Minggu, 12 Februari 2012

GEMPA FUKUSHIMA : Perlukah Indonesia Bangun PLTN.?

Jepang adalah satu negara yang sangat maju teknologinya  dan sudah dakui maupun dikagumi dunia.  Walaupun menjadi bangsa gempa paling siap di dunia, gempa bumi yang  terjadi di Jepang pada hari Jumat tanggal 11 Maret 2011 pukul  14.46 waktu setempat (12.46 WIB) dengan kekuatan 9.0 dalam skala Richer yang melanda pantai timur laut Jepang, 400 km (250 mil) dari  Tokyo, telah memicu tsunami dengan ketinggian gelombang mencapai 10 meter  dan meluluh lantakan   bangunan gedung, kendaraan, perahu/kapal, jalan raya, rel kerata api  yang ada didaratan dan pantai. Korban tewas masih belum terdeteksi secara akurat, tetapi paling tidak sudah mencapai 16.000 orang yang dinyatakan meninggal. Meskipun kejadian gempa dan tsunami tersebut sudah dapat diramalkan sejak dini dan diantisipasi dengan persiapan secara cermat tetapi akibat yang   ditimbulkan oleh bencana alam tersebut telah  menggagalkan  upaya kesiapan manusia. Kehancuran ini mengingatkan kita kepada peristiwa gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 dengan tinggi gelombang mencapai 30 meter serta membawa korban lebih dari 200.000 jiwa manusia.

Bocornya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)

Bangunan PLTN yang berada disekitar tempat kejadian (Fukushima, Dai-chi)  telah mengalami kerusakan akibat gempa dan telah terjadi kebocoran di 4 reaktor nuklirnya, sehingga lebih dari 380.000 orang diungsikan  ke tempat zona aman, ke radius 30 kilometer dar pusat PLTN. Dinyatakan 22 orang telah terpapar radiasi dan lebih dari 190  warga dikwatirkan terindikasi terpapar radiasi, dimana  diperkirakan radiasi nuklir meningkat 20% atau hampir 400 kali diatas normal dan berita terakhir menyatakan bahwa radiasi sudah mengalami penurunan.
Jepang telah mengalami  gempa 165 kali sejak tahun 1800, sehingga bangsa ini sudah terbiasa  menghadapi bencana alam tersebut, tetapi gempa yang terjadi pada tanggal 11 Maret 2011 adalah gempa yang terhebat dalam sejarah kegempaan di Jepang dan  dunia.  Sebelumnya, pada tanggal 1 September 1923 negara Jepang juga telah mengalami salah satu gempa bumi hebat  di abad ke-20 yang dikenal sebagai gempa bumi Great Kanto, gempa ini menghantam dataran Kanto, menghancurkan Tokyo dan beberapa bagian Yokohama. Hampir 140.000 orang tewas dalam gempa bumi dengan  7,9 di skala Richter tersebut. Dan gempa yang terjadi pada  tanggal 11 Maret 2011 adalah yang terburuk dalam sejarah Jepang, tetapi diharapkan tidak akan menyebabkan banyaknya korban jiwa seperti yang terjadi di tahun 1923 tersebut, mengingat kesiapan antisipasi dan kemajuan teknologi tinggi yang dimiliki  negara Sakura tersebut. Secara fisik  kerusakan akibat bencana alam ini diperkirakan telah mengakibatkan kerugian sampai 1500 triliun rupiah.


Pembelajaran Bagi Kawasan Negara Rawan Gempa

Dengan terjadinya gempa yang disertai tsunami tersebut, pemerintah di beberapa negara lain yang rawan gempa seperti Indonesia, seharusnya dapat belajar dari pengalaman Jepang dalam mempersiapkan diri  guna menghadapi  bencana alam gempa melalui standar keamanan yang sangat tinggi. Hampir semua penduduk telah dilatih sejak umur dini dalam hal mengatasi keadaan darurat, khususnya menghadsapi gempa dan gelombang tsunami.  Bahkan infrastruktur publik dikembangkan sedemikian rupa sehingga walaupun terjadi bencana alam seperti gempa bumi dengan skala Richer antara 7 – 8, diharapkan akan mengakibatkan  akibat dengan kerugian minimum. Apa yang diperhitungkan  manusia secara teliti dan cermat, seperti  pembangunan sejumlah  reaktor nuklir yang telah dipersiapakn dan dikelola dengan baik, dengan terjadinya gempa ternyata masih dijumpai adanya  kebocoran dan ledakan yang mengakibatkan radiasi dari PLTN Fukushima, walaupun radiasi yang terdeteksi masih pada tingkat atau level 5 dalam skala 0 – 7. Tingkat radiasi  ini berbeda dengan kebocoran yang terjadi di PLTN Chernobyl, Rusia tahun 1986 dimana tingkat radiasinya sudah mencapai  skala 7 yang mengakibatkan jatuhnya korban manusia sebanyak 4000 orang dan menghancurkan seluruh daerah baik fauna maupun floranya , sehingga akhirnya daerah tersebut tidak diperbolehkan untuk ditinggali penduduk, karena sudah terpapar oleh radiasi nuklir.
Kemampuan arsitek dan insinyur Jepang juga sangat mumpuni dalam membangun bangunan yang tahan gempa karena mereka sadar bahwa letak  dan posisi negara tersebut berada di rentetan lempengan tektonik yang sangat rawan terhadap gempa dan gunung berapi.. Dalam sejarah kegempaan di negara lain, sudah terbukti akibat terjadinya gempa yang hanya berskala Richer 7 – 7.5 sudah dapat menghancurkan bangunan dan infrastruktur menjadi puing-puing, tetapi  Jepang telah membuktikan mampu untuk meminimalisasikan  akibat gempa bumi besar sekalipun seperti yang terjadi pada tanggal 11 Maret 2011 lalu. Sudah  menjadi kenyataan bahwa kerugian akibat gempa ini (seperti yang digambarkan dan ditayangkan  dalam liputan media cetak dan televisi) sangat besar, secara fisik  kerusakan akibat bencana alam ini diperkirakan telah mengakibatkan kerugian mencapai 1500 triliun rupiah),  tetapi dibalik dari keadaan ini banyak hal yang dapat dipelajari tentang kesiapsiagaan darurat bangsa Jepang yang sangat efektif  dalam mengantisipasi dan  mengatur keadaan darurat  khususnya dalam menghadapi bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami, dimana masyarakatnya tidak terlalu panik menghadapinya.  Bangsa Jepang pasti akan bangkit kembali seusai bencana alam tersebut, seperti yang telah dibuktikan setelah mengalami  keterpurukan dalam Perang Dunia II dapat segera membangun negaranya, sehingga menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.


Laut Solusi Krisis Energi Indonesia
Melihat pengalaman negara Jepang dalam menangani gempa dan gelombang tsunami dengan  telah menerapkan teknologi yang demikian maju tetapi masih tetap tidak mempu mengalahkan alam. Kejadian gempa tanggal 11 Maret 2011 di perairan timur-laut Jepang (pantai Miyagi dan kota Sendai) tersebut, sesungguhnya telah   diprediksi oleh para ahli geologi Jepang, bahwa gempa yang akan terjadi di  kisaran 7 – 8 skala Richer, tetapi tidak terbukti bahkan gempa hebat disertai tsunami terjadi  pada  9.0 skala Richter.
Berdasarkan  gempa bumi dan tsunami  yang terjadi di Jepang minggu lalu , marilah kita menimba pengalaman dan meninjau ulang tentang rencana pendirian PLTN di Indonesia yang rencananya akan di bangun di Semenanjung Gunung Muria, Jepara, Propinsi Jawa Tengah, di  Propinsi Banten maupun di Propinsi Bangka Belitung. Rencana tersebut harus direncanakan secara  cermat dan hati-hati, mengingat resiko yang akan dihadapi apabila terjadi kebocoran dari reaktor PLTN tersebut. Memang ketiga Propinsi tersebut merupakan daerah yang belum pernah mengalami gempa bumi, tetapi harus diingat bahwa Indonesia dan Jepang bersama negara Asia lainnya seperti Filipina, Korea, negara di lautan Pasifik  merupakan negara kepulauan juga berada di daerah lempengan tektonik Pasifik,  Euro-Asia dan Australia yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan  gempa dan tsunami. Sejarah membuktikan bahwa umumnya gempa akan terjadi dan terulang kembali pada kisaran waktu 140-150 tahun akibat pergeseran lempengan tektonik yang bergerak antara 1,5 sampai 7,5 centimeter setiap tahun.
Dalam hal penggunaan sumber enersi dari tenaga nuklir sesungguhnya sangat  mahal ditinjau dari teknologi dan biaya pembangunan reaktor yang akan dikeluarkan (belum lagi resiko yang dihadapi) jika dibandingkan dengan pemanfatan sumber enersi seperti gas, batubara, panas bumi.  Sebagai neggara kepulauan, seharunya Indonesia mengoptimalkan sumber enersi yang berasal dari laut seperti pasang surut, gelombang, arus, OTEC (Ocean Thermal EnergyConversion), juga ada biofuel yang bersal dari ganggang laut dan relatif lebih murah dan  masih begitu melimpah potensinya di bumi Indonesia.  Marilah kita belajar menimba pengalaman dari  gempa dan tsunami  yang terjadi di Jepang tanggal 11 Maret 2011 yang lalu guna lebih hati-hati dalam menentukan program pembangunan nasional dengan selalu memperhatikan kondisi sumberdaya alam,  letak geografi   kesiapan SDM  masyarakat, serta penerapan teknologi yang tepat dan akurat. Semoga kita berhasil membangun negara tercinta lebih maju demi kesejahteraan bangsa.

Oleh: Prof. Dr. Sahala Hutabarat,M.Sc.
Guru Besar Oseanografi UNDIP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar