Minggu, 12 Februari 2012

EKOSISTEM MANGROVE : Merintih Tergerus Keserakahan

INDONESIA merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.504 pulau dengan panjang pantai 95.181  km, sehingga negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah pesisir laut yang besar. Ekosistem pesisir laut merupakan sumber daya alam yang produktif sebagai penyedia energi bagi kehidupan komunitas di dalamnya. Selain itu ekosistem pesisir dan laut mempunyai potensi sebagai sumber bahan pangan, pertambangan dan mineral, energi, kawasan rekreasi dan pariwisata. Hal  ini menunjukkan bahwa ekosistem pesisir dan laut merupakan aset yang tak ternilai harganya di masa yang akan datang.
Ekosistem pesisir dan laut meliputi estuaria, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, ekosistem pantai dan ekosistem  pulau-pulau kecil. Komponen-komponen yang menyusun ekosistem pesisir dan laut tersebut perlu dijaga dan dilestarikan  karena menyimpan sumber keanekaragaman hayati. Salah satu komponen ekosistem pesisir dan laut adalah hutan mangrove.
Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga lantainya selalu tergenang air. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Bagaimana kondisi hutan mangrove di Indonesia?
Hutan mangrove Indonesia merupakan hutan mangrove terluas di dunia. Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75 persen dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27 persen dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di  wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Namun demikian, kondisi mangrove Indonesia baik secara kualitatif dan kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun.
Saat ini, tercatat Indonesia mempunyai hutan mangrove seluas 9,36 juta hektar yang tersebar di seluruh Indonesia. Sekitar 48 persen atau seluas 4,51 juta hektar rusak sedang dan 23 persen atau 2,15 juta hektare lainnya rusak berat. Kerusakan  hutan mangrove di Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh ulah manusia. Baik berupa konversi mangrove menjadi sarana  pemanfaatan lain seperti pemukiman, industri, rekreasi dan lain sebagainya.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan  potensi sumberdaya mangrove, 3,7 juta hektar dari total  9,36 juta hektar  tersebut,  berada di kawasan hutan. Sedangkan 5,66 juta hektar lainnya, berada di luar kawasan hutan. Untuk  mengembalikan fungsi hutan mangrove, Kementerian Kelautan dan Perikanan terus menggalakkan penanaman kembali hutan mangrove yang telah rusak.
Padahal, keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi kehidupan. Selain sebagai penyerapan polutan, juga melindungi pantai dari abrasi, meredam ombak, serta menahan sedimen. Di samping itu, mangrove juga dapat meredam air laut pasang yang mengakibatkan banjir rob serta tempat berkembang biaknya biota laut.
“Kita sejak tahun 2003 hingga 2009 telah melakukan penanaman mangrove untuk rehabilitasi dan mitigasi wilayah Mangrove  sebanyak 1,4 juta batang pohon, yaitu 1,15 juta batang untuk rehabilitasi kawasan pesisir dan 263,5 ribu batang untuk  mitigasi wilayah pesisir sehingga secara keseluruhan wilayah pesisir telah direhabilitasi seluas 280,1 hektar,” kata mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad beberapa waktu lalu.
Fadel mengatakan keberadaan ekosistem mangrove sangat penting, selain berfungsi sebagai tempat pemijahan biota laut juga  mempunyai andil dalam perubahan iklim melalui penyerapan emisi CO2. Fadel  menekankan keterlibatan masyarakat untuk merawat sangat penting, bahkan pihak swasta juga didorong untuk terlibat dalam penyelamatan hutan mangrove.

Kerusakan Hutan Mangrove Memprihatinkan
Berdasarkan data LSM Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), hutan mangrove di Indonesia yang terus mengalami kerusakan seperti  di Aceh 50.000 ha, Sumatera Utara 60.000 ha, Riau 95.000 ha, Sumatera Selatan 195.000 ha, Sulawesi Selatan 24.000 ha, Sulawesi Tenggara 29.000 ha, Kalimantan Timur 150.000 ha, Kalimantan Selatan 15.000 ha, Kalimantan Tengah 10.000 ha, Kalimanta Barat 40.000 ha, Jawa Barat 20.400 ha, Jawa Tengah 14.041 ha, Jawa Timur 6.000 ha, Nusa Tenggara 3.678 ha, Maluku 100.000 ha dan Irian Jaya 2.934.000 ha. Total kerusakan hutan mangrove di Indonesia  3.806.119 ha.
Direktur Eksekutif Walhi Riau, Hariansyah Usman, mengungkapkan hampir sebagian besar hutan mangrove (bakau) di Riau mengalami kerusakan sangat parah. Kondisi inilah yang mengakibatkan sejumlah daerah di provinsi Riau mengalami abrasi. Kondisi paling parah terjadi di Kepulauan Meranti, sekitar 60 persen hutan mangrove di kawasan ini hancur akibat pembabatan yang dilakukan tanpa memikirkan dampak lingkungan.
Bentang alam kabupaten Kepulauan Meranti yang sebagian besar terdiri dari daratan rendah, menjadi sangat rawan. Pada umumnya struktur tanah di Kepulauan Meranti berupa tanah alluvial dan grey humus dalam bentuk rawa-rawa atau tanah basah dan berhutan mangrove. Lahan semacam ini sebenarnya subur untuk pengembangan di sektor pertanian, perkebunan dan perikanan.
Celakanya, sebagian besar kawasan hutan mangrove di Kabupaten Kepulauan Meranti terancam punah. Karena arang, semua hutan bakau di kawasan ini ditebang. Abrasi mencapai sepanjang 5 kilometer. Ini terjadi di Pulau Rangsang. Di Pulau ini, sekurang-kurangnya enam desa mengalami abrasi cukup parah, yakni Desa Bantar, Tanjung Motong, Tanjung Kedabu, Tanjung Samak, Tanjung Balak Bugur, dan Desa Sungai Guyung Kiri.
“Abrasi yang terjadi sudah sangat parah. Hampir seluruh pulau terluar tergerus ombak Selat Malaka yang kini semakin kuat dan tidak menentu,” kata  Hariansyah.
Walhi Riau juga mencatat, ratusan hektar yang dulunya permukiman penduduk dan kebun sagu warga kini telah hilang berganti menjadi lautan. Untuk mengantisipasi bencana yang lebih parah, warga sekitar berusaha bertahan dengan menanam tanaman penahan ombak api-api. Tanaman itu diharapkan dapat menahan laju abrasi. Selain masalah abrasi, tambah Kaka, persoalan yang turut memberatkan penduduk di pulau terluar Indonesia adalah diberikannya izin perkebunan bagi perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Hancurnya hutan mangrove di Kabupaten Kepulauan Meranti memang tak terlepas dari munculnya sejumlah pabrik arang di kawasan itu. Secara historis hutan mangrove di Kepulauan Meranti telah lama dimanfaatkan penduduk desa pantai untuk kayu bakar, perkakas rumah, tiang dan lantai pelataran, jemuran pukat, jemuran ikan, udang dan kegunaan arang kayu bakau yang diminati untuk diekspor.
Padahal, pembabatan hutan mangrove dapat dikenai sanksi hukum. Karena dinilai telah melanggar ketentuan Undang-Undang  Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, UU 31/2004 tentang Perikanan, UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. “Harus ada ketegasan dari pemerintah. Pembabat hutan mangrove dapat dijerat hukum,” imbuhnya.
Sementara itu, kerusakan hutan mangrove di Kalimantan Selatan sebagian besar disebabkan adanya kegiatan alih fungsi. Antara lain disebutkan kerusakan dikarenakan pembangunan pelabuhan khusus. Selain kerusakan hutan mangrove juga bisa disebabkan oleh ancaman eksploitasi lainnya. Seperti pembangunan pelabuhan di wilayah pesisir menjadi salah satu indikator. Dampak dan penyebab ditimbulkan kerusakan hutan mangrove dapat mengancam kelangsungan hidup ekosistem sekitarnya, yakni habitat udang dan ikan. Karena hutan mangrove salah satu tempat habitat ekosistem berkembang.
Di Kalimantan Timur kerusakan mangrove di Delta Mahakam yang berada di wilayah Kutai Kartanegara telah mencapai 50 persen dari 100 ribu hektar luasan di kawasan tersebut. “Ini terjadi dalam 10 tahun terakhir. Sebagian besar diakibatkan perluasan tambak yang tidak terkontrol dengan baik, dan juga akibat kegiatan migas yang beroperasi di kawasan ini,” kata Ketua Walhi Kaltim Isal Wardana.
Ia menjelaskan, kerusakan tersebut akan terus terjadi jika pemerintah daerah tidak melakukan langkah antisipatif secepat mungkin dengan memperketat aturan yang ada. Selain itu, melakukan rehabilitasi kawasan yang sudah rusak parah sebagai penyangga intrusi air laut dan melakukan pengelolaan Delta Mahakam berbasis masyarakat. Sebab ada ribuan warga yang tinggal di kawasan tersebut. “Harus juga dilakukan pemetaan kawasan, mana yang boleh dieksploitasi untuk tambak maupun dimanfaatkan masyarakat dan kawasan masuk dalam zona inti,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, pemanfaatan kawasan Delta Mahakam untuk aktivitas tambak telah mencapai 50 persen sementara lainnya diakibatkan aktivitas migas. Jumlah ini terus mengalami kenaikan tiap tahunnya seiring dengan tingginya permintaan produksi tambak yang berasal dari negara importir.
Upaya pemulihan dan pendayagunaan potensi hutan mangrove merupakan ekosistem yang kaya dan menjadi salah satu sumberdaya yang produktif. Namun sering pula dianggap sebagai lahan yang terlantar dan tidak memiliki nilai sehingga pemanfaatan yang mengatasnamakan pembangunan menyebabkan terjadinya kerusakan. Pengelolaan tambak memang menjanjikan hasil yang menggiurkan tetapi sangat perlu dilihat kesinambungan dan kelestarian lingkungan yang sudah terbentuk sebelumnya. Kondisi ini memerlukan suatu strategi yang jelas dan nyata untuk dapat mempertahankan dan mengelola secara baik dan utuh hutan mangrove.
Selain itu juga kondisi hutan mangrove yang terjaga dapat menjadi objek wisata yang pada akhirnya mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya. Hutan mangrove merupakan objek wisata alam yang sangat menarik. Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi objek wisata alam antara lain di Sinjai Sulawesi Selatan, Muara Angke DKI Jakarta , Suwung Denpasar, Blanakan dan Cikeong, Jawa Barat, dan Cilacap, Jawa Tengah. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar