Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk kerajaan Majapahit menjadi sebuah
kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Hayam
Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran
air untuk kepentingan irigasi dan mengendalikan banjir. Sejumlah
pelabuhan sungai pun dibuat untuk memudahkan transportasi dan bongkar
muat barang. Empat belas tahun setelah ia memerintah, Maha-patih Gajah
Mada meninggal dunia di tahun 1364. Jabatan patih Hamangkubhu-mi tidak
terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam
Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak informasi tentang
Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit
yang dapat mengungkap sepak terjangnya.
Raja Hayam Wuruk wafat
tahun 1389. Menantu yang sekaligus merupakan keponakannya sendiri yang
bernama Wikramawarddhana naik tahta sebagai raja, justru bukan
Kusumawarddhani yang merupakan garis keturunan langsung dari Hayam
Wuruk. Ia memerintah selama duabelas tahun sebelum mengundurkan diri
sebagai pendeta. Sebelum turun tahta ia menujuk puterinya, Suhita
menjadi ratu. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre Wirabhu-mi, anak Hayam
Wuruk dari seorang selir yang menghendaki tahta itu dari keponakannya.
Perebutan kekuasaan ini membuahkan sebuah perang saudara yang dikenal
dengan Perang Pare(gre(g. Bhre Wirabhumi yang semula memperoleh
kemenanggan akhirnya harus melarikan diri setelah Bhre Tumape(l ikut
campur membantu pihak Suhita. Bhre Wirabhu-mi kalah bahkan akhirnya
terbunuh oleh Raden Gajah. Perselisihan keluarga ini membawa dendam yang
tidak berkesudahan. Beberapa tahun setelah terbunuhnya Bhre Wirabhu-mi
kini giliran Raden Gajah yang dihukum mati karena dianggap bersalah
membunuh bangsawan tersebut.
Suhita wafat tahun 1477, dan karena
tidak mempunyai anak maka kedudukannya digantikan oleh adiknya, Bhre
Tumape(l Dyah Ke(rtawijaya. Tidak lama ia memerintah digantikan oleh
Bhre Pamotan bergelar S’ri Ra-jasawardhana yang juga hanya tiga tahun
memegang tampuk pemerintahan. Bahkan antara tahun 1453-1456 kerajaan
Majapahit tidak memiliki seorang raja pun karena pertentangan di dalam
keluarga yang semakin meruncing. Situasi sedikit mereda ketika Dyah
Su-ryawikrama Giris’awardhana naik tahta. Ia pun tidak lama memegang
kendali kerajaan karena setelah itu perebutan kekuasaan kembali
berkecambuk. Demikianlah kekuasaan silih berganti beberapa kali dari
tahun 1466 sampai menjelang tahun 1500. Berita-berita Cina, Italia, dan
Portugis masih menyebutkan nama Majapahit di tahun 1499 tanpa
menyebutkan nama rajanya. Semakin meluasnya pengaruh kerajaan kecil
Demak di pesisir utara Jawa yang menganut agama Islam, merupakan salah
satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit. Tahun 1522 Majapahit tidak
lagi disebut sebagai sebuah kerajaan melainkan hanya sebuah kota.
Pemerintahan di Pulau Jawa telah beralih ke Demak di bawah kekuasaan
Adipati Unus, anak Raden Patah, pendiri kerajaan Demak yang masih
keturunan Bhre Kertabhu-mi. Ia menghancurkan Majapahit karena ingin
membalas sakit hati neneknya yang pernah dikalahkan raja
Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Demikianlah maka pada tahun 1478
hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan penguasa nusantara dan
berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja Demak. Berakhir pula
rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur yang dimulai oleh
Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singha-sari, digantikan oleh sebuah
bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam.
Ironisnya, pertikaian
keluarga dan dendam yang berkelanjutan menyebabkan ambruknya kerajaan
ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari bangsa lain yang menduduki Pulau
Jawa.
(Disarikan dari Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, 1984, halaman 420-445, terbitan PP Balai Pustaka, Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar