Minggu, 12 Februari 2012

Indonesia: Kembalikan Kejayaan Bahari Negeri Maritim!

Oleh: Monica Ruth Nirmala, Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia.
Mana yang lebih penting, daratan atau lautan? “Kedua-duanya sangatlah penting. Oleh karena itu Indonesia bukanlah my mother land atau my father land tetapi tanah airku.” Demikian jawaban bijak Agni Pratistha Arkadewi, yang akhirnya mengantar gadis belia ini untuk dinobatkan menjadi Puteri Indonesia 2006. Ucapan indah Sang Puteri, memang menyuratkan pentingnya lautan, sama seperti pentingnya daratan bagi bangsa. Hal ini pula yang sepatutnya mewakili wawasan kita sendiri, putera-puteri sejati bangsa Indonesia.
Kira-kira empat belas abad silam, nenek moyang kita sudah mengerti hal ini. Mereka sungguh dikenal sebagai pelaut perkasa. Kesadaran dan keunggulan bahari kerajaan Sriwjaya amat mumpuni di mata dunia saat itu. Ya, Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai penakluk samudera dunia. Ini senada dengan yang diungkapkan oleh Djoko Pramono (2005):
“Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.”
Wilayah kekuasan Sriwijaya membentang dari lautan Hindia hingga lautan Tiongkok. Bukti sejarah dan arkeologi menunjukkan Sriwijaya telah menguasai hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, yaitu Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Bahkan kegagahan pelayaran mereka terlacak hingga Afrika Barat. Sebelum bangsa Eropa melakukannya, Sriwijaya sudah menualangi laut sekeliling benua Afrika terlebih dulu.
Armada angkatan laut dan perdagangan Sriwijaya pun menguasai jalur dagang dengan menggagahi Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Kerajaan yang juga membangun candi Borobudur ini merupakan penguasa rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Belum lagi komoditi dagang mereka pun sangat beragam. Kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kapulaga, gading, emas, dan timah membuat Raja Sriwijaya tidak pernah kalah makmur dibanding raja-raja bangsa lain di zamannya.
Keperkasaan bahari Sriwijaya sebagai nenek moyang bangsa Indonesia tidak pernah diragukan oleh bangsa-bangsa zaman itu. Lalu, bagaimana dengan anak cucunya, yaitu bangsa Indonesia di zaman sekarang, seribuan tahun setelah masa kejayaan Sriwijaya? Sayang sekali, nampaknya sulit dipercaya bahwa Indonesia merupakan keturunan langsung dari para pelaut Sriwijaya yang tersohor akan kejayaan maritimnya itu. Saat ini masih sangat banyak masalah kelautan di Indonesia yang  menunggu untuk kita urai bersama.
Pertama, penangkapan ikan secara ilegal, atau biasa disebut illegal fishing, oleh bangsa-bangsa asing sudah menjadi kisah klasik yang tak kunjung usai. “Perairan Natuna, Sulawesi Utara, dan Arafuru adalah area perairan Indonesia di mana Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing sering terjadi,” ungkap Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad dalam keterangan persnya bulan April 2011 lalu. Apa dampaknya? Indonesia Maritime Institute melansir bahwa kerugian negara akibat penangkapan ikan ilegal mencapai Rp 80 triliun per tahunnya! Kerugian tersebut terdiri dari potensi ikan yang hilang mencapai Rp 30 triliun dan kehilangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 50 triliun setiap tahun. Jumlah yang sangat besar!
Lalu, siapa malingnya? Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pelaku pencurian ikan di perairan Indonesia secara berurutan peringkatnya diduduki oleh negara-negara tetangga yaitu Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, RRC, dan sejumlah negara lainnya. Tunggu sebentar, bukankah negara-negara ini adalah jajahan Kerajaan Sriwijaya di masa lampau? Relakah kita perikanan Tanah Air begitu saja dikangkangi nelayan maling dari negara-negara tersebut?
Kita patut mengapresiasi dan mendukung upaya pemerintah yang diwakili Kementerian Kelautan Perikanan dalam memerangi penangkapan ikan ilegal. Pertemuan 21 negara yang tergabung dalam Asia-Pacific Economic Development (APEC) telah membuahkan kesepakatan untuk lebih gencar memerangi penangkapan ikan ilegal bersama-sama. Kesepakatan ini termaktub dalam Deklarasi Paracas hasil Pertemuan Menteri Kelautan APEC di Peru, 11-12 Oktober 2010 lalu. Namun, selain bersepakat bersama, diperlukan juga ketegasan pemerintah dalam menindak praktisi penangkapan ikan ilegal ini. Ganjaran penjara hingga 5 tahun yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 Pasal 85 jo Pasal 101 perlu dilakukan secara serius dan tidak tebang pilih.
Kedua, setelah meninjau penangkapan ikan ilegal kini mari lihat wajah jasa pelayaran di Indonesia. Sangat mengejutkan bahwa jasa transportasi laut nasional ternyata lebih banyak dikuasai perusahaan asing. Berdasarkan data Departemen Perhubungan, pada tahun 2003, muatan angkutan laut luar negeri yang dilayani kapal nasional hanya sebanyak 15,1 juta ton barang atau 3,4%. Sedangkan, muatan angkutan laut luar negeri yang dilayani kapal asing mencapai 427,8 juta ton atau 96,6%. Padahal menurut Widihardja Tanudjaja, Deputy Chairman Indonesian National Shipowner Association, perputaran uang di bisnis ini angkanya bisa mencapai 46 miliar US$ per tahun. Belum lagi di jalur domestik, armada nasional paling banter hanya bisa menguasai pasar tak lebih dari 55%. Betapa ironinya bangsa ini!
Berkaca pada Sriwijaya yang menguasai jalur dagang nasional di zamannya, maka Indonesia kini pun tidak boleh tinggal diam ketika bisnis pelayaran di seantero laut negerinya sendiri digagahi oleh pihak asing. Lagi-lagi kita patut mendukung upaya pemerintah dalam Inpres No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran. Sejak keluarnya instruksi tersebut, total muatan armada nasional di rute domestik dan luar negeri diharapkan dapat terus merangkak naik. Namun, sesungguhnya Inpres saja tidaklah cukup. Dibutuhkan partisipasi dari semua pihak yang terkait (konsumen, penyedia jasa, pebisnis, aparat keamanan, dll) untuk menggenjot jasa pelayaran milik anak negeri.
Ketiga, batas maritim yang tidak jelas. Tidak sekali dua kali kita mendengar saling tangkap nelayan antarnegara tetangga. Pasalnya para nelayan itu dianggap telah berlayar mencari nafkah melebihi batas maritim negara mereka yang seharusnya. Namun sebetulnya batas maritim antara Indonesia dengan negara tetangga belum diatur secara lengkap. Masih hangat di ingatan kita bagaimana Pulau Sipadan dan Ligitan juga akhirnya lepas dari dekapan Ibu Pertiwi, lagi-lagi karena batas maritim yang tidak jelas. Penetapan batas ini dilakukan berdasarkan ketentuan Hukum Laut Internasional, yang diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982). Penetapan batas dengan  negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, India, Vietnam, Filipina, dll harus segera dilakukan demi menjaga kedaulatan NKRI atas darat dan lautnya sendiri.
Keempat, kemiskinan dan pendidikan rendah masyarakat pesisir. Sungguh ironi jika mengaku sebagai negara maritim, namun profesi nelayan merupakan pekerjaan yang identik dengan kemiskinan. Pemanfaatan potensi bahari mahadasyat di Indonesia, harus dibarengi dengan pembangunan ekonomi, pendidikan, kesehatan, atau singkatnya kesejahteraan para nelayan.
Belum lagi dibahas mengenai konflik sektoral antar lembaga yang bergerak di bidang kelautan. Juga belum pula dipaparkan mengenai kasus-kasus korupsi, pungli, dan suap di jajaran aparat kelautan yang berwajib. Ini yang membuat mereka tidak bisa berkutik dalam menindak tegas para maling laut Indonesia. Sebetulnya daftar masalah ini masih dapat dilanjutkan menjadi kelima, keenam, ketujuh, dan seterusnya.
Melihat setumpuk masalah yang ada, kita punya sejuta alasan untuk putus asa dan masa bodoh terhadap problematika kelautan Indonesia. Namun, teladan kegagahan dan keberanian pelaut Sriwijaya di masa lampau seharusnya kini menjadi pelecut semangat putera-puteri bangsa untuk membangkitkan kembali kejayaan Indonesia lewat potensi kelautannya. Kita tetap harus optimis dalam berjuang mengurai masalah demi masalah, satu per satu.
Djuanda telah memulainya. Adalah Hari Nusantara, hari yang diperingati bangsa Indonesia pada tanggal 13 Desember setiap tahunnya. Berbicara mengenai Hari Nusantara tentunya tidak akan terlepas dari tokoh pahlawan bangsa yaitu Djuanda Kartawidjaja. Sumbangsih paling strategisnya bagi Indonesia, muncul dari pernyataannya yang terkenal dan termaktub dalam Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957.
Sebelum Deklarasi Djuanda, wilayah RI merupakan pulau-pulau di wilayah Nusantara yang dipisahkan oleh laut di sekelilingnya. Berdasarkan Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939), setiap pulau di Nusantara hanya berhak atas laut di sekeliling sejauh tiga mil dari garis pantai. Peraturan ini memberi ruang yang leluasa bagi kapal-kapal asing untuk berlayar menyusuri laut yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia. Tentunya juga memberi kesempatan pada mereka untuk menambang “harta kekayaan” di dalamnya.
Gebrakan Djuanda Kartawidjaja mengubah wajah perairan di Tanah Air. Deklarasi Djuanda menghasilkan isi antara lain: (1) bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri, (2) bahwa sejak dahulu kala kepulauan Nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan, dan (3) ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia.
Deklarasi ini memiliki tujuan untuk: (1) mewujudkan bentuk wilayah kesatuan RI yang utuh dan bulat, (2) menentukan batas-batas wilayah NKRI, yaitu laut teritorial sejauh 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau Indonesia, sesuai dengan azas negara kepulauan, dan (3) mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.
Deklarasi yang dipelopori Perdana Menteri terakhir Indonesia ini telah menggemparkan dunia internasional. Bahkan Amerika Serikat dan Australia yang notabene adalah negara daratan tidak langsung menerima sikap Indonesia ini. Namun, setelah 25 tahun perjuangan gigih dengan diplomasi yang panjang dan alot, akhirnya di tahun 1982 dunia menerima dan menetapkan konsepsi negara Nusantara dalam Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS).
Prinsip-prinsip negara kepulauan (Nusantara) dalam konsepsi tersebut telah berakibat bertambahnya luas wilayah Indonesia hingga 2,5 kali lipat! Dan wilayah Indonesia menjadi bulat dan utuh tidak terpisah-pisah oleh lautan. Kini lautan menjadi pemersatu lebih dari 17.500 pulau di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Luas laut Indonesia dari 2,02 juta km2 mencapai 5,8 juta km2, atau setara tiga per empat (75,3%) dari keseluruhan wilayah Indonesia. Wilayah laut dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Dengan demikian, Indonesia menjadi negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Bahkan Jusman Safeii Djamal, Menteri Perhubungan di tahun 2008, mengatakan bahwa Indonesia saking besarnya merupakan benua maritim—bukan lagi negara maritim.
Deklarasi Djuanda kala itu adalah wujud keberanian bangsa Indonesia mendobrak sistem pelayaran Internasional yang merugikan bangsa. Namun, deklarasi tinggallah pernyataan belaka, jika di dalam implementasinya puluhan tahun kemudian kita masih gagap dalam melaut dan pasrah dimalingi oleh negara-negara tetangga!
Djuanda Kartawidjaja, kelahiran Tasikmalaya, 14 Januari 1911, pada masanya telah berani berjuang mengusung kembali kejayaan maritim Indonesia. Alhasil kini laut Indonesia terbentang begitu luasnya mempersatukan belasan ribu pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, dan dari Miangas hingga Rote. Djuanda telah membuka jalan bagi para penerusnya untuk mendulang pelbagai sumber daya alam laut bagi kebaikan bangsa Indonesia. Djuanda yang visioner pun telah mendorong persatuan dan kesatuan bangsa melalui laut. Ia tidak melihat laut sebagai pemisah pulau, tetapi justru sebagai pemersatu Nusantara.
Secara geo-politik, Deklarasi Djuanda punya makna yang sangat strategis bagi persatuan dan kesatuan Indonesia. Kita teringat tiga pilar utama dari bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tiga pilar utama tersebut antara lain: (1) Kesatuan kejiwaan di dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang merupakan pernyataan “Kesatuan dan Persatuan Indonesia”; (2) kesatuan kenegaraan dalam proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan NKRI; (3) kesatuan kewilayahan Indonesia (darat, laut, dan udara) dalam Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Tentunya sumbangan Djuanda ini sangat bermakna bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, kesatuan wilayah melengkapi kesatuan jiwa dan kesatuan negara.
Secara geo-ekonomi deklarasi ini juga mahastrategis bagi kejayaan dan kemakmuran Indonesia. Sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat besar dan beraneka-ragam, baik berupa sumber daya alam terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), sumber daya alam yang tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya), juga energi kelautan seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut.
Potensi laut Indonesia, seperti disebutkan di atas, sungguh nyata dapat menggerakkan roda perekonomian nasional. Seperti dikutip dari Indonesia Maritime Institute, potensi ekonomi kelautan Indonesia diperkirakan mencapai Rp 7.200 triliun per tahun atau enam kali lipat dari APBN 2011 (Rp 1.299 triliun) dan satu setengah kali PDB saat ini (Rp 5.000 triliun). Juga lapangan kerja akan tercipta lebih dari 30 juta orang. Mengetahui potensi mahadasyat ini, sudah saatnya kita secara serius mewawas dan membangun bersama bidang kelautan Indonesia. Bukankah hanya dengan potensi laut, Indonesia sudah bisa berdiri mandiri membiayai anggarannya sendiri setiap tahun?
Oleh karena itu, benarlah perkataan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia Fadel Muhammad, ”Sudah saatnya kita (Indonesia) harus berpaling ke laut karena masa depan kita berada di laut.” Kita patut menyingsingkan lengan baju, bekerja bersatu bahu membahu mewujudkan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim. Dukung dan awasi upaya pemerintah dalam merencanakan, mengorganisir, mengaktualisasi, dan mengkaji kebijakan-kebijakan pembangunan berbasis kelautan, yaitu ocean policy, ocean governance, dan ocean economic. Dukung dan awasi upaya Departemen Kelautan dan Perikanan dalam mewujudkan visi Indonesia sebagai negara penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar dan bebas penangkapan ikan ilegal tahun 2015.
Samaratungga, sang Raja Sriwijaya telah membuktikan kejayaan bahari Nusantara 1000 tahun yang lalu. Dan Djuanda telah memulai usaha pemulihannya 1000 tahun kemudian. Apa bagian kita kini?
Jika Djuanda kini masih hidup dan berceramah pada peringatan Hari Nusantara, kira-kira apa yang akan ia khotbahkan? Mungkin ia akan begitu marah mendengar Sipadan dan Ligitan yang lenyap digondol bangsa asing. Mungkin ia akan berseru-seru mengenai persatuan dan kesatuan bangsa untuk menjaga teritori bersama. Mungkin ia akan geram melihat kemiskinan dan pendidikan rendah pada masyarakat pesisir di sekujur garis pantai Indonesia. Mungkin ia akan memperjuangkan mati-matian pembangunan Indonesia berwawasan kelautan di depan presiden dan di badan-badan kehormatan negara.
Lalu, jika Samaratungga sang Raja Sriwijaya yang tersohor itu bangkit kembali dan berceramah pada peringatan Hari Nusantara, kira-kira apa yang akan ia serukan? Mungkin ia akan mengacung-acungkan telunjuknya tanda kecaman atas penangkapan ikan ilegal oleh negara-negara bukan maritim di sekitar Indonesia. Mungkin ia akan gusar tak habis pikir akan jasa pelayaran di Indonesia yang didominasi perusahaan asing. Mungkin ia akan naik pitam mengutuki korupsi dan kecurangan yang menggerogoti tubuh aparat di laut-laut Indonesia.
Masa depan bangsa Indonesia terletak pada lautnya. Kini Djuanda dan Samaratungga telah tiada. Kitalah pengganti mereka. Mari kembalikan kejayaan maritim Nusantara!
Berantas eksploitasi ikan ilegal oleh bangsa asing!
Jadilah tuan rumah yang berkuasa atas laut sendiri!
Indonesia, berdirilah tegap sebagai negara maritim!
Biarlah kelak setiap hari anak cucu kita boleh berbangga, “Indonesia bukanlah my mother land atau my father land tetapi tanah airku.”

KONSEPSI NEO MARITIM INDONESIA


Apresiasi berkesenian daerah yang adalah salah satu dari cabang ilmu  budaya apabila dipelihara, ditumbuh-kembangkan akan menciptakan gain yang sangat besar pada sektor sosial dan perekonomian bangsa.
Kekayaan budaya Nusantara, apabila dimaknai dengan benar akan menjadi kekuatan emosional yang tak terbatas bagi pengkayaan khasanah religius yang begitu heterogen menyebar di seluruh wilayah Nusantara tanpa perlu khawatir akan menimbulkan benturan yang selama ini justru muncul karena isu negatif dari sekelompok masyarakat yang mau menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Terbukti, ratusan tahun bangsa ini sanggup beradaptasi dengan berbagai budaya, peradaban dan agama yang datang dari luar tanpa perlu menghancurkan tata-nilai peradaban yang sudah terwarisi. Namun, kehilangan jati-diri bangsa akibat penjajahan karakter selama tiga setengah abad oleh bangsa barat menciptakan ketidakpercayaan diri bangsa untuk kembali menyadari arti penting warisan nenek-moyang, yang salah satunya adalah kepercayaan diri memiliki kekayaan potensi dan sumber daya alam.
Apabila para pemimpin bangsa berperilaku seperti para penjajah, bangsa ini semakin kehilangan jati diri. Rakyat semakin terpuruk ke jurang paling dalam. Rakyat kembali menjadi bulan-bulanan kepentingan kelompok penjajah dalam bentuk lain. Cepat atau lambat bangsa ini akan terkubur. Rakyat tak lagi memiliki warisan dengan berjuta potensi kekayaan alam, budaya dan nilai-nilai luhur spiritual yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa.
Nusantara Raya, Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya akan menjadi dongeng anak-cucu kelak sebagai negara yang pernah ada di planet bumi ini sebagai negara antah-berantah tanpa jelas asal-usulnya.
Sejarah kebesaran bangsa akan hilang digantikan dengan ideologi baru yang sama sekali tak dikenal sebagai warisan filsafati bangsa.
Apabila kesadaran masyarakat seperti diuraikan di atas tumbuh kembali, akan lahir Nusantara babak baru, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan jiwa yang pernah ada jauh sejak ratusan tahun lalu, sebagai bangsa yang memiliki negara ini dengan beragam kekayaan.
Kesadaran memiliki arti berbangsa akan kembali memberikan kepercayaan pada seluruh masyarakat untuk bangkit mengejar ketertinggalan yang selama ini memang diciptakan oleh para penjajah atau segelintir masyarakat kita yang berjiwa penjajah.
Perkembangan teknologi dan kuatnya arus budaya asing yang berdesakan memasuki wilayah budaya dan peradaban kita, justru akan menjadi kekayaan peradaban bangsa, bukan sebuah ancaman yang menakutkan.
Kekuatan budaya dan moral yang pernah dimiliki bangsa sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu seharusnya mampu menjadi holy-spirit seluruh rakyat Indonesia untuk semakin kuat menciptakan peluang untuk terus berkembang bersama-sama masyarakat dunia, apapun budaya dan peradaban mereka. Bangsa asing pada akhirnya akan menaruh hormat dan kepercayaan yang sangat tinggi pada bangsa kita, bangsa yang sudah pernah mengenal peradaban jauh sebelum Amerika Serikat dan beberapa negara di belahan dunia lain lahir.
Untuk mendapat nilai-nilai normatif seperti yang diuraikan di atas, sudah waktunya bangsa besar ini melakukan bukan saja reformasi tapi restorasi besar-besaran.
Salah satunya yang terpenting adalah mengembalikan konsepsi negara Maritim, kebaharian, yang terbukti dalam sejarah tercatat mampu membawa bangsa ini menjadi bangsa yang terhormat di mancanegara pada zamannya.
Kebahariaan bukanlah barang baru.
Namun perjalanan panjang bangsa ini yang nyaris melupakan asal-usul konsep strategis yang pernah dicanangkan para founding-father jauh sebelum proklamasi kemerdekaan telah begitu kuat tertanam di dalam setiap jiwa bangsa besar saat ini.
Kita semakin tak memahami arti persatuan nusantara yang secara implisit memberikan sebuah pemahaman betapa luas dan beragamnya etnis, budaya dan geografi bangsa.
Untuk itu, sudah saatnya sekarang kita dengan serius dan cerdas merenovasi bangunan kebaharian kita dengan konsep yang lebih profesional sejalan dengan perkembangan kebudayaan dan peradaban dunia yang terus mencapai titik tertinggi.
Saya menamakannya konsep NEO MARITIM INDONESIA.
Neo Maritim Indonesia adalah bahasa baru dari filosofi berkebangsaan yang pernah ada di bumi Nusantara ini, yang bersumber dari konsepsi Negara Maritim gagasan Gajah Mada  sebagai Bapak bangsa berdasarkan falsafah persatuan dan kesatuan bangsa seperti tertuang dalam kitab Sutasoma karya Rakawi Tantular: Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa.

MAJAPAHIT, SEBAGAI NEGARA MARITIM

Majapahit pada abad 13-15 terbukti (pada zamannya) mampu menjawab kebutuhan masyarakat luas sampai ke pelosok negeri.

Hal yang menarik untuk dikaji adalah bahwa keberhasilan itu salah satunya dengan menerapkan sebuah ideologi yang sangat berharga yaitu persatuan bangsa yang diambil dari akar falsafah Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa yang tertuang dalam kitab Sutasoma karya Rakawi Tantular.
Dengan sangat cerdas Gajah Mada sebagai Mahapatih Amangkubumi mampu mengapresiasikan amanat kebhinnekaan itu dengan menetapkan Negara saat itu sebagai Negara Bahari, negara maritim, sebagai konsep strategis bangsa.
Kemampuannya menangkap kekayaan bangsa sebagai negara rantai mutu manikam yang dikelilingi perairan luas, Gajah Mada,  dengan sangat brilian menetapkan setidaknya tiga hal pada saat dia menduduki jabatan Mahapatih Amangkubumi, yaitu:
  1. Menjadikan Sumpah Amukti Palapa sebagai landasan Garis Besar Perencanaan Strategis Negara dalam melakukan kebijakan Persatuan Bangsa dengan salah satunya menetapkan garis demarkasi, heterogenisasi demografi, peta geografi dan geologi Nusantara Raya seperti yang tertuang dalam Sumpah Amukti Palapa yang diucapkannya di paseban agung Majapahit berdasarkan konsep dasar yang dicanangkan oleh Sri Kertanagara, raja terakhir Singasari. Dalam hal ini, Gajah Mada dengan cerdas mampu memanfaatkan kekacauan dalam negeri Cina saat itu untuk meminta dukungan penuh dari Kaisar (dinasti Yuan) yang sedang berseteru dengan Hung Wu (yang kelak menggantikan kedinastian Yuan dengan dinasti Ming yang sangat populer itu) di Cina bagi terlaksananya program persatuan Nusantara. Dan Cina saat itu memberikan restu melalui Adityawarman pada dua kunjungan politiknya ke Cina pada tahun 1325 dan 1332.
  2. Membentuk Angkatan Laut yang selama ini belum dimiliki Majapahit secara terorganisir dengan baik yaitu Jaladi Bala sebagai kesatuan militer elit yang disiapkan menjaga seluruh perairan Nusantara dengan cara:                                                                                                                    – merekrut prajurit/pasukan secara besar-besaran sekaligus memberikan pendidikan dan pelatihan berdasarkan sumber yang diadaptasi dari Sriwijaya yang terbukti mampu menjadi kerajaan besar di lautan pada zamannya                                                                               – mengadakan dan membangun seluruh fasilitas yang dibutuhkan seperti kelengkapan persenjataan dan kapal-kapal militer                           – menciptakan kebijakan, perundangan dan job-description yang sangat jelas terhadap seluruh kesatuan militer saat itu, bersama-sama dengan Bhayangkara dan produk-produk hukum lainnya
  3. Menetapkan Selat Malaka dan pelabuhan besar lain seperti Tuban, Gresik dan lainnya menjadi pelabuhan internasional sebagai pintu perdagangan mancanegara. Hal ini terbukti sangat ampuh, Majapahit berkembang sangat pesat. Selat Malaka menjadi pelabuhan besar dunia. Sebagai warisan bangsa, sampai saat ini Selat Malaka tercatat sebagai pelabuhan teramai di dunia.
Saat itu seluruh rakyat secara merata hidup berkecukupan, sejahtera, gemah ripah loh jinawi. Kekayaan alam, budaya dan corak agama menjadi mutu manikam yang sangat agung merasuk ke dalam setiap jiwa masyarakat Nusantara Raya. Nelayan dan Petani hidup berkecukupan dan mampu menjual hasil produksinya sampai ke mancanegara. Perekonomian tumbuh sangat cepat. Perkembangan peradaban mampu mencerdaskan bangsa dari rakyat biasa sampai bangsawan secara signifikan.
Namun sekarang, lebih dari enam ratus tahun kemudian, bangsa kita seperti bangsa yang baru lahir, tak mampu memahami kekayaan sumber daya sehingga menjadi bangsa tertinggal. Bangsa miskin yang dipenuhi oleh ketidakpercayaan diri menghadapi masa depan.
Sebagian masyarakat hidup dalam keterpurukan ekonomi dan sama sekali tak mampu mengapresiasikan budaya dan peradaban besar yang pernah dimilikinya jauh sekian ratus tahun lalu. Sementara budaya korupsi seperti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari setiap inchi urat nadi bangsa.
Para petinggi negara sibuk memikirkan diri dan golongan/partai politiknya. Untuk itu tak segan rakyat dijadikan barang dagangan yang dijual dengan harga murah, bahkan dipaksa untuk tetap menjadi bodoh, robot, mesin pintar yang sebenarnya bodoh karena tak mampu menciptakan kecerdasan untuk dirinya sendiri.
Sebagai indikasi, 22% penduduk Indonesia yang hidup di pesisir saat ini masih sangat konservatif. Dan mencirikan masyarakat tradisional dengan kondisi strata sosial ekonomi yang sangat rendah.
Sensus tahun 1990 menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan, bahwa 79,05% tenaga kerja perikanan dan nelayan tradisional tidak tamat SD.
Hal di atas jelas memberikan gambaran nyata betapa bangsa kita nyaris kehilangan jati diri sebagai bangsa besar yang sebenarnya memiliki potensi kelautan tak terbatas. Namun, ketidakmampuan pemerintah memfasilitasi dan memberikan potensi hidup bagi lebih dari 230 juta rakyat untuk hidup layak telah memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan di segala sektor.
Rakyat tak lagi mampu menangkap nilai-nilai hakiki berkemanusiaan.

INDONESIA SEBAGAI NEGARA MARITIM

Sebagai Negara kepulauan, Indonesia memiliki daerah pesisir yang sangat luas dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, terpanjang nomor dua di dunia setelah Kanada.

17.508 lebih pulau yang saling bergandengan mesra dikelilingi bentangan 3,9 juta km² luas lautan (dari 5,7 juta km² luas perairan di seluruh Nusantara atau 7,9 juta km² temasuk Zona Ekonomi Eksklusif) seharusnya memberikan kebanggaan dan harapan masa depan bagi bangsa Indonesia.
Anugerah Tuhan, sebagai warisan yang memiliki kekayaan sumber daya tak terbatas seharusnya mampu memberikan kepercayaan anak-cucu untuk hidup sejahtera membangun bangsa ini sampai akhir zaman.
Pertemuan lempeng Pasifik, lempeng Eurasia dan lempeng Samudra Hindia-Australia menjadikan Letak Geografis Indonesia begitu unik dan memberikan kekayaan fenomena alam tak terbatas.
Rantai kepulauan Nusantara dari ujung barat sampai ke timur terbentang jalur magnetik, jalur seismik dan jalur anomali gravitasi negatif terpanjang di dunia, telah memberikan kekayaan variasi jenis-jenis kedalaman laut dengan beragam biota laut dan keindahan estetikanya.
Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin (2002) mengemukakan bahwa Nusantara memiliki keunikan yang begitu menakjubkan, telah mempengaruhi iklim global, karena dari sinilah lahir El Nino, La Nina dan variasi-variasi iklim lain di daerah. Di samping itu kepulauan Nusantara mempunyai struktur pinggiran yang berpotensi mengandung sumber-sumber daya alam seperti mineral, air, uap alam, minyak dan gas alam.
Karena letaknya di daerah tropika, kepulauan Nusantara memiliki hutan tropika yang sangat subur dan dilengkapi dengan kehidupan flora dan fauna yang begitu beragam.
Dari sektor perikanan, dengan luas perairan Nusantara sekitar 5,8 juta km², menurut catatan Departemen Kelautan dan Perikanan (2001), Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin dalam bukunya EKONOMI MARITIM (2002), memberikan catatan adanya opportunity yang terabaikan sebesar 41% atau sekitar 2,6 juta ton per tahun dari potensi ikan sebanyak 6,7 ton per tahun.
Kalau kita bandingkan dengan Cina yang hanya memiliki perairan 503.209 km² (8,81 % dari luas perairan Indonesia) namun mampu menghasilkan 24 juta ton lebih ikan per tahun, memberikan indikasi betapa kita kurang mampu menciptakan peluang kekayaan potensi dan sumber daya kemaritiman yang kita miliki.
Belum lagi jika kita melihat data geologi dari Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim (1995), yang menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 60 cekungan yang berpotensi mengandung minyak  dan gas bumi (hidrokarbon). Dari 60 cekungan itu, 15 di antaranya telah berproduksi; 23 cekungan sudah dibor dan 22 cekungan belum dilakukan pemboran. Diperkirakan 60 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 miliar barel  minyak mentah, namun baru 16,7 miliar barel yang diketahui dengan pasti; 7,5 miliar barel di antaranya sudah dieksploitasi dan sisanya sebesar 89,5 miliar barel belum terjamah.
Begitu juga di sektor Transportasi dan Perhubungan Laut, luas lautan dengan segala isinya yang kita miliki tidak sebanding dengan jumlah terbatas dari armada dan pelabuhan kita saat ini.
Data dari Ditjen Perhubungan Laut pada tahun 1999, mencatat jumlah armada pelayaran sebanyak 5.392 unit; armada non pelayaran sebanyak 1.066 unit; pelayaran rakyat (Pelra) 2.793 unit; perintis 37 unit dan Pelni 22 unit. Sedang pelabuhan yang tersedia hanya sekitar 3.247 unit.
Dari pangsa pasar muatan angkutan dalam negeri, pelayaran hanya mampu mengangkut muatan sebanyak 50,15%, sedang untuk pengangkutan luar negeri hanya 4,79% saja.  Namun, pelayaran asing untuk mengangkut pangsa pasar angkutan ke luar negeri berhasil mengangkut sekitar 95,21%. Angka yang sangat memprihatinkan bagi pelayaran nasional kita.
Catatan Negara Indonesia sebagai negara dengan tingkat kecelakaan dan perampokan di laut yang cukup tinggi (high risk country) oleh International Maritime Organisastion (IMO) semakin memberikan gambaran yang sangat memprihatinkan dari peluang ekonomi di sektor kebaharian.
Gambaran singkat di atas memberikan makna yang sangat komprehensif menilai bahwa di satu sisi bangsa kita sesungguhnya bangsa yang memiliki kekayaan berlimpah atas anugerah Tuhan jauh sejak ribuan tahun lalu. Namun, di sisi lain tampak bahwa kita kurang cerdas memanfaatkan sumber daya yang ada untuk sebanyak-banyaknya bagi kepentingan rakyat di seluruh Nusantara ini.
Kalau kita kilas balik, terlihat jelas bahwa bangsa kita pernah menjadi bangsa besar yang tumbuh dan berkembang menciptakan kestabilan politik dan keamanan begitu luas. Sama kita ketahui, kestabilan hanya dapat dirasakan apabila sektor ekonomi, sosial  dan budaya mampu menyentuh wilayah yang paling mendasar, yaitu masyarakat luas.

MASA SURUT BANGSA

(hilangnya nilai-nilai kemaritiman sebagai konsepsi strategis negara)

Lebih dari 170 tahun Majapahit sebagai Negara Maritim terbukti mampu membawa bangsa ini hidup makmur, sejahtera, gemah ripah loh jinawi, tanpa satupun bangsa asing mampu memporakporandakannya, apalagi menjajah Negara besar ini.

Namun sayang, setelah keruntuhannya pada tahun 1478 karena pertikaian suksesi antara kerabat yang sangat klise, Majapahit runtuh oleh perebutan kekuasan, dan Indonesia saat itu mulai kehilangan makna.
Perpecahan tak dapat dihindari. Kerajaan yang tersebar di seluruh persada Nusantara ini mulai berantakan, menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang tak punya kekuatan apapun.
Kerajaan-kerajaan pesisir yang sangat potensial sebagai Negara maritim, yang dulu berada di bawah Majapahit mulai saling mempertahankan teritorialnya masing-masing.
Demak yang kemudian ‘dianggap’ menggantikan kedudukan Majapahit ternyata tak mampu mempertahankan rantai kepulauan Nusantara yang sudah disatukan oleh Gajah Mada, mempertahankan konsepsi Negara Maritim sebagai warisan yang sangat mahal yang pernah dimiliki bangsa besar ini.
Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan Demak, sebagai kerajaan di pesisir, tak mampu mempertahankan obsesinya sebagai Negara maritim sekuat Majapahit.
Pertama karena kesultanan Demak berada di bawah pengaruh para Wali yang saat itu punya target strategis menyebarkan agama Islam, tidak terkonsentrasi pada sektor-sektor perekonomian dan pemberdayaan potensi sumber daya maritim. Ini dapat dilihat dari sejarah panjang perebutan kekuasaan yang terjadi sejak zaman Demak sampai Mataram baru, sangat dipengaruhi oleh kekerabatan para Wali yang populer dengan sebutan Wali Sanga.
Rencana strategis Wali Sanga terbukti memang berhasil, empat ratus tahun kemudian setelah berdirinya Demak, Indonesia tercatat sebagai Negara nomor satu yang penduduknya memeluk agama Islam terbanyak di dunia.
Kegagalan kedua adalah karena masuknya bangsa Eropa memperebutkan pala dan rempah-rempah yang sangat melimpah di tanah air tercinta ini.
Tahun 1511, Demak tak mampu mempertahanan Selat Malaka yang pada zaman Majapahit menjadi soko guru perekonomian maritim Nusantara Raya.
Selat Malaka jatuh ke tangan Portugis.
Dua faktor strategis inilah yang menyebabkan Demak gagal mengembalikan kebesaran Negara maritim yang sudah dirintis oleh Gajah Mada.
Setelah Selat Malaka dikuasai Portugis pada tahun 1511, secara tidak langsung bangsa besar yang pernah mengalami kewibawaan dan kemakmuran ini mulai terkubur dan hilang di percaturan politik benua ini.
Berturut-turut, bandar-bandar internasional yang pernah dimiliki Majapahit pada masa kejayaannya mulai berada di bawah kekuasaan bangsa barat.
Maritim sebagai tulang punggung perekonomian bangsa semakin pudar terlebih ketika bergantian Belanda, Inggris dan Jepang dengan seenaknya mengobok-obok kekayaan bangsa kita dalam segala bidang.
VOC (1602-1798) dengan signifikan menguasai perairan Nusantara Raya ini.
Apalagi setelah terjadi perjanjian Giyanti tahun 1755 antara pihak Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta yang isinya antara lain: diktum bahwa kedua raja keturunan Mataram itu, yang sudah dikendalikan oleh otoritas Belanda, menyerahkan perdagangan laut, hasil bumi dan rempah-rempah dari wilayahnya kepada Belanda.
Sejak itu, nilai-nilai sosial budaya dalam masyarakat Indonesia bergeser, yang semula bercirikan budaya maritim menjadi budaya terestrial. (Djoko Pramono, Budaya Bahari, 2004).
Nusantara Raya hilang dari percaturan planet bumi. Para anak-cucu founding-father Negara Maritim terbesar di belahan selatan Asia ini semakin tak memiliki kepercayaan diri untuk menjadi pewaris tahta atas tanah yang dianugerahkan Allah dengan berjuta sumber daya alam yang sangat kaya ini.
Sampai pada 17 Agustus 1945, barulah bangsa besar ini bagun dari tidur panjangnya. Kita mulai disadarkan betapa pentingnya menggalang kesatuan dan persatuan yang pernah diperjuangkan dan terbukti berhasil membawa bangsa ini menjadi bangsa yang berwibawa pada lebih dari enam ratus tahun lalu.
Di bawah ideologi dan falsafah dasar yang sangat keramat dan sakral, sebagai holy-spirit Gajah Mada memimpin bangsa ini, yaitu: Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa, yang tertuang dalam Kitab Sutasoma karya besar Rakawi Tantular.
Saat ini, kita harus yakin bahwa Kebhinnekaan yang dicanangkan Gajah Mada lebih dari enam ratus tahun lalu, masih sangat strategis sebagai shared-value bangsa besar ini untuk bangkit dari tidur panjang.
Kini, kebaharian, kemaritiman, kelautan, sudah waktunya kembali menjadi infrastruktur perekonomian bangsa yang sudah sangat lelah menderita menjadi orang jajahan yang tak lagi mampu berteriak: merdeka!

NEO MARITIM INDONESIA

Oleh Renny Masmada Neo Maritim Indonesia adalah bahasa baru dari filosofi berkebangsaan yang pernah ada di bumi Nusantara ini, yang bersumber dari konsepsi Negara Maritim gagasan Gajah Mada  sebagai Bapak bangsa berdasarkan falsafah persatuan dan kesatuan bangsa seperti tertuang dalam kitab Sutasoma karya Rakawi Tantular: Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa.

Memiliki wilayah sangat luas dengan hamparan pulau dan dua pertiga lautan di antaranya, secara geografis, Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tegas berwatak maritim.
Kenyataan sejarah ini dicatat Sriwijaya sebagai Negara Maritim yang pernah mengalami kejayaan di bumi Nusantara ini dari tahun 683-1030. Kebesarannya terkenal sampai ke luar perairan Nusantara.
Disusul kemudian oleh Majapahit yang dikomandani oleh Mahapatih Gajah Mada, tercatat bukan hanya terbukti mengalami zaman keemasan sebagai negara maritim, namun mampu memberi warisan persatuan dan kesatuan bangsa yang sampai saat ini menjadi kekuatan filsafati bangsa menghadapi berbagai tantangan bangsa dari berbagai kepentingan untuk menghancurkan nilai-nilai persatuan itu.
Pancasila, sebagai dasar negara memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap peradaban bangsa yang pernah ada di bumi ini. Lima sila yang menjadi soko guru berpijak bangsa telah semakin mempertajam akar filsafati bangsa berhadapan dengan perkembangan nilai-nilai budaya, keagamaan, sosial kemasyarakatan dan perekonomian yang semakin kompleks dan berkembang sangat pesat di seluruh dunia.
Nusantara Raya baru telah lahir sebagai pewaris bangsa besar sejak ratusan tahun lalu dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai negara maritim, Indonesia sudah saatnya mengarahkan political will negara ini ke arah terwujudnya kemakmuran bangsa melalui pemanfaatan dan pengelolaan potensi kelautan yang sangat perperan penting bukan saja bagi sektor kelautan tetapi juga pertanian/perkebunan sebagai sumber daya daratan yang mempunyai peluang pasar sangat besar namun terkendala dengan sarana infrastruktur yang sebagian besar pada transportasi laut.
Terkendalanya infrastruktur mengakibatkan (salah satunya) biaya produksi menjadi tinggi yang pada akhirnya akan menurunkan daya saing pasar dan terhambatnya transaksi perdagangan pada sektor pertanian dan perkebunan. Sektor pertanian dan perkebunan semakin lama menjadi tak punya daya jual. Bukan hanya itu, petani semakin hari menjadi semakin tak berdaya mengembangkan hasil panen yang semakin menurun secara kuantitas dan kualitas.
Dengan membangun pelabuhan sebagai sentra perdagangan dan perhubungan antar pulau dan negara, tentunya juga dengan memperhatikan pembangunan infrastruktur daratan sebagai transportasi penghubung, akan menekan biaya produksi pada titik terendah yang pada akhirnya menciptakan pasar produktif pada sektor pertanian, perkebunan dan kelautan. Barang produksi punya daya jual dan mampu bersaing di pasar bebas.
Kapal-kapal alat transportasi lainnya sebagai infrastruktur dibangun secara besar-besaran.
Kota pantai dan daerah penghasil produksi menjadi bergairah. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan menciptakan peluang-peluang baru. Tata-nilai kemasyarakatan akan membentuk manusia cerdas yang sadar bagaimana mengembangkan seluruh sumber daya yang dimiliki.
Pemanfaatan potensi alam akan benar-benar dieksploitasi oleh masyarakat bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan dan sebenar-benarnya kemakmuran rakyat. Lapangan kerja secara langsung tersedia dalam berbagai kesempatan dan sektor usaha.
Investor dan pelaku bisnis luar negeri menjadi bergairah melakukan kerjasama dan transaksi perdagangan. Regulasi dan seluruh produk hukum menjadi fleksibel dan memberikan pencerahan bagi seluruh pelaku bisnis dalam dan luar negeri.
Ekonomi maritim telah memberikan harapan baru bagi pengembangan seluruh sektor bisnis di negara ini. Seluruh potensi bangsa memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi bangsa, yang pada akhirnya akan menciptakan masyarakat sejahtera, gemah ripah loh jinawi  yang cerdas dan mampu membangun bangsa ini seperti yang pernah ada lebih dari enam ratus tahun lalu.

KEKAYAAN BAHARI

Belakangan ini, kekerasan dan perilaku anarkis yang hampir setiap hari terjadi di seluruh lapisan masyarakat menjadi begitu biasa. Peradaban manusia di negeri tercinta ini cepat atau lambat mulai digantikan dengan peradaban zaman batu, hukum rimba. Hukum binatang yang hidup di belantara tak bertuan. Siapa kuat dia jadi pemenang, tak perduli nilai-nilai ketuhanan yang mengagungkan kemanusiaan hanya akan menjadi legenda atau dongeng yang akan dilupakan oleh masyarakat manusia penduduk Nusantara besar ini.

Produk hukum diciptakan hanya bagi kepentingan komunitas tertentu. Rakyat yang sudah lebih dari 350 tahun dibikin bodoh oleh bangsa asing semakin menjadi sampah yang tak lagi mampu berlindung di bawah payung hukum atau kebijakan yang semakin hari semakin tak jelas arahnya.
Anehnya, pembodohan ini sudah berlangsung lama, tetapi tak ada satupun para orang pintar di negeri ini mampu setidaknya memberikan harapan untuk merubah semua kebobrokan ini.
Institusi pendidikan saat ini menjadi barang langka yang hanya menjadi mimpi bagi sebagian besar rakyat. Pendidikan menjadi barang langka yang tak terjamah oleh sebagian masyarakat.
Dampak negatif dari kondisi ini cepat atau lambat akan merubah kultur bangsa, dari masyarakat produsen menjadi masyarakat konsumen yang tak lagi mampu mengatur perekonomian dalam skala terkecil, rumah tangga dan masyarakat sekitar. Konsep budaya gotong-royong yang selama ini menjadi kebanggaan kita, akan lenyap tergantikan dengan model budaya yang datang dari belahan dunia lain, yang hanya mementingkan diri sendiri dan tak mampu lagi memahami arti persaudaraan dan persatuan yang selama ini terbukti mampu membawa bangsa ini menjadi bangsa besar jauh sejak ratusan tahun lalu.
Sebagai negara maritim, bangsa kita sejak ratusan tahun lalu terbukti mampu menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Mampu berdagang dan bersaing dengan bangsa asing, mampu menjadi produsen dengan hasil produksi yang tidak kalah dengan barang dagangan dari negara lain.
Dengan memanfaatkan kekayaan bahari, nenek moyang kita sangat cerdas menciptakan peluang di segala sektor; agama, perekonomian, budaya, sosial-kemasyarakatan, tata hukum dan konsep pertahanan-keamanan strategis.
Namun sejak bangsa kita pecundang oleh (terutama) bangsa barat yang berbondong-bondong mengkebiri kita sejak permulaan abad ke 16, bangsa kita mulai secara perlahan kehilangan jati diri. Konsep negara maritim yang kita miliki mulai dirampok oleh para penjajah dan penjarah kekayaan kita. Bangsa kita mulai hilang dari percaturan geo-politik dunia. Pena sejarah tak mampu lagi menuliskan tinta emasnya bagi kebesaran bangsa yang pernah besar ini.
Konsepsi Negara Maritim yang sudah lama hilang dari ingatan bangsa besar ini secara tidak langsung memberikan dampak negatif. Pemahaman terhadap betapa besarnya potensi dan sumberdaya kebaharian yang dapat dimanfaatkan menjadi tak begitu penting untuk difungsi-kembangkan.
Potensi dan sumber daya kebaharian yang seharusnya terjaga dengan baik bukan saja oleh institusi keamanan Negara tapi bahkan oleh masyarakat Indonesia menjadi tak tertangani dengan baik.
Masyarakat kita menjadi kurang peka terhadap pemahaman konsepsi Negara Maritim yang pernah kita miliki dan terbukti mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran selama ratusan tahun terhadap bangsa besar ini.
Sebagai tulang punggung perekonomian, sumber daya maritim mampu memberikan kontribusi tak terbatas bagi pertumbuhan di segala sektor. Namun, kekayaan alam yang bersumber dari potensi kebaharian ini tak mampu dipahami dan dieksploitasi secara tepat sasaran. Bangsa kita yang sudah terlalu lama melupakan konsepsi kebaharian seakan menjadi kurang cerdas memahami potensi ini selain memahami bahwa sumber daya kelautan adalah yang terdiri hanya dari kekayaan biota laut, seperti ikan dan jenis hewani laut/perairan lainnya.
Bangsa kita saat ini menjadi kurang cerdas memahami bahwa sesungguhnya, kebahariaan, kemaritiman mencakup sektor yang sangat luas.
Secara budaya, kemaritiman memberikan arti begitu luas. Di dalamnya terkandung kekayaan dan beragam budaya yang tak terbatas karena banyaknya pulau yang menjadi bagian dari rantai mutu manikam geografis negara tercinta ini. Setidaknya, dari jumlah masyarakat yang menyebar di 17.508 pulau terkandung muatan budaya dan peluang bisnis yang sangat beragam dengan segala esensi dan apresiasinya.
Kekayaan budaya ini kalau disikapi dengan cerdas akan menjadi potensi besar bagi perkembangan peradaban dan sistem tata-nilai kemanusiaan yang di dalamnya memiliki cabang-cabang yang sangat beragam, termasuk di dalamnya sektor pendidikan, sosial dan keagamaan yang menjadi dasar pijakan membentuk karakter bangsa yang punya tata-nilai, yang pada akhirnya mampu mengembalikan bangsa kita sebagai bangsa berpendidikan dan beradab. Bangsa yang sebenarnya memang terlahir sebagai masyarakat terdidik yang sangat santun dan sangat mengenal arti kasih-sayang dan penghambaan kepada Tuhan pencipta kebenaran.
Bangsa yang sangat perduli terhadap pelestarian eko-sistem alam semesta raya ini, yang bertujuan sebesar-besarnya merawat bumi ini menjadi rumah nyaman bagi anak-cucu kelak.
Dan, kekayaan maritim, bahari, yang begitu luas dan memiliki potensi besar seharusnya mampu menjawab kemiskinan dalam bentuk apapun. Sebagai modal keberlangsungan tata kehidupan di seluruh pelosok negeri ini, sampai akhir zaman.
Kita harus kembali merebut kekayaan bahari yang sekarang dikuasai oleh segelintir penjajah (dalam bentuk apapun) yang hanya mementingkan dirinya sendiri.