INDONESIA
merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.504 pulau
dengan panjang pantai 95.181 km, sehingga negara kita memiliki potensi
sumber daya wilayah pesisir laut yang besar. Ekosistem pesisir laut
merupakan sumber daya alam yang produktif sebagai penyedia energi bagi
kehidupan komunitas di dalamnya. Selain itu ekosistem pesisir dan laut
mempunyai potensi sebagai sumber bahan pangan, pertambangan dan mineral,
energi, kawasan rekreasi dan pariwisata. Hal ini menunjukkan bahwa
ekosistem pesisir dan laut merupakan aset yang tak ternilai harganya di
masa yang akan datang.
Ekosistem pesisir dan laut meliputi
estuaria, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, ekosistem pantai
dan ekosistem pulau-pulau kecil. Komponen-komponen yang menyusun
ekosistem pesisir dan laut tersebut perlu dijaga dan dilestarikan
karena menyimpan sumber keanekaragaman hayati. Salah satu komponen
ekosistem pesisir dan laut adalah hutan mangrove.
Mangrove adalah vegetasi hutan yang
tumbuh dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga lantainya
selalu tergenang air. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan
gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut.
Bagaimana kondisi hutan mangrove di Indonesia?
Hutan mangrove Indonesia merupakan
hutan mangrove terluas di dunia. Luas ekosistem mangrove di Indonesia
mencapai 75 persen dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27
persen dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove
Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia.
Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera,
Kalimantan dan Papua. Namun demikian, kondisi mangrove Indonesia baik
secara kualitatif dan kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun.
Saat ini, tercatat Indonesia mempunyai
hutan mangrove seluas 9,36 juta hektar yang tersebar di seluruh
Indonesia. Sekitar 48 persen atau seluas 4,51 juta hektar rusak sedang
dan 23 persen atau 2,15 juta hektare lainnya rusak berat. Kerusakan
hutan mangrove di Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh ulah
manusia. Baik berupa konversi mangrove menjadi sarana pemanfaatan lain
seperti pemukiman, industri, rekreasi dan lain sebagainya.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan
dan Perikanan potensi sumberdaya mangrove, 3,7 juta hektar dari total
9,36 juta hektar tersebut, berada di kawasan hutan. Sedangkan 5,66
juta hektar lainnya, berada di luar kawasan hutan. Untuk mengembalikan
fungsi hutan mangrove, Kementerian Kelautan dan Perikanan terus
menggalakkan penanaman kembali hutan mangrove yang telah rusak.
Padahal, keberadaan hutan mangrove
sangat penting bagi kehidupan. Selain sebagai penyerapan polutan, juga
melindungi pantai dari abrasi, meredam ombak, serta menahan sedimen. Di
samping itu, mangrove juga dapat meredam air laut pasang yang
mengakibatkan banjir rob serta tempat berkembang biaknya biota laut.
“Kita sejak tahun 2003 hingga 2009
telah melakukan penanaman mangrove untuk rehabilitasi dan mitigasi
wilayah Mangrove sebanyak 1,4 juta batang pohon, yaitu 1,15 juta batang
untuk rehabilitasi kawasan pesisir dan 263,5 ribu batang untuk
mitigasi wilayah pesisir sehingga secara keseluruhan wilayah pesisir
telah direhabilitasi seluas 280,1 hektar,” kata mantan Menteri Kelautan
dan Perikanan Fadel Muhammad beberapa waktu lalu.
Fadel mengatakan keberadaan ekosistem
mangrove sangat penting, selain berfungsi sebagai tempat pemijahan biota
laut juga mempunyai andil dalam perubahan iklim melalui penyerapan
emisi CO2. Fadel menekankan keterlibatan masyarakat untuk merawat
sangat penting, bahkan pihak swasta juga didorong untuk terlibat dalam
penyelamatan hutan mangrove.
Kerusakan Hutan Mangrove Memprihatinkan
Berdasarkan data LSM
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), hutan mangrove di Indonesia yang terus
mengalami kerusakan seperti di Aceh 50.000 ha, Sumatera Utara 60.000
ha, Riau 95.000 ha, Sumatera Selatan 195.000 ha, Sulawesi Selatan 24.000
ha, Sulawesi Tenggara 29.000 ha, Kalimantan Timur 150.000 ha,
Kalimantan Selatan 15.000 ha, Kalimantan Tengah 10.000 ha, Kalimanta
Barat 40.000 ha, Jawa Barat 20.400 ha, Jawa Tengah 14.041 ha, Jawa Timur
6.000 ha, Nusa Tenggara 3.678 ha, Maluku 100.000 ha dan Irian Jaya
2.934.000 ha. Total kerusakan hutan mangrove di Indonesia 3.806.119 ha.
Direktur Eksekutif Walhi Riau,
Hariansyah Usman, mengungkapkan hampir sebagian besar hutan mangrove
(bakau) di Riau mengalami kerusakan sangat parah. Kondisi inilah yang
mengakibatkan sejumlah daerah di provinsi Riau mengalami abrasi. Kondisi
paling parah terjadi di Kepulauan Meranti, sekitar 60 persen hutan
mangrove di kawasan ini hancur akibat pembabatan yang dilakukan tanpa
memikirkan dampak lingkungan.
Bentang alam kabupaten Kepulauan
Meranti yang sebagian besar terdiri dari daratan rendah, menjadi sangat
rawan. Pada umumnya struktur tanah di Kepulauan Meranti berupa tanah
alluvial dan grey humus dalam bentuk rawa-rawa atau tanah basah dan
berhutan mangrove. Lahan semacam ini sebenarnya subur untuk pengembangan
di sektor pertanian, perkebunan dan perikanan.
Celakanya, sebagian besar kawasan hutan
mangrove di Kabupaten Kepulauan Meranti terancam punah. Karena arang,
semua hutan bakau di kawasan ini ditebang. Abrasi mencapai sepanjang 5
kilometer. Ini terjadi di Pulau Rangsang. Di Pulau ini,
sekurang-kurangnya enam desa mengalami abrasi cukup parah, yakni Desa
Bantar, Tanjung Motong, Tanjung Kedabu, Tanjung Samak, Tanjung Balak
Bugur, dan Desa Sungai Guyung Kiri.
“Abrasi yang terjadi sudah sangat
parah. Hampir seluruh pulau terluar tergerus ombak Selat Malaka yang
kini semakin kuat dan tidak menentu,” kata Hariansyah.
Walhi Riau juga mencatat, ratusan
hektar yang dulunya permukiman penduduk dan kebun sagu warga kini telah
hilang berganti menjadi lautan. Untuk mengantisipasi bencana yang lebih
parah, warga sekitar berusaha bertahan dengan menanam tanaman penahan
ombak api-api. Tanaman itu diharapkan dapat menahan laju abrasi. Selain
masalah abrasi, tambah Kaka, persoalan yang turut memberatkan penduduk
di pulau terluar Indonesia adalah diberikannya izin perkebunan bagi
perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Hancurnya hutan mangrove di Kabupaten
Kepulauan Meranti memang tak terlepas dari munculnya sejumlah pabrik
arang di kawasan itu. Secara historis hutan mangrove di Kepulauan
Meranti telah lama dimanfaatkan penduduk desa pantai untuk kayu bakar,
perkakas rumah, tiang dan lantai pelataran, jemuran pukat, jemuran ikan,
udang dan kegunaan arang kayu bakau yang diminati untuk diekspor.
Padahal, pembabatan hutan mangrove
dapat dikenai sanksi hukum. Karena dinilai telah melanggar ketentuan
Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, UU 31/2004 tentang
Perikanan, UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil. “Harus ada ketegasan dari pemerintah. Pembabat hutan
mangrove dapat dijerat hukum,” imbuhnya.
Sementara itu, kerusakan hutan mangrove
di Kalimantan Selatan sebagian besar disebabkan adanya kegiatan alih
fungsi. Antara lain disebutkan kerusakan dikarenakan pembangunan
pelabuhan khusus. Selain kerusakan hutan mangrove juga bisa disebabkan
oleh ancaman eksploitasi lainnya. Seperti pembangunan pelabuhan di
wilayah pesisir menjadi salah satu indikator. Dampak dan penyebab
ditimbulkan kerusakan hutan mangrove dapat mengancam kelangsungan hidup
ekosistem sekitarnya, yakni habitat udang dan ikan. Karena hutan
mangrove salah satu tempat habitat ekosistem berkembang.
Di Kalimantan Timur kerusakan mangrove
di Delta Mahakam yang berada di wilayah Kutai Kartanegara telah mencapai
50 persen dari 100 ribu hektar luasan di kawasan tersebut. “Ini terjadi
dalam 10 tahun terakhir. Sebagian besar diakibatkan perluasan tambak
yang tidak terkontrol dengan baik, dan juga akibat kegiatan migas yang
beroperasi di kawasan ini,” kata Ketua Walhi Kaltim Isal Wardana.
Ia menjelaskan, kerusakan tersebut akan
terus terjadi jika pemerintah daerah tidak melakukan langkah
antisipatif secepat mungkin dengan memperketat aturan yang ada. Selain
itu, melakukan rehabilitasi kawasan yang sudah rusak parah sebagai
penyangga intrusi air laut dan melakukan pengelolaan Delta Mahakam
berbasis masyarakat. Sebab ada ribuan warga yang tinggal di kawasan
tersebut. “Harus juga dilakukan pemetaan kawasan, mana yang boleh
dieksploitasi untuk tambak maupun dimanfaatkan masyarakat dan kawasan
masuk dalam zona inti,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, pemanfaatan kawasan
Delta Mahakam untuk aktivitas tambak telah mencapai 50 persen sementara
lainnya diakibatkan aktivitas migas. Jumlah ini terus mengalami kenaikan
tiap tahunnya seiring dengan tingginya permintaan produksi tambak yang
berasal dari negara importir.
Upaya pemulihan dan pendayagunaan
potensi hutan mangrove merupakan ekosistem yang kaya dan menjadi salah
satu sumberdaya yang produktif. Namun sering pula dianggap sebagai lahan
yang terlantar dan tidak memiliki nilai sehingga pemanfaatan yang
mengatasnamakan pembangunan menyebabkan terjadinya kerusakan.
Pengelolaan tambak memang menjanjikan hasil yang menggiurkan tetapi
sangat perlu dilihat kesinambungan dan kelestarian lingkungan yang sudah
terbentuk sebelumnya. Kondisi ini memerlukan suatu strategi yang jelas
dan nyata untuk dapat mempertahankan dan mengelola secara baik dan utuh
hutan mangrove.
Selain itu juga kondisi hutan mangrove
yang terjaga dapat menjadi objek wisata yang pada akhirnya mampu
menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya. Hutan mangrove
merupakan objek wisata alam yang sangat menarik. Hutan mangrove yang
telah dikembangkan menjadi objek wisata alam antara lain di Sinjai
Sulawesi Selatan, Muara Angke DKI Jakarta , Suwung Denpasar, Blanakan
dan Cikeong, Jawa Barat, dan Cilacap, Jawa Tengah. Karakteristik
hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki
keunikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar