LAHIRNYA
Asas Cabotage menjadi harapan baru bagi industri angkutan laut
nasional. Usaha mereka terjaga dan kedaulatan negara terlindungi dari
gangguan pihak asing. Ironisnya, setelah lahir peraturan mengenai
kewajiban kapal angkutan laut di dalam negeri berbendera Indonesia,
industri angkutan laut nasional masih belum dapat bangkit. Sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia masih di bawah
bayang-bayang negara lain.
Sebelum adanya Asas Cabotage, sebagian
besar angkutan laut domestik dilayani kapal-kapal berbendera asing. Hal
ini menjadikan kepentingan usaha angkutan laut nasional terpuruk. Atas
dasar itu pada 7 Mei 2011, lahir Asas Cabotage.
Asas ini memberikan kekuatan bahwa
penyelenggaraan pelayaran dalam negeri sepenuhnya hak negara pantai.
Artinya, negara pantai berhak melarang kapal-kapal asing berlayar dan
berdagang di sepanjang perairan negara tersebut. Penerapan Asas Cabotage
didukung ketentuan Hukum Laut Intenasional, berkaitan dengan kedaulatan
dan yurisdiksi negara pantai atas wilayah lautnya. Karena itu, kapal
asing tidak boleh berada atau memasuki wilayah perairan tanpa izin dan
alasan yang jelas. Kecuali untuk jalur kapal bantuan dan memiliki izin
atau alasan yang sah tanpa mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban
negara.
Saat ini, terutama menghadapi era
perdagangan bebas, di kalangan pelaku usaha pelayaran masih terdapat
anggapan keliru yang memandang bahwa penerapan Asas Cabotage dalam
pelayaran domestik bertentangan dengan prinsip liberalisasi perdagangan.
Padahal, asas ini berlaku global dan sudah diterapkan negara-negara
maju, seperti Amerika Serikat yang dikenal sebagai pelopor liberalisasi
perdagangan.
Urgensi penerapan Asas Cabotage bagi
pelayaran Indonesia didasarkan pada pemikiran bahwa transportasi laut
dalam negeri mempunyai peranan strategis dan signifikan dalam
pembangunan nasional, mulai bidang ekonomi, sosial, budaya, politik,
pertahanan sampai keamanan. Selain itu juga terkait dengan mobilitas,
interaksi sosial dan budaya bangsa Indonesia.
Secara ekonomi, tujuan diberlakukannya
Asas Cabotage adalah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat
Indonesia, dengan memberikan kesempatan berusaha seluas-luasnya bagi
perusahaan angkutan laut nasional dan lokal. Diyakini peraturan ini
dapat meningkatkan produksi kapal dalam negeri, karena seluruh kapal
yang berlayar di perairan tanah air harus berbendera Indonesia. Selain
itu, Asas Cabotage difungsikan untuk melindungi kedaulatan negara,
khususnya di bidang industri maritim.
Melihat potensi bisnis angkutan kapal
di Indonesia, khususnya migas yang mencapai 4-5 miliar dolar AS per
tahun, menjadi peluang besar bagi industri maritim nasional. Ironisnya,
berdasarkan laporan INSA pada 2009, selama ini angkutan oil dan gas di
Indonesia dilayani 54 unit kapal yang seluruhnya berbendera asing. Atas
lahirnya Asas Cabotage diharapkan industri galangan kapal dalam negeri
yang selama ini mati suri kembali hidup.
Sementara itu, dari data Kementerian
Perhubungan, hingga September 2010, jumlah kapal berbendera Indonesia
tercatat sebanyak 9.835 unit. Rata-rata kapasitas angkutan kapal-kapal
tersebut 13,03 juta Gross Ton (GT) atau meningkat dari 6.041 unit dengan
kapasitas angkut 5,67 juta GT pada Maret 2005. Yaitu, terdiri dari
8.205 unit kapal berkapasitas angkut 12,4 juta GT milik Perusahaan
Angkutan Laut Nasional Pemegang Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan
Laut (SIUPAL) dan 1.630 unit sisanya berkapasitas angkut 591.337 GT
milik perusahaan angkutan laut pemegang Surat Izin Operasi Perusahaan
Angkutan Laut Khusus (SIOPSUS).
Namun, hingga kini industri pelayaran
nasional masih terpuruk. Hal tersebut membuat risau para pelaku usaha
pelayaran domestik. Pemerintah selaku regulator belum sepenuhnya
mengambil langkah-langkah mendasar dan tegas untuk memperbaiki kondisi
pelayaran nasional.
Padahal, sektor pelayaran mampu
menghasilkan devisa besar bagi negara. Tetapi seluruh potensi tersebut
belum dimanfaatkan dengan baik. Perkembangan transportasi laut di
Indonesia masih dikuasai pihak asing. Kondisi ini diperparah karena
Indonesia belum memiliki armada kapal yang memadai, baik dari segi
jumlah maupun kapasitasnya.
Pada 2001 kapasitas share
armada nasional terhadap angkutan luar negeri ( 345 juta ton), yang
terserap hanya 5,6 persen, selebihnya dikuasai asing (94,4 persen).
Sementara, untuk share armada nasional terhadap angkutan dalam
negeri yang mencapai 170 juta ton (56,4 persen), 43,6 persen dikuasai
kapal-kapal asing.
Kendala yang dihadapi dalam menerapkan
Asas Cabotage adalah perusahaan pelayaran nasional tidak sepenuhnya
memiliki kapal. Mereka hanya menggantungkan usahanya pada kegiatan
keagenan kapal. Kualitas dan perusahaan pelayaran membengkak tanpa
kontrol. Sebagai contoh, pada September 1993 terdapat 1045 perusahaan
pelayaran dan 389 perusahaan non pelayaran. Pertambahan jumlah
perusahaan pelayaran yang demikian cepat tidak seimbang dengan
pertambahan jumlah tonase kapal-kapal niaga. Sampai 2001, tercatat ada
1.762 perusahaan pelayaran.
Terungkap, kondisi ini terjadi karena
beban biaya yang harus dipikul perusahaan pelayaran nasional sangat
besar. Beban pajak yang berlapis-lapis dan tinggi menghambat pertubuhan
usaha angkutan kapal dalam negeri. Masalah ini tidak dialami perusahaan
kapal asing di negaranya. Mereka justru banyak diberikan kemudahan baik
dari segi permodalan maupun regulasinya. Walhasil, persaingan antara
kapal Indonesia dengan kapal asing menjadi tidak fair.
Keamanan Negara
Dari sisi pertahanan
dan keamanan negara, armada angkutan nasional dapat menjadi komponen
pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan dapat
dimobilisasikan sebagai pendukung pertahanan negara di laut. Ini dapat
dilakukan apabila negara dalam keadaan bahaya. Seperti tercantum dalam
UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 27 Tahun 1997
tentang Mobilisasi dan Demobilisasi. Karena itu, pelayaran nasional
harus dipegang bangsa dan kapal milik sendiri dengan mengimplementasikan
Asas Cabotage secara utuh.
Hal tersebut sesuai dengan dasar dan
kepentingan utama penerapan Asas Cabotage. Pertama, menjamin dan
melindungi infrastruktur pembangunan kelautan nasional terutama pada
saat negara dalam keadaan darurat, dibandingkan jika infrastruktur itu
dimiliki negara asing yang sewaktu-waktu dapat ditarik. Kedua, membangun
armada niaga yang kuat dan memadai, mengisi kebutuhan angkutan laut
dalam negeri, dan mendukung kegiatan ekonomi kelautan lainnya. Ketiga,
mendukung kepentingan keamanan, pertahanan, dan ekonomi nasional.
Keempat, armada pelayaran niaga menjadi bagian dari sistem pertahanan
negara yang siap dimobilisasi saat negara membutuhkan.
Adapun tujuan dari penerapan Asas
Cabotage adalah untuk mencegah atau mengurangi ketergantungan masyarakat
terhadap pelayaran kapal-kapal asing; Memperlancar arus barang atau
jasa dan manusia ke seluruh wilayah nusantara secara luas dengan
pelayanan maksimal, namun tetap dengan harga yang wajar, termasuk ke
daerah-daerah terpencil; Selanjutnya, sebagai upaya penyedia kesempatan
kerja bagi warga negara; Terakhir, sebagai andalan dan penunjang sistem
pertahanan dan keamanan nasional.
Indonesia Tertinggal Jauh
Pada kenyataannya
untuk kawasan Asia Tenggara saja, Indonesia masih tertinggal jauh
dibanding dengan Singapura dan Malaysia. Ketertinggalan tersebut tidak
hanya dari segi fisik, jumlah dan teknologi kapal, tetapi juga dari segi
managerial. Hal tersebut sudah seharusnya menjadi perhatian serius
pemerintah dan pihak-pihak terkait.
Selain itu, pengusaha pelayaran
Indonesia dalam pengadaan kapal hampir semuanya membeli kapal bekas dari
negara yang lebih maju, antara lain Jepang, Korea, Jerman dan
Singapura. Untuk jenis kapal tongkang, mereka umumnya membeli dari
Singapura dan Korea. Alasan pembelian kapal ‘rongsokan’ tersebut karena
harganya jauh lebih murah dibanding membeli kapal baru, walau dari aspek
keamanan dan kerusakan kurang terjamin.
Kondisi ini terjadi tidak lepas dari
minimnya investasi modal di bidang jasa angkutan laut dan persepsi
terhadap usaha angkutan laut, yang masih menganggap usaha ini sebagai
penunjang perdagangan. Tak seperti yang diterapkan negara-negara maju.
Bentuk-bentuk conference yang
dicoba diterapkan di lingkungan pelayaran masih ditafsirkan sebagian
kalangan ekonom Indonesia sebagai bentuk kartel atau monopoli ekonomi.
Padahal Jepang mengecualikan industri pelayaran dari UU monopoli.
Masalah itu semakin serius karena perbankan tidak mau memahami sifat
bisnis pelayaran. Mereka hanya berpatokan pada aspek legalitas secara
kaku di atas perhitungan bisnis dengan berbagai dampaknya.
Hal itulah yang membuat kenapa di
Indonesia pelaksanaan atas jaminan hipotek kapal masih berbelit-belit
dan tidak efisien. Dasar hukum yang dipakai adalah kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPdt) yang tidak lain adalah produk hukum Burgerlijk Wetboek warisan Belanda.
Permasalahan yang sering timbul dalam
bisnis pelayaran modern, antara lain bank asing sulit menerima jaminan
atas kapal Indonesia sebagai hipotek karena eksekusinya berbelit-belit.
Jaminan yang diberikan melalui prosedurfiat eksekusi dari pengadilan
negeri memakan waktu dan tenaga. Hal itu tidak sesuai dengan prinsip
bisnis pelayaran yang menghendaki semua berjalan cepat.
Berpatokan pada perundang-undangan yang tidak up to date
lagi, sulit diharapkan bertumbuhnya bisnis pelayaran nasional yang kuat
dan kompetitif. Negara maju selalu dengan cepat melakukan penyesuaian
diri mengikuti dinamika bisnis pelayaran karena pentingnya sektor ini
bagi kemajuan ekonomi bangsa.
Fakta ini dapat terlihat setiap saat
manakala terjadi persoalan di industri pelayaran atau maritim.
Kementerian perhubungan selalu kewalahan sebab kewenangan yang
dimilikinya sangat terbatas. Kunci pemecahan masalah berada di jalur
birokrasi kementerian keuangan, Bank Indonesia (BI), kementerian
perdagangan, serta kementerian BUMN. Untuk pengadaan dan peremajaan
kapal misalnya, industri yang masuk kategori padat modal, risiko tinggi
dan slow yielding, sama sekali tidak berkesempatan memperoleh perlakuan yang baik.
Buktinya, perbankan bersedia
mengucurkan kredit dengan persyaratan rasio kecukupan modal 35 persen.
Selain itu, baru memiliki agunan 150 persen dari nilai kredit, dan suku
bunga juga komersial. Secara jelas, kebijakan ini mencerminkan
ketidakpahaman sistemik. Sungguh tidak ada niat pemerintah untuk
memajukan industri pelayaran nasional yang sangat strategis ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar