Minggu, 12 Februari 2012

MASA SURUT BANGSA

(hilangnya nilai-nilai kemaritiman sebagai konsepsi strategis negara)

Lebih dari 170 tahun Majapahit sebagai Negara Maritim terbukti mampu membawa bangsa ini hidup makmur, sejahtera, gemah ripah loh jinawi, tanpa satupun bangsa asing mampu memporakporandakannya, apalagi menjajah Negara besar ini.

Namun sayang, setelah keruntuhannya pada tahun 1478 karena pertikaian suksesi antara kerabat yang sangat klise, Majapahit runtuh oleh perebutan kekuasan, dan Indonesia saat itu mulai kehilangan makna.
Perpecahan tak dapat dihindari. Kerajaan yang tersebar di seluruh persada Nusantara ini mulai berantakan, menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang tak punya kekuatan apapun.
Kerajaan-kerajaan pesisir yang sangat potensial sebagai Negara maritim, yang dulu berada di bawah Majapahit mulai saling mempertahankan teritorialnya masing-masing.
Demak yang kemudian ‘dianggap’ menggantikan kedudukan Majapahit ternyata tak mampu mempertahankan rantai kepulauan Nusantara yang sudah disatukan oleh Gajah Mada, mempertahankan konsepsi Negara Maritim sebagai warisan yang sangat mahal yang pernah dimiliki bangsa besar ini.
Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan Demak, sebagai kerajaan di pesisir, tak mampu mempertahankan obsesinya sebagai Negara maritim sekuat Majapahit.
Pertama karena kesultanan Demak berada di bawah pengaruh para Wali yang saat itu punya target strategis menyebarkan agama Islam, tidak terkonsentrasi pada sektor-sektor perekonomian dan pemberdayaan potensi sumber daya maritim. Ini dapat dilihat dari sejarah panjang perebutan kekuasaan yang terjadi sejak zaman Demak sampai Mataram baru, sangat dipengaruhi oleh kekerabatan para Wali yang populer dengan sebutan Wali Sanga.
Rencana strategis Wali Sanga terbukti memang berhasil, empat ratus tahun kemudian setelah berdirinya Demak, Indonesia tercatat sebagai Negara nomor satu yang penduduknya memeluk agama Islam terbanyak di dunia.
Kegagalan kedua adalah karena masuknya bangsa Eropa memperebutkan pala dan rempah-rempah yang sangat melimpah di tanah air tercinta ini.
Tahun 1511, Demak tak mampu mempertahanan Selat Malaka yang pada zaman Majapahit menjadi soko guru perekonomian maritim Nusantara Raya.
Selat Malaka jatuh ke tangan Portugis.
Dua faktor strategis inilah yang menyebabkan Demak gagal mengembalikan kebesaran Negara maritim yang sudah dirintis oleh Gajah Mada.
Setelah Selat Malaka dikuasai Portugis pada tahun 1511, secara tidak langsung bangsa besar yang pernah mengalami kewibawaan dan kemakmuran ini mulai terkubur dan hilang di percaturan politik benua ini.
Berturut-turut, bandar-bandar internasional yang pernah dimiliki Majapahit pada masa kejayaannya mulai berada di bawah kekuasaan bangsa barat.
Maritim sebagai tulang punggung perekonomian bangsa semakin pudar terlebih ketika bergantian Belanda, Inggris dan Jepang dengan seenaknya mengobok-obok kekayaan bangsa kita dalam segala bidang.
VOC (1602-1798) dengan signifikan menguasai perairan Nusantara Raya ini.
Apalagi setelah terjadi perjanjian Giyanti tahun 1755 antara pihak Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta yang isinya antara lain: diktum bahwa kedua raja keturunan Mataram itu, yang sudah dikendalikan oleh otoritas Belanda, menyerahkan perdagangan laut, hasil bumi dan rempah-rempah dari wilayahnya kepada Belanda.
Sejak itu, nilai-nilai sosial budaya dalam masyarakat Indonesia bergeser, yang semula bercirikan budaya maritim menjadi budaya terestrial. (Djoko Pramono, Budaya Bahari, 2004).
Nusantara Raya hilang dari percaturan planet bumi. Para anak-cucu founding-father Negara Maritim terbesar di belahan selatan Asia ini semakin tak memiliki kepercayaan diri untuk menjadi pewaris tahta atas tanah yang dianugerahkan Allah dengan berjuta sumber daya alam yang sangat kaya ini.
Sampai pada 17 Agustus 1945, barulah bangsa besar ini bagun dari tidur panjangnya. Kita mulai disadarkan betapa pentingnya menggalang kesatuan dan persatuan yang pernah diperjuangkan dan terbukti berhasil membawa bangsa ini menjadi bangsa yang berwibawa pada lebih dari enam ratus tahun lalu.
Di bawah ideologi dan falsafah dasar yang sangat keramat dan sakral, sebagai holy-spirit Gajah Mada memimpin bangsa ini, yaitu: Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa, yang tertuang dalam Kitab Sutasoma karya besar Rakawi Tantular.
Saat ini, kita harus yakin bahwa Kebhinnekaan yang dicanangkan Gajah Mada lebih dari enam ratus tahun lalu, masih sangat strategis sebagai shared-value bangsa besar ini untuk bangkit dari tidur panjang.
Kini, kebaharian, kemaritiman, kelautan, sudah waktunya kembali menjadi infrastruktur perekonomian bangsa yang sudah sangat lelah menderita menjadi orang jajahan yang tak lagi mampu berteriak: merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar