Minggu, 12 Februari 2012

GAJAH MADA DAN HAYAM WURUK

 
Zaman keemasan Majapahit melekat erat dengan masa pemerintahan Hayam Wuruk, raja ke empat Majapahit. Bersama orang yang memomongnya sejak kecil, Gajah Mada, Hayam Wuruk membangun Majapahit ke puncak kejayaan berdasarkan falsafah kenegaraan Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa.




Hayam Wuruk lahir tahun 1334, beberapa bulan sebelum Gajah Mada dikukuhkan sebagai Mahapatih Amangkubumi. Pada saat Gajah Mada mengucapkan sumpah sakral Amukti Palapa bayi Hayam Wuruk baru saja menikmati udara Majapahit.
Dia tidak tahu dan mengalami langsung peristiwa bersejarah itu, tapi belasan tahun kemudian tangannyalah yang kemudian memimpin dan membawa Majapahit melaksanakan program maha dahsyat itu.
Di tangannyalah kemudian seluruh perairan nusantara bersatu menentang penjajahan bangsa asing, terutama Tiongkok.
Sabdanya telah membentuk negara menjadi pemerintahan yang berwibawa dan disegani rakyatnya. Masyarakat Majapahit menunduk hormat sambil merapatkan kedua telapak tangannya dengan ikhlas kepada sang Raja. Sabda raja adalah hukum yang harus dihormati.
Tiga puluh delapan tahun masa pemerintahannya sejak tahun 1351 s.d. 1389, Hayam Wuruk telah membawa seluruh rakyat Majapahit, Wilwatikta Agung, ke puncak kejayaan dan keemasan. Membawa seluruh rakyatnya mengalami kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan. Setiap perayaan agung di pusat kerajaan dimeriahkan oleh seluruh rakyat tanpa kecuali.
Pada masa pemerintahannya itulah kerajaan-kerajaan lain di nusantara raya ini tidak hanya sekedar sebagai negara bawahan yang tidak mempunyai kemerdekaan, tetapi semua kerajaan itu bersama-sama dengan pemerintah pusat di Jawa Timur mengembangkan potensi daerah masing-masing bagi kepentingan nusantara raya ini.
Persatuan dan kesatuan yang menjadi program dasar Majapahit Agung telah memberikan sumbangan pemikiran yang signifikan bagi pengembangan daerah yang pada akhirnya membawa negara besar ini ke pintu gerbang kemajuan peradaban bangsa yang disegani oleh negara sahabat dan mancanegara.
Tercatat, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk tidak ada pemberontakan di dalam negeri yang cukup berarti seperti pada masa-masa pemerintahan sebelumnya. Hubungan dengan negara tetangga sangat baik, terutama dengan Cina.
Ditandai dengan gempa bumi yang sangat dahsyat di desa Banyupindah akibat letusan gunung Kelud, yang menimbulkan kerugian harta dan nyawa, dan didahului dengan munculnya pemberontakan-pemberontakan dan krisis kepemimpinan di pusat kerajaan Majapahit, lahirlah bayi Hayam Wuruk di tengah-tengah masyarakatnya pada tahun 1334.
Seluruh masyarakat, dari kasta paling rendah sampai para bangsawan dan petinggi Majapahit menyambut kelahiran jabang bayi calon pemimpin besar bangsa ini. Semua bergembira.
Lebih dari sebulan Majapahit menyambut kelahiran putra mahkota itu dengan mengadakan pesta rakyat di alun-alun Bubat.
Para pendeta Hindu dan Budha melakukan upacara keagamaan yang sangat sempurna. Candi-candi dan tempat-tempat ibadah dibersihkan. Para pujangga dan seniman istana mengukir dan memuji si jabang bayi dengan sentuhan estetika mereka.  Setiap desa, padukuhan dan tanah perdikan di seluruh Majapahit, Daha, Kahuripan dan Singasari mengantarkan hasil bumi mereka ke kotaraja bagi keberlangsungan upacara-upacara yang diadakan.
Mereka bersama-sama merayakan hari bahagia menyambut putra mahkota di kotaraja. Alun-alun Bubat dipenuhi tenda-tenda yang disediakan oleh kerajaan bagi para pemimpin daerah yang datang. Seluruh Majapahit bergembira, putra mahkota telah lahir, seorang laki-laki yang tampan, sempurna lahir dan bathiniah.
Hayam Wuruk yang juga bernama Raden Tetep itu bersama-sama Gajah Mada, orang yang memomongnya dengan telaten sejak dia masih kecil, telah memberikan garis kebijakan yang sangat jelas mengenai rantai kepulauan besar nusantara, yang menurut Mohammad Yamin (berdasarkan uraian Nagarakretagama) terbagi dalam daerah yang delapan, yaitu:
  1. Seluruh Jawa, meliputi: Jawa, Madura dan Galiyao (Kangean)
  2. Seluruh Pulau Sumatra (Melayu), meliputi: Lampung, Palembang, Jambi, Karitang (Inderagiri), Muara Tebo, Dharmasraya (Sijunjung), Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tamiang, Perlak, Barat (Aceh), Lawas (Padang Lawas, Gayu Luas), Samudra (Aceh), Lamuri (Aceh tiga segi), Bantam dan  Barus.
  3. Seluruh Pulau Kalimantan (Tanjungnegara), meliputi: Kapuas, Katingan, Sampit, Kuta Lingga (Serawak), Sedu (Sedang di Serawak), Kota Waringin, Sambas, Lawar (Muara Labai), Kedangdanan (Kendangwangan), Landak, Samedang (Simpang), Tirem (Peniraman), Sedu (Serawak), Brunai, Kalka Saludung, Solot (Solok, Sulu), Pasir, Baritu, Sebuku, Tabalong (Amuntai), Tanjung Kutai, Malanau dan  Tanjungpuri.
  4. Seluruh Semenanjung Melayu (Malaka), meliputi: Pahang, Hujungmedini (Johar), Lengkasuka (Kedah), Saimwang (Semang), Kelantan, Trengganu, Nagor (Ligor), Pakamuar (Pekan Muar), Dungun (di Trengganu), Tumasik (Singapura), Sanghyang Hujung, Kelang (Kedah, Negeri Sembilan), Kedah. Jere (Jering, Petani), Kanjab (Singkep) dan Niran (Karimun).
  5. Di sebelah timur Jawa, seluruh Nusa Tenggara, meliputi: Bali, Bedulu, Lwagajah (Lilowan, Negara), Gurun (Nusa Penida), Taliwang (Sumbawa), Dompo (Sumbawa), Sapi (Sumbawa), Sanghyang Api (Gunung Api, Sangeang), Bima, Seram, Hutan (Sumbawa), Kedali (Buru), Gurun (Gorong), Lombok Mira (Lombok Barat), Saksak (Lombok Timur), Sumba dan Timor.
  6. Seluruh Sulawesi, meliputi: Bantayan (Bontain), Luwuk (Luwu), Udamakatraya (Talaud), Makasar, Butun (Buton), Banggawi (Banggai), Kunir (Pulau Kunyit), Salaya (Saleier) dan Solot (Solor).
  7. Seluruh Maluku, meliputi: Muar (Kei), Wandan (Banda), Ambon dan Maluku (Ternate).
  8. Seluruh Irian (Barat), meliputi: Onin (Irian Utara) dan Seram (Irian Selatan).
Hayam Wuruk suka menari (memainkan peran wanita) sebagai Pager Antimun, menjadi dalang dengan gelar Tirtaraju, kalau jadi pelawak dalam wayang mengambil peran Gagak Ketawang, sebagai pemeluk agama Siwa dikenal sebagai Janeswara. Sebagai raja selain mengambil nama abiseka Sri Rajasanagara juga sering disebut Hyang Wekasing Suka. (Prof. Dr. Slamet Muljana, Pemugaran Persada Sejarah LELUHUR MAJAPAHIT, hal. 190).
Masih dalam Nagaraktretagama, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk Majapahit sudah menetapkan batasan wilayah negara tetangga (bukan negara bawahan), seperti: Sin (Syangka), Thai, Dharmanagara, Martaban (Birma), Kalingga (Rajapura), Singanagari, Campa, Kamboja dan  Annam (Yawana).
Kepopuleran Hayam Wuruk bukan saja di dalam negeri, tetapi juga di mancanegara. Seorang bhiku dari pertapaan Sadwihara di daerah Kancipuri (India) yang bernama Sri Budhatiya mengarang buku Bhogawali, berisi pujian kepada Sang Prabhu Hayam Wuruk.
Hayam Wuruk dinobatkan sebagai putra mahkota (yuwaraja) sejak masih kanak-kanak di Kahuripan dengan gelar abhiseka Sri Rajasanagara yang terus dipakainya sampai menjadi raja di Majapahit (dinobatkan pada usia 16 tahun, pada pertengahan tahun 1351).
Menurut Pararaton, sehabis perang Bubat (kegagalan Hayam Wuruk memperistri putri Sunda: Dyah Pitaloka) Hayam Wuruk memperistri Paduka Sori, putri Bhatara Hyang Paramesywara dengan Dyah Wiyat Sri Rajadewi Maharajasa. Bhatara Hyang Paramesywara adalah Bhre Wengker  (raja di Wengker). Dyah Wiyat adalah bibinya, adik ibunya yang menjadi ratu di Daha (Bhre Daha). Jadi Paduka Sori masih adik sepupunya.
Dari perkawinan itu lahir Bhre Lasem Sang Ahayu. Menurut Nagarakretagama pupuh VII/4 Bhre Lasem Sang Ahayu bernama Kusumawardhani yang akhirnya kawin dengan Bhre Mataram Wikramawardhana, putra sulung Bhre Pajang. Sepeninggal Sri Rajasanagara, Wikramawardhanalah yang menjadi raja di Majapahit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar