Minggu, 12 Februari 2012

INDUSTRI PERIKANAN Kekurangan Bahan Baku..?

MESKI memiliki sumber daya alam kelautan yang melimpah, industri perikanan Indonesia masih terkendala pasokan bahan baku. Akibatnya, banyak perusahaan perikanan yang terancam gulung tikar. Sementara pelaku industri perikanan nasional mendesak pemerintah untuk membenahi produksi perikanan nasional. Tanpa hal itu, upaya pengendalian impor ikan yang sedang didorong pemerintah saat ini dapat menjadi bumerang bagi industri pengolahan ikan yang masih bergantung pada impor ikan.
Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Riza Damanik, mengatakan orientasi ekspor pada kebijakan perikanan nasional telah menggerus bahan baku, pada akhirnya memaksa perusahaan dan konsumen domestik untuk bergantung pada produk perikanan impor. Hal ini, dibuktikan dengan tingginya permintaan izin impor ikan yang mencapai 3 juta ton atau 60 persen dari produksi perikanan tangkap nasional, “Volume yang sangat besar, sehingga dapat dipastikan menghancurkan perekonomian nasional, khususnya nelayan tradisional,” ujar Riza.
Menurut Riza,  pengawasan impor ikan tersebut tidak akan efektif tanpa disertai kebijakan menekan ekspor ikan. “Ekspor terus-menerus tanpa melaksanakan amanah UU Perikanan justru berakibat fatal. Keputusan pemerintah meningkatkan pengawasan impor ikan baru-baru ini, hanya akan memberikan manfaat jika diikuti dengan kebijakan pengendalian ekspor ikan gelondongan,” terangnya.
Riza menambahkan, untuk urusan impor ikan tidak bisa diselesaikan di Kementerian Kelautan dan Perikanan saja. Namun, ada suatu kebijakan kolektif dari pemerintah. “Soal impor ikan tidak bisa menjadi urusan KKP saja, tapi harus ada kebijakan kolektif dari pemerintah. Yakni Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Lingkungan Hidup,” tutur Riza.
Riza menjelaskan, seperti Kementerian Perdagangan mengeluarkan aturan praktek-praktek impor ilegal. Begitu juga KKP mengeluarkan kebijakan yang pro pada nelayan tradisional.
Riza juga mendesak Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk melakukan optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan, serta pembatalan ekspor ikan gelondongan dalam 10 tahun ke depan.
”Inisiatif pertama yang dapat disegerakan adalah menetapkan dan mengamankan kuota kebutuhan ikan nasional, termasuk dengan mempertimbangkan peningkatan konsumsi ikan untuk 5 tahun ke depan. Sehingga, kebutuhan domestik akan tetap terjaga pemenuhannya,” ujarnya.
Perdagangan hasil perikanan di seluruh negara termasuk Indonesia seharusnya lebih mengedepankan pemenuhan kebutuhan domestik. “Perdagangan hasil perikanan jangan menyampingkan kebutuhan domestik suatu negara,” sambung Riza.
Selama ini perdagangan perikanan lebih mengedepankan pemenuhan standar ikan yang akan diekspor dibandingkan memenuhi kebutuhan domestik negaranya.
Ia mencontohkan, bila terjadi defisit produksi ikan di suatu negara, maka para pelaku usaha produksi ikan tidak diperkenankan untuk menjual ke luar negeri sebelum kebutuhan ikan bagi seluruh masyarakat yang terdapat di negara tersebut dapat terpenuhi.
Riza juga mengkritik Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No.17 Tahun 2010 tentang Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan yang masuk ke dalam Wilayah NKRI sebagai  jembatan pengetahuan  terkait derasnya impor ikan asal Cina, Malaysia, Vietnam, dan Thailand memasuki pasar domestik.
Dapat dipastikan, dengan masuknya ikan murah jenis konsumsi ala impor ilegal akan memperbesar hambatan pencapaian kesejahteraan jutaan nelayan Indonesia. Buruknya kualitas ikan impor juga akan mempengaruhi jaminan kesehatan bagi puluhan atau bahkan ratusan juta masyarakat pengkonsumsi ikan.
Lebih jauh, kata Riza, terkait integritas dan kapasitas pemerintah dalam hal ini KKP dalam melakukan pengaturan, pengawasan dan penegakan hukum, hingga optimalisasi pendapatan negara di sektor perdagangan perikanan, patut dipertanyakan. Apalagi pada kenyataan belakangan ini, secara sadar atau tidak, KKP telah mengerdilkan peran dan fungsinya, sekaligus miskin prestasi.
Upaya para importir ikan dan udang yang umumnya adalah Unit Pengolahan Ikan (UPI) atau industri pengolahan ikan untuk mendatangkan bahan baku jauh-jauh dari luar negeri bukannya tanpa alasan kuat. Semakin seretnya suplai bahan baku ikan dan udang dari dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pabrik pengolahan ikan jadi latar belakang utama dilakukannya impor.
Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), pada tahun 2011 setidaknya ada dua perusahaan yang terpaksa gulung tikar. Pabrik pengolahan ikan yang tutup berlokasi di Makassar dan Jawa Timur. sebelumnya pada 2010 ada 3 pabrik pengolahan ikan yang juga kolaps yaitu di Medan, Lampung, dan Jawa Timur.
Sekjen APSI Johan Suryadarma, menyatakan  pabrik pengolahan ikan yang masih beroperasi saat ini juga sudah megap-megap  karena kekurangan bahan baku. Rata-rata produksi produksi pabrik olahan ikan maupun udang hanya dibawah 40 persen. “Jika seharusnya pabrik dapat menghasilkan produksi  10 ton perhari, sekarang hanya 4 ton saja.Sementara biaya produksi terhitung sama besarnya,” kata Johan.

Industri Perikanan Akan Dorong Kesejahteraan Nelayan
PARA anak buah kapal beriringan menurunkan drum berisi ikan di pelelangan Muara Angke. Kapal yang baru saja berlabuh langsung membongkar hasil tangkapan, sementara para pedagang sudah menunggu di tempat pelelangan. Sebagian menanti di tepi dermaga, menaksir sekaligus menawar harga ikan yang baru saja tiba.
Tidak butuh waktu lama hingga ikan-ikan itu berpindah ke atas kendaraan pengangkut yang kemudian dibawa ke sejumlah kota untuk dipasarkan. ”Tidak sempat menunggu atau disimpan di ruang pendinginan. Kalaupun ada, itu titipan dari luar kota, seperti Tegal,” kata Wanto, pekerja di tempat pelelangan. Menurun saat ini, tutur Wanto, hasil tangkapan nelayan menurun. Dalam dua tahun terakhir, tempat pelelangan ikan dipenuhi ikan, tetapi kini saat lelang mulai digelar hanya separuh lantai lelang terisi. Wanto akhirnya memutuskan mencari pekerjaan baru.
Menurut dia, melaut tidak lagi memberikan hasil memadai. Ia dan rekan-rekannya bukan tidak berupaya meningkatkan penghasilan. ”Awalnya melaut rata-rata dua hari satu malam. Sekarang ada banyak nelayan melaut selama lima hari lima malam, tetapi hasilnya tetap tidak menentu,” kata Wanto.
Imbasnya modal nelayan terus tergerus. Ia menuturkan, setiap kali melaut, nelayan jaring payang minimal mengeluarkan modal Rp 1 juta untuk membeli solar dan perbekalan. Karena kondisi laut yang tidak menentu, hasil yang diperoleh nelayan hanya pas-pasan. Bahkan, kerap terjadi, nelayan pulang tanpa membawa hasil. Uang yang diperoleh kerap hanya mampu menutup modal melaut.
Dampaknya, berbagai fasilitas dan infrastruktur kurang optimal dioperasikan. Nelayan membutuhkan bantuan modal untuk dapat melaut lebih jauh dan kemudahan memperoleh bahan bakar. ”Di laut lepas ikan masih cukup banyak,” ujarnya.
Para nelayan akan tetap melaut meski hasil tidak memadai, tetapi ia berharap ada perhatian dari pemerintah agar usaha mereka terus berlanjut dan memberikan hasil memadai. Tidak berbeda dari itu, peran pemerintah pun diharapkan untuk membenahi potensi industri perikanan yang ada di Indonesia.
Sebagaimana diharapkan nelayan, para pelaku usaha industri pengolahan ikan tangkap menilai perlu pembenahan untuk meningkatkan produksi. Ketua Harian Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (Apiki) Ady Surya mengemukakan, ada tiga hal yang dibutuhkan pelaku usaha, yaitu fasilitas infrastruktur yang memadai, dukungan perbankan, dan regulasi yang kondusif.
Regulasi yang tidak jelas, misalnya, terkait data potensi perikanan wilayah yang sering tidak akurat. ”Pemerintah pernah mencantumkan jumlah industri pengalengan ikan di Nanggroe Aceh Darussalam sudah mencapai 10 lokasi. Padahal, kami tahu persis di sana belum ada industri pengalengan,” kata Ady.
Ady menyebutkan, industri pengalengan ikan masih menjadi primadona dalam industri perikanan. Di seluruh dunia, kontribusi industri pengalengan mencapai 96 persen. Dari jumlah tersebut, porsi industri pengalengan Indonesia hanya sekitar 1 persen. Padahal, nilai tambah dari industri pengalengan jauh lebih besar dibandingkan dengan ekspor ikan gelondongan.
Berdasarkan data dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2009, produksi ikan tuna dalam kurun waktu 1989-2006 pertumbuhannya mencapai 4,74 persen per tahun. Secara keseluruhan total produksi tuna nasional termasuk volume impor pada tahun 2006 mencapai 575.087,85 ton.
Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2009 menunjukkan, volume ekspor ikan tuna nasional dalam kurun waktu 1989-2007 tumbuh 5,21 persen per tahun. Total volume ekspor ikan tuna tahun 2006 sebesar 35.459,96 ton. Artinya, kalau dilihat dari total produksi nasional, total produksi ikan tuna yang diekspor hanya 6,17 persennya. Dengan kata lain, data tersebut menunjukkan, sekitar 93,83 persen produksi ikan tuna nasional belum terserap pasar ekspor. Jika kedua data produksi dan ekspor itu dibandingkan, akan terlihat total produksi ikan tuna nasional yang tidak diserap pasar ekspor dalam kurun waktu 1989-2007 rata-rata mencapai 91,43 persen per tahun.
Berdasarkan catatan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), satu unit industri pengalengan tuna umumnya memerlukan bahan baku per hari minimal sekitar 80 ton atau sekitar 28.000 ton per tahun. Artinya produksi tuna nasional seperti yang tergambar dalam laporan PBB dan FAO tersebut rata-rata per tahun dapat memasok bahan baku ikan tuna untuk 17 unit industri pengalengan ikan tuna nasional. Bahkan, produksi ikan tuna nasional tahun 2004, yaitu 629.055,87 ton, sebenarnya dapat menghidupi 23 unit industri pengalengan ikan tuna.
Dengan mencermati dua kondisi di atas, seharusnya dapat digagas kerja sama antar wilayah untuk mengoptimalkan potensi yang ada, sekaligus terus menghidupkan kinerja industri peikanan setempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar