Minggu, 12 Februari 2012

Visi Maritim Indonesia : Menegaskan Kembali Identitas Kebangsaan Kita

Oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X
“Nenek moyangku orang pelaut. Gemar mengarung luas samudra. Menerjang ombak tiada takut. Menempuh badai sudah biasa.” Itulah sepenggal lagu kanak-kanak karya Ibu Sud yang dulu biasa kita nyanyikan. Sepertinya, tidak berlebihan memang bila Ibu Sud menyebut bahwa nenek moyang orang Indonesia adalah pelaut-pelaut handal.
Sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia telah berlayar jauh dengan kapal bercadik. Mereka ke utara mengarungi lautan, ke barat memotong lautan Hindia hingga Madagaskar, ke timur hingga Pulau Paskah. Dengan kian ramainya arus pengangkutan komoditas perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di Nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.
Pada masa lalu di era kerajaan Sriwijaya, Majapahit hingga Demak, Nusantara adalah negara besar yang disegani di kawasan Asia, bahkan di seluruh dunia. Berbagai negara mulai dari Tumasik, Pasai, hingga Campa tunduk oleh kegagahan armada kapal Sriwijaya dan cetbang (meriam api) Majapahit.
Sebagai kerajaan maritim yang kuat di Asia Tenggara, Sriwijaya (683-1030 M) telah mendasarkan politik kerajaannya pada penguasaan alur pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan lautnya. Angkatan Kerajaan Sriwijaya umumnya telah ditempatkan di berbagai pangkalan strategis dan mendapat tugas mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang yang berlabuh, memungut biaya cukai, serta mencegah terjadinya pelanggaran laut di wilayah kedaulatan dan kekuasaannya. Petualang Tiongkok, I Tsing, mencatat, Shih Li Fo Shih (Sriwijaya) adalah kerajaan besar yang mempunyai benteng di Kotaraja, armada lautnya amat kuat.
Ketangguhan maritim kita juga ditunjukkan oleh Singasari di bawah pemerintahan Kertanegara pada abad ke-13. Dengan kekuatan armada laut yang tidak ada tandingannya, pada tahun 1275 Kertanegara mengirimkan ekspedisi bahari ke Kerajaan Melayu dan Campa untuk menjalin persahabatan agar bersama2 dapat menghambat gerak maju Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara. Tahun 1284, ia menaklukkan Bali dalam ekspedisi laut ke timur.
Puncak kejayaan maritim nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1478). Di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit berhasil menguasai dan mempersatukan nusantara. Pengaruhnya bahkan sampai ke negara-negara asing seperti Siam, Ayuthia, Lagor, Campa (Kamboja), Anam, India, Filipina, China.
Kejatuhan Majapahit diikuti munculnya Kerajaan Demak. Kebesaran Kerajaan Demak jarang diberitakan, tetapi bukti kekuatan maritim Kerajaan Demak mampu mengirim armada laut yang dipimpin Pati Unus yang bergelar Pangeran Sabrang Lor membawa 100 buah kapal dengan 10.000 prajurit menyerang Portugis di Malaka.
Kilasan sejarah itu memberi gambaran, betapa kerajaan-kerajaan di Nusantara dulu mampu menyatukan wilayah nusantara dan disegani bangsa lain karena kehebatan armada niaga, keandalan manajemen transportasi laut, dan armada militer yang mumpuni. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwasannya Sriwijaya dan Majapahit pernah menjadi center of excellence di bidang maritim, kebudayaan, dan agama di seluruh wilayah Asia Tenggara.
Kejayaan para pendahulu negeri ini dikarenakan kemampuan mereka membaca potensi yang mereka miliki. Ketajaman visi dan kesadaran terhadap posisi strategis nusantara telah membawa negara ini disegani oleh negara-negara lain.
Namun sayang, kini kejayaan itu tidak lagi banyak dikenang. Kejayaan tersebut seakan tertutup oleh potret kemiskinan yang melanda rakyat Indonesia. Kecintaan kita kepada laut juga sepertinya semakin dangkal. Rasa keberpihakan negara terhadap dunia maritim pun masih lemah. Meski Departemen Kelautan dan Perikanan sudah dibentuk namun fokus pembangunan negara ini masih berfokus di sektor ?darat?. Bahkan sejumlah kalangan masih menganggap sektor kelautan merupakan sebuah beban dibandingkan sebuah aset berharga. “Memang harus diakui bahwa rasa keberpihakan kita terhadap sektor kelautan masih sangat kurang. Itu sebabnya masih ada yang beranggapan bahwa laut sebagai sebuah beban dan bukan sebagai aset yang berharga, padahal dalam kenyataannya sektor ini sangat berpotensi jika digarap secara baik,” kata Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan, Suseno.
Padahal telah jelas wilayah negeri ini 2/3-nya berupa lautan. Pantainya merupakan pantai terpanjang di dunia setelah Kanada dengan panjang 81.000 km. Dengan luas laut 5,8 juta km2 (luas kawasan laut tersebut terdiri dari wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 2.7 juta km2 dan Laut Teritorial sebesar 3.1 juta km2) dengan bertabur pulau-pulau yang berjumlah 17.506 menjadikan Indonesia sebagai negara dengan laut terluas di dunia.
Kondisi geografis ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Indonesia berada pada posisi geopolitis yang penting yakni Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, sebuah kawasan paling dinamis dalam percaturan politik, pertahanan dan keamanan dunia. Alasan di atas seharusnya sudah cukup menjadi dasar untuk menjadikan pembangunan kelautan sebagai arus utama (mainstream) pembangunan nasional.
Di dalam semua fakta tersebut, terkandung potensi dan kekayaan alam bahari yang begitu luar biasa. BEI NEWS menyebut segala kandungan yang ada di dalam rahim sektor bahari kita dengan “Raksasa yang Sedang Tidur”. Betapa tidak, menurut data dari Departemen Kelautan dan Perikanan, total nilai ekonomi semua potensi ikan kita mencapai US$ 82 miliar per tahun. Sayang potensi ini dioptimalkan 40 persennya saja. Ini pun masih banyak mengalami “kebocoran” dengan kasus penjarahan oleh nelayan maupun kapal asing.
Potensi-potensi yang lain seperti pariwisata, pelayaran, pertambangan dan energi,industri dan jasa maritim, adalah juga potensi yang masih “tertidur” hingga saat ini. Semua ini terjadi karena belum adanya visi maritim yang jelas di negara bahari ini.
Masalah utamanya adalah masalah paradigma. Paradigma darat/agraris masih kuat melekat pada kebanyakan masyarakat Indonesia, terutama pemerintahnya. Bangsa Indonesia masih mengidap kerancuan identitas. Di satu pihak mempunyai persepsi kewilayahan tanah air, tetapi memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris dengan puluhan juta petani miskin yang tidak sanggup kita sejahterakan, sedangkan kegiatan industri modern sulit berkompetisi dengan bangsa lain, antara lain karena budaya kerja yang berkultur agrarian konservatif, disamping berbagai inefisiensi birokrasi dan korupsi. Industri pun kita bangun tidak berdasar pada keunggulan kompetitif namun pada keunggulan komparatif, tanpa kedalaman struktur dan tanpa masukan keilmuan dan teknologi yang kuat.
Akibat dari hal ini adalah pembangunan perekonomian maritim dan pembangunan sumber daya manusia tidak pernah dijadikan arus utama pembangunan nasional, yang didominasi oleh persepsi dan kepentingan daratan semata.
Tidak adanya visi ini akan membuat pembangunan di sektor bahari hanya sekadar “formalitas” belaka memenuhi tuntutan sebagian kalangan. Ini bisa kita lihat pada kasus Dewan Maritim Indonesia (DMI). Selama ini DMI hanya berperan sebagai lembaga konsultatif yang memberikan masukan pada Presiden. Sebagai eksesnya Inpres No. 5/2005 tentang Program Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional tidak berjalan dengan semestinya karena berbagai pihak yang mendapat amanat tersebut belum mampu berkomunikasi secara maksimal.
Sebagai akibat dari belum adanya kejelasan visi maritim tersebut adalah masalah-masalah yang terjadi di lapangan, seperti masalah perbatasan dengan beberapa negara tetangga, masalah infrastruktur kemaritiman yang masih kurang memadai seperti armada laut yang jauh dari memadai. Sebagai ilustrasi, untuk mengawasi wilayah pelabuhan seluas 604 hektar di Tanjung Priok, hanya ada lima kapal patroli. Itupun dengan usia yang sudah tua dan kalah cepat dengan kapal-kapal para pencuri dan para penyelundup. Tidak heran jika sering kita dengar kasus ilegal fishing penyelundupan barang-barang dari pelabuhan.
Dalam konteks pertahanan laut, armada laut yang kita miliki pun tidak merepresentasikan kita sebagai negara maritim terbesar di dunia. Hingga saat ini Indonesia hanya memiliki dua buahkapal selam yang dibuat tahun 1960-an. Sementara Singapura, yang luas negaranya tidak lebih besar dari Kota Jakarta, memiliki tiga buah kapal selam yang dibuat tahun 2000-an.
Data kekuatan armada kapal dagang tahun 1999 menunjukkan Indonesia berada pada urutan terakhir di Asia Tenggara. Singapura, negara kecil yang luas perairannya juga sangat kecil, armada kapal lautnya berada pada urutan pertama di Asia Tenggara. Padahal, dari pertimbangan wilayah, kitalah negara yang paling membutuhkan armada dagang untuk menghubungkan setiap pulau.
Agaknya, memang bukan pekerjaan mudah mengembalikan kejayaan yang pernah kita capai. Namun, yang tidak mudah itu bukan berarti tidak bisa. Kita bisa seperti para pendahulu kita jika bisa dengan tepat dan ada kemauan untuk mulai berkomitmen penuh terhadap pembangunan maritim yang sesungguhnya.
Alhasil apa yang menjadi masalah bagi visi maritim Indonesia? Masalahnya adalah bahwa kita harus menuntaskan jati diri bangsa sebagai penghuni negara kepulauan, dan perlu mempunyai visi dan strategi yang cerdas dan kreatif untuk keluar dari paradigma agraris tradisional ke arah paradigma maritim yang rasional dan berwawasan global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar