MESKI
memiliki sumber daya alam kelautan yang melimpah, industri perikanan
Indonesia masih terkendala pasokan bahan baku. Akibatnya, banyak
perusahaan perikanan yang terancam gulung tikar. Sementara pelaku
industri perikanan nasional mendesak pemerintah untuk membenahi produksi
perikanan nasional. Tanpa hal itu, upaya pengendalian impor ikan yang
sedang didorong pemerintah saat ini dapat menjadi bumerang bagi industri
pengolahan ikan yang masih bergantung pada impor ikan.
Sekjen
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Riza Damanik,
mengatakan orientasi ekspor pada kebijakan perikanan nasional telah
menggerus bahan baku, pada akhirnya memaksa perusahaan dan konsumen
domestik untuk bergantung pada produk perikanan impor. Hal ini,
dibuktikan dengan tingginya permintaan izin impor ikan yang mencapai 3
juta ton atau 60 persen dari produksi perikanan tangkap nasional,
“Volume yang sangat besar, sehingga dapat dipastikan menghancurkan
perekonomian nasional, khususnya nelayan tradisional,” ujar Riza.
Menurut
Riza, pengawasan impor ikan tersebut tidak akan efektif tanpa disertai
kebijakan menekan ekspor ikan. “Ekspor terus-menerus tanpa melaksanakan
amanah UU Perikanan justru berakibat fatal. Keputusan pemerintah
meningkatkan pengawasan impor ikan baru-baru ini, hanya akan memberikan
manfaat jika diikuti dengan kebijakan pengendalian ekspor ikan
gelondongan,” terangnya.
Riza
menambahkan, untuk urusan impor ikan tidak bisa diselesaikan di
Kementerian Kelautan dan Perikanan saja. Namun, ada suatu kebijakan
kolektif dari pemerintah. “Soal impor ikan tidak bisa menjadi urusan KKP
saja, tapi harus ada kebijakan kolektif dari pemerintah. Yakni
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian dan Kementerian
Lingkungan Hidup,” tutur Riza.
Riza
menjelaskan, seperti Kementerian Perdagangan mengeluarkan aturan
praktek-praktek impor ilegal. Begitu juga KKP mengeluarkan kebijakan
yang pro pada nelayan tradisional.
Riza juga mendesak Kementerian
Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk melakukan
optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan, serta pembatalan ekspor ikan
gelondongan dalam 10 tahun ke depan.
”Inisiatif pertama yang dapat
disegerakan adalah menetapkan dan mengamankan kuota kebutuhan ikan
nasional, termasuk dengan mempertimbangkan peningkatan konsumsi ikan
untuk 5 tahun ke depan. Sehingga, kebutuhan domestik akan tetap terjaga
pemenuhannya,” ujarnya.
Perdagangan hasil perikanan di seluruh
negara termasuk Indonesia seharusnya lebih mengedepankan pemenuhan
kebutuhan domestik. “Perdagangan hasil perikanan jangan menyampingkan
kebutuhan domestik suatu negara,” sambung Riza.
Selama ini perdagangan perikanan lebih
mengedepankan pemenuhan standar ikan yang akan diekspor dibandingkan
memenuhi kebutuhan domestik negaranya.
Ia mencontohkan, bila terjadi defisit
produksi ikan di suatu negara, maka para pelaku usaha produksi ikan
tidak diperkenankan untuk menjual ke luar negeri sebelum kebutuhan ikan
bagi seluruh masyarakat yang terdapat di negara tersebut dapat
terpenuhi.
Riza juga mengkritik Peraturan Menteri
(Permen) Kelautan dan Perikanan No.17 Tahun 2010 tentang Pengendalian
Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan yang masuk ke dalam Wilayah NKRI
sebagai jembatan pengetahuan terkait derasnya impor ikan asal Cina,
Malaysia, Vietnam, dan Thailand memasuki pasar domestik.
Dapat dipastikan, dengan masuknya ikan
murah jenis konsumsi ala impor ilegal akan memperbesar hambatan
pencapaian kesejahteraan jutaan nelayan Indonesia. Buruknya kualitas
ikan impor juga akan mempengaruhi jaminan kesehatan bagi puluhan atau
bahkan ratusan juta masyarakat pengkonsumsi ikan.
Lebih jauh, kata Riza, terkait
integritas dan kapasitas pemerintah dalam hal ini KKP dalam melakukan
pengaturan, pengawasan dan penegakan hukum, hingga optimalisasi
pendapatan negara di sektor perdagangan perikanan, patut dipertanyakan.
Apalagi pada kenyataan belakangan ini, secara sadar atau tidak, KKP
telah mengerdilkan peran dan fungsinya, sekaligus miskin prestasi.
Upaya para importir ikan dan udang yang
umumnya adalah Unit Pengolahan Ikan (UPI) atau industri pengolahan ikan
untuk mendatangkan bahan baku jauh-jauh dari luar negeri bukannya tanpa
alasan kuat. Semakin seretnya suplai bahan baku ikan dan udang dari
dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pabrik pengolahan ikan jadi latar
belakang utama dilakukannya impor.
Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha
Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), pada tahun
2011 setidaknya ada dua perusahaan yang terpaksa gulung tikar. Pabrik
pengolahan ikan yang tutup berlokasi di Makassar dan Jawa Timur.
sebelumnya pada 2010 ada 3 pabrik pengolahan ikan yang juga kolaps yaitu
di Medan, Lampung, dan Jawa Timur.
Sekjen APSI Johan Suryadarma,
menyatakan pabrik pengolahan ikan yang masih beroperasi saat ini juga
sudah megap-megap karena kekurangan bahan baku. Rata-rata produksi
produksi pabrik olahan ikan maupun udang hanya dibawah 40 persen. “Jika
seharusnya pabrik dapat menghasilkan produksi 10 ton perhari, sekarang
hanya 4 ton saja.Sementara biaya produksi terhitung sama besarnya,” kata
Johan.
Industri Perikanan Akan Dorong Kesejahteraan Nelayan
PARA
anak buah kapal beriringan menurunkan drum berisi ikan di pelelangan
Muara Angke. Kapal yang baru saja berlabuh langsung membongkar hasil
tangkapan, sementara para pedagang sudah menunggu di tempat pelelangan.
Sebagian menanti di tepi dermaga, menaksir sekaligus menawar harga ikan
yang baru saja tiba.
Tidak butuh waktu lama hingga ikan-ikan
itu berpindah ke atas kendaraan pengangkut yang kemudian dibawa ke
sejumlah kota untuk dipasarkan. ”Tidak sempat menunggu atau disimpan di
ruang pendinginan. Kalaupun ada, itu titipan dari luar kota, seperti
Tegal,” kata Wanto, pekerja di tempat pelelangan. Menurun saat
ini, tutur Wanto, hasil tangkapan nelayan menurun. Dalam dua tahun
terakhir, tempat pelelangan ikan dipenuhi ikan, tetapi kini saat lelang
mulai digelar hanya separuh lantai lelang terisi. Wanto akhirnya
memutuskan mencari pekerjaan baru.
Menurut dia, melaut tidak lagi
memberikan hasil memadai. Ia dan rekan-rekannya bukan tidak berupaya
meningkatkan penghasilan. ”Awalnya melaut rata-rata dua hari satu malam.
Sekarang ada banyak nelayan melaut selama lima hari lima malam, tetapi
hasilnya tetap tidak menentu,” kata Wanto.
Imbasnya modal nelayan terus tergerus.
Ia menuturkan, setiap kali melaut, nelayan jaring payang minimal
mengeluarkan modal Rp 1 juta untuk membeli solar dan perbekalan. Karena
kondisi laut yang tidak menentu, hasil yang diperoleh nelayan hanya
pas-pasan. Bahkan, kerap terjadi, nelayan pulang tanpa membawa hasil.
Uang yang diperoleh kerap hanya mampu menutup modal melaut.
Dampaknya, berbagai fasilitas dan
infrastruktur kurang optimal dioperasikan. Nelayan membutuhkan bantuan
modal untuk dapat melaut lebih jauh dan kemudahan memperoleh bahan
bakar. ”Di laut lepas ikan masih cukup banyak,” ujarnya.
Para nelayan akan tetap melaut meski
hasil tidak memadai, tetapi ia berharap ada perhatian dari pemerintah
agar usaha mereka terus berlanjut dan memberikan hasil memadai. Tidak
berbeda dari itu, peran pemerintah pun diharapkan untuk membenahi
potensi industri perikanan yang ada di Indonesia.
Sebagaimana diharapkan nelayan, para
pelaku usaha industri pengolahan ikan tangkap menilai perlu pembenahan
untuk meningkatkan produksi. Ketua Harian Asosiasi Pengalengan Ikan
Indonesia (Apiki) Ady Surya mengemukakan, ada tiga hal yang dibutuhkan
pelaku usaha, yaitu fasilitas infrastruktur yang memadai, dukungan
perbankan, dan regulasi yang kondusif.
Regulasi yang tidak jelas, misalnya,
terkait data potensi perikanan wilayah yang sering tidak akurat.
”Pemerintah pernah mencantumkan jumlah industri pengalengan ikan di
Nanggroe Aceh Darussalam sudah mencapai 10 lokasi. Padahal, kami tahu
persis di sana belum ada industri pengalengan,” kata Ady.
Ady menyebutkan, industri pengalengan
ikan masih menjadi primadona dalam industri perikanan. Di seluruh dunia,
kontribusi industri pengalengan mencapai 96 persen. Dari jumlah
tersebut, porsi industri pengalengan Indonesia hanya sekitar 1 persen.
Padahal, nilai tambah dari industri pengalengan jauh lebih besar
dibandingkan dengan ekspor ikan gelondongan.
Berdasarkan data dari Organisasi Pangan
dan Pertanian (FAO) tahun 2009, produksi ikan tuna dalam kurun waktu
1989-2006 pertumbuhannya mencapai 4,74 persen per tahun. Secara
keseluruhan total produksi tuna nasional termasuk volume impor pada
tahun 2006 mencapai 575.087,85 ton.
Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
tahun 2009 menunjukkan, volume ekspor ikan tuna nasional dalam kurun
waktu 1989-2007 tumbuh 5,21 persen per tahun. Total volume ekspor ikan
tuna tahun 2006 sebesar 35.459,96 ton. Artinya, kalau dilihat dari total
produksi nasional, total produksi ikan tuna yang diekspor hanya 6,17
persennya. Dengan kata lain, data tersebut menunjukkan, sekitar 93,83
persen produksi ikan tuna nasional belum terserap pasar ekspor. Jika
kedua data produksi dan ekspor itu dibandingkan, akan terlihat total
produksi ikan tuna nasional yang tidak diserap pasar ekspor dalam kurun
waktu 1989-2007 rata-rata mencapai 91,43 persen per tahun.
Berdasarkan catatan Himpunan Nelayan
Seluruh Indonesia (HNSI), satu unit industri pengalengan tuna umumnya
memerlukan bahan baku per hari minimal sekitar 80 ton atau sekitar
28.000 ton per tahun. Artinya produksi tuna nasional seperti yang
tergambar dalam laporan PBB dan FAO tersebut rata-rata per tahun dapat
memasok bahan baku ikan tuna untuk 17 unit industri pengalengan ikan
tuna nasional. Bahkan, produksi ikan tuna nasional tahun 2004, yaitu
629.055,87 ton, sebenarnya dapat menghidupi 23 unit industri pengalengan
ikan tuna.
Dengan mencermati dua kondisi di atas,
seharusnya dapat digagas kerja sama antar wilayah untuk mengoptimalkan
potensi yang ada, sekaligus terus menghidupkan kinerja industri peikanan
setempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar