Jepang adalah satu negara yang sangat maju teknologinya dan sudah
dakui maupun dikagumi dunia. Walaupun menjadi bangsa gempa paling siap
di dunia, gempa bumi yang terjadi di Jepang pada hari Jumat tanggal 11
Maret 2011 pukul 14.46 waktu setempat (12.46 WIB) dengan kekuatan 9.0
dalam skala Richer yang melanda pantai timur laut Jepang, 400 km (250
mil) dari Tokyo, telah memicu tsunami dengan ketinggian gelombang
mencapai 10 meter dan meluluh lantakan bangunan gedung, kendaraan,
perahu/kapal, jalan raya, rel kerata api yang ada didaratan dan pantai.
Korban tewas masih belum terdeteksi secara akurat, tetapi paling tidak
sudah mencapai 16.000 orang yang dinyatakan meninggal. Meskipun kejadian
gempa dan tsunami tersebut sudah dapat diramalkan sejak dini dan
diantisipasi dengan persiapan secara cermat tetapi akibat yang
ditimbulkan oleh bencana alam tersebut telah menggagalkan upaya
kesiapan manusia. Kehancuran ini mengingatkan kita kepada peristiwa
gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004
dengan tinggi gelombang mencapai 30 meter serta membawa korban lebih
dari 200.000 jiwa manusia.
Bocornya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)
Bangunan PLTN yang berada disekitar tempat kejadian (Fukushima,
Dai-chi) telah mengalami kerusakan akibat gempa dan telah terjadi
kebocoran di 4 reaktor nuklirnya, sehingga lebih dari 380.000 orang
diungsikan ke tempat zona aman, ke radius 30 kilometer dar pusat PLTN.
Dinyatakan 22 orang telah terpapar radiasi dan lebih dari 190 warga
dikwatirkan terindikasi terpapar radiasi, dimana diperkirakan radiasi
nuklir meningkat 20% atau hampir 400 kali diatas normal dan berita
terakhir menyatakan bahwa radiasi sudah mengalami penurunan.
Jepang telah mengalami gempa 165 kali sejak tahun 1800, sehingga
bangsa ini sudah terbiasa menghadapi bencana alam tersebut, tetapi
gempa yang terjadi pada tanggal 11 Maret 2011 adalah gempa yang terhebat
dalam sejarah kegempaan di Jepang dan dunia. Sebelumnya, pada tanggal
1 September 1923 negara Jepang juga telah mengalami salah satu gempa
bumi hebat di abad ke-20 yang dikenal sebagai gempa bumi Great Kanto,
gempa ini menghantam dataran Kanto, menghancurkan Tokyo dan beberapa
bagian Yokohama. Hampir 140.000 orang tewas dalam gempa bumi dengan 7,9
di skala Richter tersebut. Dan gempa yang terjadi pada tanggal 11
Maret 2011 adalah yang terburuk dalam sejarah Jepang, tetapi diharapkan
tidak akan menyebabkan banyaknya korban jiwa seperti yang terjadi di
tahun 1923 tersebut, mengingat kesiapan antisipasi dan kemajuan
teknologi tinggi yang dimiliki negara Sakura tersebut. Secara fisik
kerusakan akibat bencana alam ini diperkirakan telah mengakibatkan
kerugian sampai 1500 triliun rupiah.
Pembelajaran Bagi Kawasan Negara Rawan Gempa
Dengan terjadinya gempa yang disertai tsunami tersebut, pemerintah di
beberapa negara lain yang rawan gempa seperti Indonesia, seharusnya
dapat belajar dari pengalaman Jepang dalam mempersiapkan diri guna
menghadapi bencana alam gempa melalui standar keamanan yang sangat
tinggi. Hampir semua penduduk telah dilatih sejak umur dini dalam hal
mengatasi keadaan darurat, khususnya menghadsapi gempa dan gelombang
tsunami. Bahkan infrastruktur publik dikembangkan sedemikian rupa
sehingga walaupun terjadi bencana alam seperti gempa bumi dengan skala
Richer antara 7 – 8, diharapkan akan mengakibatkan akibat dengan
kerugian minimum. Apa yang diperhitungkan manusia secara teliti dan
cermat, seperti pembangunan sejumlah reaktor nuklir yang telah
dipersiapakn dan dikelola dengan baik, dengan terjadinya gempa ternyata
masih dijumpai adanya kebocoran dan ledakan yang mengakibatkan radiasi
dari PLTN Fukushima, walaupun radiasi yang terdeteksi masih pada tingkat
atau level 5 dalam skala 0 – 7. Tingkat radiasi ini berbeda dengan
kebocoran yang terjadi di PLTN Chernobyl, Rusia tahun 1986 dimana
tingkat radiasinya sudah mencapai skala 7 yang mengakibatkan jatuhnya
korban manusia sebanyak 4000 orang dan menghancurkan seluruh daerah baik
fauna maupun floranya , sehingga akhirnya daerah tersebut tidak
diperbolehkan untuk ditinggali penduduk, karena sudah terpapar oleh
radiasi nuklir.
Kemampuan arsitek dan insinyur Jepang juga sangat mumpuni dalam
membangun bangunan yang tahan gempa karena mereka sadar bahwa letak dan
posisi negara tersebut berada di rentetan lempengan tektonik yang
sangat rawan terhadap gempa dan gunung berapi.. Dalam sejarah kegempaan
di negara lain, sudah terbukti akibat terjadinya gempa yang hanya
berskala Richer 7 – 7.5 sudah dapat menghancurkan bangunan dan
infrastruktur menjadi puing-puing, tetapi Jepang telah membuktikan
mampu untuk meminimalisasikan akibat gempa bumi besar sekalipun seperti
yang terjadi pada tanggal 11 Maret 2011 lalu. Sudah menjadi kenyataan
bahwa kerugian akibat gempa ini (seperti yang digambarkan dan
ditayangkan dalam liputan media cetak dan televisi) sangat besar,
secara fisik kerusakan akibat bencana alam ini diperkirakan telah
mengakibatkan kerugian mencapai 1500 triliun rupiah), tetapi dibalik
dari keadaan ini banyak hal yang dapat dipelajari tentang kesiapsiagaan
darurat bangsa Jepang yang sangat efektif dalam mengantisipasi dan
mengatur keadaan darurat khususnya dalam menghadapi bencana alam
seperti gempa bumi dan tsunami, dimana masyarakatnya tidak terlalu panik
menghadapinya. Bangsa Jepang pasti akan bangkit kembali seusai bencana
alam tersebut, seperti yang telah dibuktikan setelah mengalami
keterpurukan dalam Perang Dunia II dapat segera membangun negaranya,
sehingga menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.
Laut Solusi Krisis Energi Indonesia
Melihat pengalaman negara Jepang dalam menangani
gempa dan gelombang tsunami dengan telah menerapkan teknologi yang
demikian maju tetapi masih tetap tidak mempu mengalahkan alam. Kejadian
gempa tanggal 11 Maret 2011 di perairan timur-laut Jepang (pantai Miyagi
dan kota Sendai) tersebut, sesungguhnya telah diprediksi oleh para
ahli geologi Jepang, bahwa gempa yang akan terjadi di kisaran 7 – 8
skala Richer, tetapi tidak terbukti bahkan gempa hebat disertai tsunami
terjadi pada 9.0 skala Richter.
Berdasarkan gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Jepang minggu
lalu , marilah kita menimba pengalaman dan meninjau ulang tentang
rencana pendirian PLTN di Indonesia yang rencananya akan di bangun di
Semenanjung Gunung Muria, Jepara, Propinsi Jawa Tengah, di Propinsi
Banten maupun di Propinsi Bangka Belitung. Rencana tersebut harus
direncanakan secara cermat dan hati-hati, mengingat resiko yang akan
dihadapi apabila terjadi kebocoran dari reaktor PLTN tersebut. Memang
ketiga Propinsi tersebut merupakan daerah yang belum pernah mengalami
gempa bumi, tetapi harus diingat bahwa Indonesia dan Jepang bersama
negara Asia lainnya seperti Filipina, Korea, negara di lautan Pasifik
merupakan negara kepulauan juga berada di daerah lempengan tektonik
Pasifik, Euro-Asia dan Australia yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan
gempa dan tsunami. Sejarah membuktikan bahwa umumnya gempa akan terjadi
dan terulang kembali pada kisaran waktu 140-150 tahun akibat pergeseran
lempengan tektonik yang bergerak antara 1,5 sampai 7,5 centimeter
setiap tahun.
Dalam hal penggunaan sumber enersi dari tenaga nuklir sesungguhnya
sangat mahal ditinjau dari teknologi dan biaya pembangunan reaktor yang
akan dikeluarkan (belum lagi resiko yang dihadapi) jika dibandingkan
dengan pemanfatan sumber enersi seperti gas, batubara, panas bumi.
Sebagai neggara kepulauan, seharunya Indonesia mengoptimalkan sumber
enersi yang berasal dari laut seperti pasang surut, gelombang, arus,
OTEC (Ocean Thermal EnergyConversion), juga ada biofuel yang
bersal dari ganggang laut dan relatif lebih murah dan masih begitu
melimpah potensinya di bumi Indonesia. Marilah kita belajar menimba
pengalaman dari gempa dan tsunami yang terjadi di Jepang tanggal 11
Maret 2011 yang lalu guna lebih hati-hati dalam menentukan program
pembangunan nasional dengan selalu memperhatikan kondisi sumberdaya
alam, letak geografi kesiapan SDM masyarakat, serta penerapan
teknologi yang tepat dan akurat. Semoga kita berhasil membangun negara
tercinta lebih maju demi kesejahteraan bangsa.
Oleh: Prof. Dr. Sahala Hutabarat,M.Sc.
Guru Besar Oseanografi UNDIP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar