Sebuah manuscript sastrawan masyhur
Pramoedya Ananta Toer telah hilang tak tentu rimbanya berjudul "Mata
Pusaran" dan belum pernah diterbitkan pihak manapun mengisahkan
masa-masa Majapahit menjelang keruntuhannya, sepertinya kisah itu
mirip dan aktual untuk hari ini di tengah berlangsung di pentas
panggung peta politik Indonesia.
1440 Masehi
"Rakyat mulai berkumpul di gedung
pengadilan dekat pelabuhan Gresik, pelabuhan utama Majapahit, membentuk
persidangan mengadili siapa saja yang dianggap bersalah diseret ke
gedung itu. Hakim-hakim rakyat mulai mengadili dan memberikan hukuman
mati kepada para punggawa korup Majapahit. Petinggi militer Majapahit
yang kesohor korupnya terutama dari angkatan laut yang compang-camping
akibat Paregreg mulai diseret satu demi satu, tidak pandang bulu,
pahlawan maupun pecundang kena bagian juga diseret ke pengadilan
rakyat.
Majapahit yang kala itu diperintah
oleh wanita-wanita perkasa Maharatu Suhita sedang sibuk merenung di
istana memimpikan keutuhan Negara Kesatuan Kerajaan Majapahit (NKKM)
yang mulai hancur dan terpecah itu.
Kekuasaan tertinggi terutama di bidang militer telah diberikan kepada Ni Ken Supraba.
Cadangan negara Majapahit menjadi
kurus akibat perang dalam negeri meladeni Blambangan. Dan terjadinya
desersi di kalangan AL Majapahit. Masing-masing komandan akhirnya pada
pulang kampung membawa perlengkapan militernya masing-masing guna
menjaga wilayah sendiri. Di masa itu salah satu galangan kapal
Majapahit cukup besar di wilayah pantai Selatan Bali.
Suami Maharatu Suhita, Aji Ratna Pangkaya kembali ke tanah leluhurnya: Semenanjung Malaka. Dengan bantuan pasukan Tiongkok yang merajalela dengan politik superhalusnya menggerogoti kekuatan kerajaan Majapahit yakni membantu lawan-lawan politik Suhita terutama kerajaan bawahan Majapahit.
Tiongkok mengerahkan perwira berbakat Sam Po Kong, atau Ma San Pao untuk menghancurkan Majapahit dengan cara halus, dan bertindak atas nama pribadi Dampo Awang alias San Po Toalang. Dengah kelihaian orang Tiongkok yang satu ini maka lepaslah kekuasaan Majapahit di Palembang, Kalimantan Barat, dan Singapura, juga negeri Campa.
Manusia Majapahit kala itu menurut manuscript Pramoedya tersebut masih memiliki kesempurnaan diri dan tidak dapat dianalogikan dengan orang modern sekarang yang telah melata di bawah dominasi bangsa kulit putih selama berabad. Walau pun kemerdekaan pada 1945 yang konon para pemimpinnya berusaha membangun kembali nation dan character building. Membangun kembali manusia terbebas dari sebutan bangsa kuli di antara bangsa-bangsa.
Suami Maharatu Suhita, Aji Ratna Pangkaya kembali ke tanah leluhurnya: Semenanjung Malaka. Dengan bantuan pasukan Tiongkok yang merajalela dengan politik superhalusnya menggerogoti kekuatan kerajaan Majapahit yakni membantu lawan-lawan politik Suhita terutama kerajaan bawahan Majapahit.
Tiongkok mengerahkan perwira berbakat Sam Po Kong, atau Ma San Pao untuk menghancurkan Majapahit dengan cara halus, dan bertindak atas nama pribadi Dampo Awang alias San Po Toalang. Dengah kelihaian orang Tiongkok yang satu ini maka lepaslah kekuasaan Majapahit di Palembang, Kalimantan Barat, dan Singapura, juga negeri Campa.
Manusia Majapahit kala itu menurut manuscript Pramoedya tersebut masih memiliki kesempurnaan diri dan tidak dapat dianalogikan dengan orang modern sekarang yang telah melata di bawah dominasi bangsa kulit putih selama berabad. Walau pun kemerdekaan pada 1945 yang konon para pemimpinnya berusaha membangun kembali nation dan character building. Membangun kembali manusia terbebas dari sebutan bangsa kuli di antara bangsa-bangsa.
Ni Ken Supraba seorang wanita dari
kalangan bawah naik ke puncak kekuasaan mengepalai seluruh kekuatan
militer laut majapahit guna menertibkan angkatan laut yang mulai
bertindak sendiri dan sulit dikendalikan oleh pusat kekuasaan di
istana. Konon rahasia kekuatan laut Majapahit sejak jaman Gajahmada
yaitu terletaknya pimpinan yang dipegang oleh Mpu Nala sebagai panglima
tertinggi.
Mpu Nala dalam membangun kekuatan
laut yang tersohor kala itu, beliau menemukan sejenis pohon raksasa
yang dirahasiakan lokasinya, untuk membangun kapal-kapal Majapahit yang
berukuran besar di masa itu.
Persenjataan kapal-kapal Majapahit
berupa meriam Jawa. Konon ciptaan Gajahmada kecil pernah diasuh oleh
tentara Mongol yang dikirim Kublai Khan menyerbu Jawa guna membalas
penghinaan yang dilakukan oleh Prabu Krtanegara mencoreng-coreng wajah
utusan Tiongkok yang menuntut agar Singosari tunduk di bawah kekuasaan
Tiongkok. Gajahmada diajarkan oleh pengasuhnya orang Mongol itu
mengenai prinsip senjata api sederhana. Selanjutnya Gajahmada
mengembangkan senjata api itu untuk mempersenjatai kapal-kapal perang
Majapahit ciptaan Mpu Nala I yang istimewa itu, hingga mampu merajai
wilayah di perairan Selatan (Nan Yang).
Keturunan Mpu Nala terus melanjutkan
kepemimpinan militer Majapahit. Mpu Nala II tidak segemilang
pendahulunya apalagi militer laut sudah demikian parah dalam melakukan
tindak korupsi di wilayah kekuasaan masing-masing, sehingga rakyat
tidak lagi menghormati kekuasaan pemerintahan pusat. Dan menurunkan
wibawa Majapahit di kalangan kerajaan taklukannya. Di masa kehancuran
itu Mpu Nala II tidak segemilang pendahulunya. Sehingga seperti yang
terjadi kemudian, kekuatan laut yang tersohor di Nan Yang itu saling
bertempur satu kapal dengan kapal yang lain.
Itulah naskah Pramoedya yang belum
pernah diterbitkan oleh siapapun, di sini patut dicatat poin penting
dari naskah tersebut bahwa andai NKRI runtuh dan itu diakibatkan oleh
maraknya korupsi besar-besaran di kalangan militer terutama angkatan
laut di daerah terpencil, atau membekingi usaha-usaha gelap berupa apa
pun yang merugikan negara, apalagi sampai mengeruk upeti dari rakyat
kecil di daerah terpencil. Maka rakyat akan menyeret mereka itu ke
depan mahkamah bentukan rakyat biasa.
Mudah-mudahan tidak demikian yang
bakal terjadi dalam hal ini militer dan terutama kepolisian di masa
modern ini malah membela yang lemah, dan mau memberantas korupsi dalam
tubuh internal mereka sendiri sehingga tetap jayalah NKRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar