Minggu, 12 Februari 2012

“ASAS CABOTAGE” Pelayaran Nasional Tersenyum..?

LAHIRNYA Asas Cabotage menjadi harapan baru bagi industri angkutan laut nasional. Usaha mereka terjaga dan kedaulatan negara terlindungi dari gangguan pihak asing. Ironisnya, setelah lahir peraturan mengenai kewajiban kapal angkutan laut di dalam negeri berbendera Indonesia, industri angkutan laut nasional masih belum dapat bangkit. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia masih di bawah bayang-bayang negara lain.
Sebelum adanya Asas Cabotage, sebagian besar angkutan laut domestik dilayani kapal-kapal berbendera asing. Hal ini menjadikan kepentingan usaha angkutan laut nasional terpuruk. Atas dasar itu pada 7 Mei 2011, lahir Asas Cabotage.
Asas ini memberikan kekuatan bahwa penyelenggaraan pelayaran dalam negeri sepenuhnya hak negara pantai. Artinya, negara pantai berhak melarang kapal-kapal asing berlayar dan berdagang di sepanjang perairan negara tersebut. Penerapan Asas Cabotage didukung ketentuan Hukum Laut Intenasional, berkaitan dengan kedaulatan dan yurisdiksi negara pantai atas wilayah lautnya. Karena itu, kapal asing tidak boleh berada atau memasuki wilayah perairan tanpa izin dan alasan yang jelas. Kecuali untuk jalur kapal bantuan dan memiliki izin atau alasan yang sah tanpa mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban negara.
Saat ini, terutama menghadapi era perdagangan bebas, di kalangan pelaku usaha pelayaran masih terdapat anggapan keliru yang memandang bahwa penerapan Asas Cabotage dalam pelayaran domestik bertentangan dengan prinsip liberalisasi perdagangan. Padahal, asas ini berlaku global dan sudah diterapkan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat yang dikenal sebagai pelopor liberalisasi perdagangan.
Urgensi penerapan Asas Cabotage bagi pelayaran Indonesia didasarkan pada pemikiran bahwa transportasi laut dalam negeri mempunyai peranan strategis dan signifikan dalam pembangunan nasional, mulai bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan sampai keamanan. Selain itu juga terkait dengan mobilitas, interaksi sosial dan budaya bangsa Indonesia.
Secara ekonomi, tujuan diberlakukannya Asas Cabotage adalah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Indonesia, dengan  memberikan kesempatan berusaha seluas-luasnya bagi perusahaan angkutan laut nasional dan lokal. Diyakini peraturan ini dapat meningkatkan produksi kapal dalam negeri, karena seluruh kapal yang berlayar di perairan tanah air harus berbendera Indonesia. Selain itu, Asas Cabotage difungsikan untuk melindungi kedaulatan negara, khususnya di bidang industri maritim.
Melihat potensi bisnis angkutan kapal di Indonesia, khususnya migas yang mencapai 4-5 miliar dolar AS per tahun, menjadi peluang besar bagi industri maritim nasional. Ironisnya, berdasarkan laporan INSA pada 2009, selama ini angkutan oil dan gas di Indonesia dilayani 54 unit kapal yang seluruhnya berbendera asing. Atas lahirnya Asas Cabotage diharapkan industri galangan kapal dalam negeri yang selama ini mati suri kembali hidup.
Sementara itu, dari data Kementerian Perhubungan, hingga September 2010, jumlah kapal berbendera Indonesia tercatat sebanyak 9.835 unit. Rata-rata kapasitas angkutan kapal-kapal tersebut 13,03 juta Gross Ton (GT) atau meningkat dari 6.041 unit dengan kapasitas angkut 5,67 juta GT pada Maret 2005. Yaitu, terdiri dari 8.205 unit kapal berkapasitas angkut 12,4 juta GT milik Perusahaan Angkutan Laut Nasional Pemegang Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut (SIUPAL) dan 1.630 unit sisanya berkapasitas angkut 591.337 GT milik perusahaan angkutan laut pemegang Surat Izin Operasi Perusahaan Angkutan Laut Khusus (SIOPSUS).
Namun, hingga kini industri pelayaran nasional masih terpuruk. Hal tersebut membuat risau para pelaku usaha pelayaran domestik. Pemerintah selaku regulator belum sepenuhnya mengambil langkah-langkah mendasar dan tegas untuk memperbaiki kondisi pelayaran nasional.
Padahal, sektor pelayaran mampu menghasilkan devisa besar bagi negara. Tetapi seluruh potensi tersebut belum dimanfaatkan dengan baik. Perkembangan transportasi laut di Indonesia masih dikuasai pihak asing. Kondisi ini diperparah karena Indonesia belum memiliki armada kapal yang memadai, baik dari segi jumlah maupun kapasitasnya.
Pada 2001 kapasitas share armada nasional terhadap angkutan luar negeri ( 345 juta ton), yang terserap hanya 5,6 persen, selebihnya dikuasai asing (94,4 persen). Sementara, untuk share armada nasional terhadap angkutan dalam negeri yang mencapai 170 juta ton (56,4 persen), 43,6 persen dikuasai kapal-kapal asing.
Kendala yang dihadapi dalam menerapkan Asas Cabotage adalah perusahaan pelayaran nasional tidak sepenuhnya memiliki kapal. Mereka hanya menggantungkan usahanya pada kegiatan keagenan kapal. Kualitas dan perusahaan pelayaran membengkak tanpa kontrol. Sebagai contoh, pada September 1993 terdapat 1045 perusahaan pelayaran dan 389 perusahaan non pelayaran. Pertambahan jumlah perusahaan pelayaran yang demikian cepat tidak seimbang dengan pertambahan jumlah tonase kapal-kapal niaga. Sampai 2001, tercatat ada 1.762 perusahaan pelayaran.
Terungkap, kondisi ini terjadi karena beban biaya yang harus dipikul perusahaan pelayaran nasional sangat besar. Beban pajak yang berlapis-lapis dan tinggi menghambat pertubuhan usaha angkutan kapal dalam negeri. Masalah ini tidak dialami perusahaan kapal asing di negaranya. Mereka justru banyak diberikan kemudahan baik dari segi permodalan maupun regulasinya. Walhasil, persaingan antara kapal Indonesia dengan kapal asing menjadi tidak fair.

Keamanan Negara
Dari sisi pertahanan dan keamanan negara, armada angkutan nasional dapat menjadi komponen pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan dapat dimobilisasikan sebagai pendukung pertahanan negara di laut. Ini dapat dilakukan apabila negara dalam keadaan bahaya. Seperti tercantum dalam UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi. Karena itu, pelayaran nasional harus dipegang bangsa dan kapal milik sendiri dengan mengimplementasikan Asas Cabotage secara utuh.
Hal tersebut sesuai dengan dasar dan kepentingan utama penerapan Asas Cabotage. Pertama, menjamin dan melindungi infrastruktur pembangunan kelautan nasional terutama pada saat negara dalam keadaan darurat, dibandingkan jika infrastruktur itu dimiliki negara asing yang sewaktu-waktu dapat ditarik. Kedua, membangun armada niaga yang kuat dan memadai, mengisi kebutuhan angkutan laut dalam negeri, dan mendukung kegiatan ekonomi kelautan lainnya. Ketiga, mendukung kepentingan keamanan, pertahanan, dan ekonomi nasional. Keempat, armada pelayaran niaga menjadi bagian dari sistem pertahanan negara yang siap dimobilisasi saat negara membutuhkan.
Adapun tujuan dari penerapan Asas Cabotage adalah untuk mencegah atau mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pelayaran kapal-kapal asing; Memperlancar arus barang atau jasa dan manusia ke seluruh wilayah nusantara secara luas dengan pelayanan maksimal, namun tetap dengan harga yang wajar, termasuk ke daerah-daerah terpencil; Selanjutnya, sebagai upaya penyedia kesempatan kerja bagi warga negara; Terakhir, sebagai andalan dan penunjang sistem pertahanan dan keamanan nasional.

Indonesia Tertinggal Jauh
Pada kenyataannya untuk kawasan Asia Tenggara saja, Indonesia masih tertinggal jauh dibanding dengan Singapura dan Malaysia. Ketertinggalan tersebut tidak hanya dari segi fisik, jumlah dan teknologi kapal, tetapi juga dari segi managerial. Hal tersebut sudah seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan pihak-pihak terkait.
Selain itu, pengusaha pelayaran Indonesia dalam pengadaan kapal hampir semuanya membeli kapal bekas dari negara yang lebih maju, antara lain Jepang, Korea, Jerman dan Singapura. Untuk jenis kapal tongkang, mereka umumnya membeli dari Singapura dan Korea. Alasan pembelian kapal ‘rongsokan’ tersebut karena harganya jauh lebih murah dibanding membeli kapal baru, walau dari aspek keamanan dan kerusakan kurang terjamin.
Kondisi ini terjadi tidak lepas dari minimnya investasi modal di bidang jasa angkutan laut dan persepsi terhadap usaha angkutan laut, yang masih menganggap usaha ini sebagai penunjang perdagangan. Tak seperti yang diterapkan negara-negara maju.
Bentuk-bentuk conference yang dicoba diterapkan di lingkungan pelayaran masih ditafsirkan sebagian kalangan ekonom Indonesia sebagai bentuk kartel atau monopoli ekonomi. Padahal Jepang mengecualikan industri pelayaran dari UU monopoli. Masalah itu semakin serius karena perbankan tidak mau memahami sifat bisnis pelayaran. Mereka hanya berpatokan pada aspek legalitas secara kaku di atas perhitungan bisnis dengan berbagai dampaknya.
Hal itulah yang membuat kenapa di Indonesia pelaksanaan atas jaminan hipotek kapal masih berbelit-belit dan tidak efisien. Dasar hukum yang dipakai adalah kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) yang tidak lain adalah produk hukum Burgerlijk Wetboek warisan Belanda.
Permasalahan yang sering timbul dalam bisnis pelayaran modern, antara lain bank asing sulit menerima jaminan atas kapal Indonesia sebagai hipotek karena eksekusinya berbelit-belit. Jaminan yang diberikan melalui prosedurfiat eksekusi dari pengadilan negeri memakan waktu dan tenaga. Hal itu tidak sesuai dengan prinsip bisnis pelayaran yang menghendaki semua berjalan cepat.
Berpatokan pada perundang-undangan yang tidak up to date lagi, sulit diharapkan bertumbuhnya bisnis pelayaran nasional yang kuat dan kompetitif. Negara maju selalu dengan cepat melakukan penyesuaian diri mengikuti dinamika bisnis pelayaran karena pentingnya sektor ini bagi kemajuan ekonomi bangsa.
Fakta ini dapat terlihat setiap saat manakala terjadi persoalan di industri pelayaran atau maritim. Kementerian perhubungan selalu kewalahan sebab kewenangan yang dimilikinya sangat terbatas. Kunci pemecahan masalah berada di jalur birokrasi kementerian keuangan, Bank Indonesia (BI), kementerian perdagangan, serta kementerian BUMN. Untuk pengadaan dan peremajaan kapal misalnya, industri yang masuk kategori padat modal, risiko tinggi dan slow yielding, sama sekali tidak berkesempatan memperoleh perlakuan yang baik.
Buktinya, perbankan bersedia mengucurkan kredit dengan persyaratan rasio kecukupan modal 35 persen. Selain itu, baru memiliki agunan 150 persen dari nilai kredit, dan suku bunga juga komersial. Secara jelas, kebijakan ini mencerminkan ketidakpahaman sistemik. Sungguh tidak ada niat pemerintah untuk memajukan industri pelayaran nasional yang sangat strategis ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar