Ini ada tulisan dari Ibu Dhiana Puspitawati, SH. LLM. PhD yang saya ambil dari OMBAK- Badan Pers Mahasiswa blognya Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Hang Tuah Surabaya.
Hukum Laut atau Hukum Maritim?
Oleh Dhiana Puspitawati, SH. LLM. PhD
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya
Perkembangan
masalah kelautan belakangan ini sangat menggembirakan. Diawali gagasan
Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar untuk membentuk kaukus kelautan di
tubuh DPR serta kesiagaan Marinir menjaga lima pulau terluar di perairan
selatan Indonesia yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia.
Setelah itu, optimisme KSAL untuk mengamankan Selat Malaka yang rawan
akan terorisme dan perompakan serta usul Prof Dr Dimyati Hartono untuk
membentuk peradilan maritim yang khusus menangani kasus maritim. Hal-hal
tersebut merupakan bukti meningkatnya kepedulian terhadap ocean
affairs. Tetapi, bila kita cermati, timbul kebingungan dalam memahami
istilah laut dan maritim. Apalagi, jika disertai kata hukum sehingga
menjadi hukum laut dan hukum maritim. Memang, kedua istilah itu jatuh
dalam lingkup ocean affairs, tetapi mempunyai ruang lingkup yang
berbeda.
Hukum Laut dan Hukum Maritim
"Most
comprehensively viewed, the international law of the sea comprises two
very different sets of principles. One set of principles, establishing
certain basic, overriding community goals, prescribes for all states the
widest possible access to, and the fullest enjoyment of, the shared use
of the great common resource of the oceans. The other set of
principles, commonly described
as jurisdictional, expresses certain
implementing policies designed economically to serve the basic community
goals of shared use by establishing a shared competence among states in
a domain largely free from the exclusive public order of any particular
state." (McDougal: 1960).
Lahirnya Konvensi Hukum Laut 1982,
yang lebih dikenal dengan sebutan UNCLOS 1982, menandai suatu era baru
dalam hukum laut internasional. Tetapi bila dicermati, walaupun UNCLOS
1982 mengatur hampir semua aspek kelautan, UNCLOS 1982 tidak mengatur
the use of ocean as a means to transport people and their goods from
place to place (marine transport).
Hal itu tidaklah aneh karena
memang nyatanya marine transport did not belong dalam public domain
sehinga berada di luar scope UNCLOS. Dari sinilah muncul hukum maritim
yang lebih mengatur pada lalu lintas commercial ships atau marine
transport, baik sebagai alat transportasi orang maupun pengangkut barang
lewat laut. Karena itu, tidak dapat dimungkiri bahwa hukum maritim juga
"berangkat" dari ocean affairs.
Hukum laut atau yang lebih
dikenal dengan the law of the sea lebih mengarah kepada
pengaturan-pengaturan publik yang bisa dikatakan lebih luas. Misalnya
saja, masalah kedaulatan suatu negara akan wilayah lautnya serta
pengaturan hak lintas kapal asing.
Suatu contoh kasus hukum laut
adalah kasus Bawean 2003 tentang hak lintas Armada Angkatan Laut Amerika
melalui ALKI Timur-Barat serta penentuan pulau-pulau terluar Indonesia
untuk penarikan archipelagic baselines dan kasus-kasus pencemaran laut.
Sengketa
yang timbul dari hukum laut lebih melibatkan negara sehingga
penyelesaiannya lebih mengarah kepada dirumuskannya suatu bilateral atau
multilateral agreement. UNCLOS jugamengenal law of the sea tribunal
untuk penyelesaian sengketa hukum laut.
Sementara itu, hukum
maritim atau yang biasa disebut maritime law mengatur akibat-akibat dari
penggunaan laut sebagai alat transportasi, mencakup hal-hal seperti
collisions, salvage, towage, pilotage, serta marine insurance.
Hal-hal
semacam itu belum diatur khusus di Indonesia. Aturan tentang peran
pandu (pilotage) dan marine insurance masih mengacu pada Kitab UU Hukum
Dagang (KUHD). Dengan demikian, perlu juga dipikirkan kemungkinan
perumusan suatu Indonesian Maritime Act.
Dengan demikian, hukum
maritim lebih mengarah ke pengaturan-pengaturan private. Sengketa yang
timbul dari hukum maritim inilah yang mungkin memerlukan suatu peradilan
khusus di bidang maritim. Hanya, perlu diingat lagi bahwa sebenarnya
kita sudah punya Dewan Maritim Indonesia.
Dewan Maritim Indonesia
Perlunya
pendirian peradilan khusus yang menangani kasus maritim mungkin bisa
disubstitusikan dengan "menggemukkan" fungsi Dewan Maritim Indonesia
(DMI). Sebelum melangkah ke pembentukan lembaga lain kelautan, seperti
kaukus kelautan atau peradilan kemaritiman, perlu dipertimbangkan
efektivitas lembaga kelautan tersebut.
Saat ini, kewenangan DMI
sesuai dengan pasal 1 Keppres No 77/1996 adalah mengoordinasikan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan kelautan dan sama
sekali tidak mencakup ruang lingkup hukum maritim sebagaimana diuraikan
di atas. Dengan demikian, akan lebih tepat jika DMI disebut dengan
Dewan Kelautan Indonesia.
Sangatlah disayangkan bahwa kewenangan
DMI yang beranggota politisi, pemerintah, swasta, maupun NGO "hanya"
terbatas pada koordinasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang berhubungan
dengan kelautan. Dewan tersebut hanya bersifat sebagai consultative
forum. Karena itu, dalam hal law enforcement, lembaga itu terkesan
toothless.
Yang kita perlukan sebenarnya lembaga kelautan yang
terpadu sekaligus punya kewenangan untuk menelurkan suatu kebijakan dan
peraturan perundang-undangan di semua bidang kelautan yang juga mencakup
bidang maritim serta sebagai forum penyelesaian sengketa. Dengan kata
lain, lembaga yang ramping, tapi kaya fungsi dengan struktur mandiri.
Lembaga tersebut bukan saja beranggota orang-orang yang peduli terhadap
masalah kelautan, tetapi juga expertise-expertise dalam bidang hukum
kelautan dan hukum kemaritiman yang diharapkan dapat merumuskan suatu
integrated ocean policy.
Integrated Ocean Policy
Pengaturan
kebijakan-kebijakan, baik di bidang kelautan maupun kemaritiman, saat
ini masih bersifat sektoral dan tersebar di Departemen Kelautan dan
Perikanan, Departemen Perhubungan, dan Departemen Perdagangan. Ditambah
lagi, otonomi daerah di seluruh tingkat pemerintahan, baik pusat,
provinsi, kota maupun kabupaten, punya andil dalam pengaturan
pengelolaan kelautan.
Dengan demikian, batas-batas kewenangan
antartingkat pemerintah tersebut menimbulkan suatu permasalahan. Hal itu
dapat mengakibatkan tumpang tindihnya kebijakan dan peraturan yang
berhubungan dengan kelautan dan kemaritiman. Di sinilah perlunya suatu
integrated ocean policy yang berfungsi sebagai umbrella policy bagi
ocean affairs.
Dhiana Puspitawati SH LLM, PhD Candidate
bidang the Law of the Sea, T.C. Beirne School of Law, The University of
Queensland, Australia. Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas
Hang-Tuah Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar