerahkan hasil rempah-rempah kepada pihak Belanda. Kondisi ini yang membuat secara lambat-laun menghilangkan jiwa bahari bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia kini merindukan kembali datangnya kejayaan maritim Nusantara. Pada tanggal 13 Desember tahun 1957  di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, dideklarasikanlah Wawasan Nusantara yang dikenal dengan Deklarasi Djoeanda yang memandang laut merupakan satu keutuhan wilayah dengan darat. Deklarasi itu merupakan tindakan sepihak yang sangat patriotik sehingga dijadikan titik awal kebangkitan kembali Indonesia menjadi bangsa maritim. Momentum kebangkitan kembali bergulir di tahun 1998. Deklarasi Bunaken dibawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie semakin menegaskan bahwa laut merupakan peluang, tantangan dan harapan untuk masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan bangsa Indonesia.
Sampai sekarang Indonesia masih berjuang menuju kejayaan maritim. Namun ironisnya paradigma pembangunan di Indonesia masih seringkali mengabaikan laut sebagai prioritas utama pembangunan, padahal lautan Indonesia memiliki potensi dan fungsi yang vital. Sebagai negara maritim potensi kelautan di Indonesia harus dimanfaatkan dan dikelola secara optimal untuk kemajuan bangsa.
Salah satu kekayaan laut yang berpotensi menunjang perekonomian Indonesia adalah perikanan. Namun sebagai bangsa dengan kawasan laut mendominasi wilayah negeri ini, produksi perikanan kita masih jauh dari harapan. Ditinjau dari GDP Indonesia pada tahun 2007, terhitung sekitar Rp. 547 triliun berasal dari pertanian, perikanan, hasil hutan, dan peternakan. Namun hanya Rp 96 triliun saja berasal dari hasil perikanan (2,4%). Saat ini (2010) Indonesia baru mampu memproduksi sekitar 10 juta ton ikan per tahun. Target Indonesia pada tahun 2015 menjadi produsen ikan terbesar di dunia melampaui China yang saat ini sudah mencapai 45 juta hingga 50 juta ton per tahun dengan produk yang relatif sama dengan Indonesia. Untuk mengelola potensi laut dengan optimal dan efektif perlu regulasi yang sifatnya khusus bagi daerah berbasis laut. Selain itu pula pemerintah harus memberikan perhatian penuh pada pembangunan infrastruktur yang dapat mendukung pertumbuhan sektor industri kelautan serta modernisasi pada teknologi kelautan.
Secara geografis letak Indonesia yang begitu strategis pada jalur pelayaran dapat menjadi potensi tersendiri dalam peningkatan ekonomi. Penelitian Martin Stopford pada tahun 2003 menerangkan bahwa sekitar 46% GNP dunia memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap aspek kelautan. Sedangkan Indonesia terbukti memiliki 4 dari 23 perlintasan laut strategis yang ada di dunia. Terhitung sekitar 80% lalu-lintas perdagangan laut melintasi kawasan perairan Indonesia. Namun isu perompakan yang sering terjadi di Selat Malaka memberikan dampak yang merugikan bagi Indonesia. Pelayaran internasional akan mengenakan berbagai biaya tambahan atau surcharge kepada pemilik barang yang akan mengimpor atau mengekspor ke Indonesia dengan alasan perairan Indonesia merupakan daerah rawan. Dengan biaya tambahan yang diberlakukan tadi jelas barang yang akan dijual atau berasal dari Indonesia akan lebih mahal dibanding harga di negara lain. Dibutuhkan sistem pertahanan dan keamanan yang baik agar Indonesia dapat menjadi kompetitif secara ekonomis.
Sistem pertahanan dan keamanan yang lemah pun berdampak pada hasil laut dan kedaulatan Indonesia. Bayangkan saja negara mengalami kerugian lebih dari Rp 30 trilyun per tahun akibat menjadi objek penjarahan nelayan asing Thailand, Cina, Korea, dan Vietnam. Satu demi satu nusa kita pun dipetik. Sipadan, Ligitan dan Ambalat telah hilang dari pangkuan ibu pertiwi. Dibutuhkan armada laut yang kuat untuk menjaga hasil kekayaan laut dan kedaulatan wilayah Indonesia. Namun tantangannya adalah masih minimnya dana untuk pertahanan di Indonesia yang berdampak pada kualitas militer kita. Memang pada tahun 2010 ini anggaran pertahanan naik  20% menjadi 40,6 triliun. Namun tetap saja belum cukup untuk memenuhi kekuatan minimal militer kita yang membutuhkan dana sekitar 100-120 triliun. Sebuah pekerjaan besar yang harus dilakukan untuk memperkuat sistem pertahanan dan keamanan khususnya di perairan Indonesia.
Selain dari segi ekonomi dan kewilayahan, laut pun memegang peranan penting secara ekologis. Salah satu fungsi dari laut adalah menyerap CO2. Laut berperan menyerap kentalnya CO2 di atmosfer untuk meminimalisir efek global warming. Kualitas laut pun menentukan hasil kekayaan hewani dan nabati yang ada didalamnya. Namun tantangan yang harus dihadapi adalah pencemaran. Salah satu kasus yang baru terjadi, Indonesia mengalami kerugian Rp 510 miliar akibat pencemaran Laut Timor setelah meledaknya ladang minyak Montara di Australia. Tidak kalah pula, pencemaran yang dihasilkan 15 kapal barang terbesar di dunia saat ini mengeluarkan polusi udara sama dengan 780 juta mobil.
Sebagai negara maritim dengan potensi kelautan yang luar biasa, Indonesia tidak boleh mengabaikan laut sebagai prioritas utama pembangunan. Memang, untuk kembali meraih kejayaan maritim tersebut banyak tantangan yang harus dihadapi Indonesia mulai dari isu pertahanan dan keamanan yang berdampak pada banyak hal meliputi perikanan, ekologis bahkan kedaulatan. Untuk menjawab tantangan yang ada butuh fokus dari semua elemen khususnya pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Nenek moyang kita pernah menorehkan tinta emas maritim Nusantara pada masa lalu dan kini saatnyalah generasi kita untuk berkarya membangun kembali kejayaan maritim Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar