Mana yang lebih penting, daratan atau lautan? “Kedua-duanya sangatlah penting. Oleh karena itu Indonesia bukanlah my mother land atau my father land tetapi tanah airku.” Demikian jawaban bijak Agni Pratistha Arkadewi, yang akhirnya mengantar gadis belia ini untuk dinobatkan menjadi Puteri Indonesia 2006. Ucapan indah Sang Puteri, memang menyuratkan pentingnya lautan, sama seperti pentingnya daratan bagi bangsa. Hal ini pula yang sepatutnya mewakili wawasan kita sendiri, putera-puteri sejati bangsa Indonesia.
Kira-kira empat belas abad silam, nenek moyang kita sudah mengerti hal ini. Mereka sungguh dikenal sebagai pelaut perkasa. Kesadaran dan keunggulan bahari kerajaan Sriwjaya amat mumpuni di mata dunia saat itu. Ya, Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai penakluk samudera dunia. Ini senada dengan yang diungkapkan oleh Djoko Pramono (2005):
“Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan
maritim, mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam
menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun
beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi,
melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai serta untuk menjaga
wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.”
Wilayah kekuasan Sriwijaya membentang dari lautan Hindia hingga
lautan Tiongkok. Bukti sejarah dan arkeologi menunjukkan Sriwijaya telah
menguasai hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, yaitu
Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan
Filipina. Bahkan kegagahan pelayaran mereka terlacak hingga Afrika
Barat. Sebelum bangsa Eropa melakukannya, Sriwijaya sudah menualangi
laut sekeliling benua Afrika terlebih dulu.Armada angkatan laut dan perdagangan Sriwijaya pun menguasai jalur dagang dengan menggagahi Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Kerajaan yang juga membangun candi Borobudur ini merupakan penguasa rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Belum lagi komoditi dagang mereka pun sangat beragam. Kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kapulaga, gading, emas, dan timah membuat Raja Sriwijaya tidak pernah kalah makmur dibanding raja-raja bangsa lain di zamannya.
Keperkasaan bahari Sriwijaya sebagai nenek moyang bangsa Indonesia tidak pernah diragukan oleh bangsa-bangsa zaman itu. Lalu, bagaimana dengan anak cucunya, yaitu bangsa Indonesia di zaman sekarang, seribuan tahun setelah masa kejayaan Sriwijaya? Sayang sekali, nampaknya sulit dipercaya bahwa Indonesia merupakan keturunan langsung dari para pelaut Sriwijaya yang tersohor akan kejayaan maritimnya itu. Saat ini masih sangat banyak masalah kelautan di Indonesia yang menunggu untuk kita urai bersama.
Pertama, penangkapan ikan secara ilegal, atau biasa disebut illegal fishing, oleh bangsa-bangsa asing sudah menjadi kisah klasik yang tak kunjung usai. “Perairan Natuna, Sulawesi Utara, dan Arafuru adalah area perairan Indonesia di mana Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing sering terjadi,” ungkap Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad dalam keterangan persnya bulan April 2011 lalu. Apa dampaknya? Indonesia Maritime Institute melansir bahwa kerugian negara akibat penangkapan ikan ilegal mencapai Rp 80 triliun per tahunnya! Kerugian tersebut terdiri dari potensi ikan yang hilang mencapai Rp 30 triliun dan kehilangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 50 triliun setiap tahun. Jumlah yang sangat besar!
Lalu, siapa malingnya? Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pelaku pencurian ikan di perairan Indonesia secara berurutan peringkatnya diduduki oleh negara-negara tetangga yaitu Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, RRC, dan sejumlah negara lainnya. Tunggu sebentar, bukankah negara-negara ini adalah jajahan Kerajaan Sriwijaya di masa lampau? Relakah kita perikanan Tanah Air begitu saja dikangkangi nelayan maling dari negara-negara tersebut?
Kita patut mengapresiasi dan mendukung upaya pemerintah yang diwakili Kementerian Kelautan Perikanan dalam memerangi penangkapan ikan ilegal. Pertemuan 21 negara yang tergabung dalam Asia-Pacific Economic Development (APEC) telah membuahkan kesepakatan untuk lebih gencar memerangi penangkapan ikan ilegal bersama-sama. Kesepakatan ini termaktub dalam Deklarasi Paracas hasil Pertemuan Menteri Kelautan APEC di Peru, 11-12 Oktober 2010 lalu. Namun, selain bersepakat bersama, diperlukan juga ketegasan pemerintah dalam menindak praktisi penangkapan ikan ilegal ini. Ganjaran penjara hingga 5 tahun yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 Pasal 85 jo Pasal 101 perlu dilakukan secara serius dan tidak tebang pilih.
Kedua, setelah meninjau penangkapan ikan ilegal kini mari lihat wajah jasa pelayaran di Indonesia. Sangat mengejutkan bahwa jasa transportasi laut nasional ternyata lebih banyak dikuasai perusahaan asing. Berdasarkan data Departemen Perhubungan, pada tahun 2003, muatan angkutan laut luar negeri yang dilayani kapal nasional hanya sebanyak 15,1 juta ton barang atau 3,4%. Sedangkan, muatan angkutan laut luar negeri yang dilayani kapal asing mencapai 427,8 juta ton atau 96,6%. Padahal menurut Widihardja Tanudjaja, Deputy Chairman Indonesian National Shipowner Association, perputaran uang di bisnis ini angkanya bisa mencapai 46 miliar US$ per tahun. Belum lagi di jalur domestik, armada nasional paling banter hanya bisa menguasai pasar tak lebih dari 55%. Betapa ironinya bangsa ini!
Berkaca pada Sriwijaya yang menguasai jalur dagang nasional di zamannya, maka Indonesia kini pun tidak boleh tinggal diam ketika bisnis pelayaran di seantero laut negerinya sendiri digagahi oleh pihak asing. Lagi-lagi kita patut mendukung upaya pemerintah dalam Inpres No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran. Sejak keluarnya instruksi tersebut, total muatan armada nasional di rute domestik dan luar negeri diharapkan dapat terus merangkak naik. Namun, sesungguhnya Inpres saja tidaklah cukup. Dibutuhkan partisipasi dari semua pihak yang terkait (konsumen, penyedia jasa, pebisnis, aparat keamanan, dll) untuk menggenjot jasa pelayaran milik anak negeri.
Ketiga, batas maritim yang tidak jelas. Tidak sekali dua kali kita mendengar saling tangkap nelayan antarnegara tetangga. Pasalnya para nelayan itu dianggap telah berlayar mencari nafkah melebihi batas maritim negara mereka yang seharusnya. Namun sebetulnya batas maritim antara Indonesia dengan negara tetangga belum diatur secara lengkap. Masih hangat di ingatan kita bagaimana Pulau Sipadan dan Ligitan juga akhirnya lepas dari dekapan Ibu Pertiwi, lagi-lagi karena batas maritim yang tidak jelas. Penetapan batas ini dilakukan berdasarkan ketentuan Hukum Laut Internasional, yang diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982). Penetapan batas dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, India, Vietnam, Filipina, dll harus segera dilakukan demi menjaga kedaulatan NKRI atas darat dan lautnya sendiri.
Keempat, kemiskinan dan pendidikan rendah masyarakat pesisir. Sungguh ironi jika mengaku sebagai negara maritim, namun profesi nelayan merupakan pekerjaan yang identik dengan kemiskinan. Pemanfaatan potensi bahari mahadasyat di Indonesia, harus dibarengi dengan pembangunan ekonomi, pendidikan, kesehatan, atau singkatnya kesejahteraan para nelayan.
Belum lagi dibahas mengenai konflik sektoral antar lembaga yang bergerak di bidang kelautan. Juga belum pula dipaparkan mengenai kasus-kasus korupsi, pungli, dan suap di jajaran aparat kelautan yang berwajib. Ini yang membuat mereka tidak bisa berkutik dalam menindak tegas para maling laut Indonesia. Sebetulnya daftar masalah ini masih dapat dilanjutkan menjadi kelima, keenam, ketujuh, dan seterusnya.
Melihat setumpuk masalah yang ada, kita punya sejuta alasan untuk putus asa dan masa bodoh terhadap problematika kelautan Indonesia. Namun, teladan kegagahan dan keberanian pelaut Sriwijaya di masa lampau seharusnya kini menjadi pelecut semangat putera-puteri bangsa untuk membangkitkan kembali kejayaan Indonesia lewat potensi kelautannya. Kita tetap harus optimis dalam berjuang mengurai masalah demi masalah, satu per satu.
Djuanda telah memulainya. Adalah Hari Nusantara, hari yang diperingati bangsa Indonesia pada tanggal 13 Desember setiap tahunnya. Berbicara mengenai Hari Nusantara tentunya tidak akan terlepas dari tokoh pahlawan bangsa yaitu Djuanda Kartawidjaja. Sumbangsih paling strategisnya bagi Indonesia, muncul dari pernyataannya yang terkenal dan termaktub dalam Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957.
Sebelum Deklarasi Djuanda, wilayah RI merupakan pulau-pulau di wilayah Nusantara yang dipisahkan oleh laut di sekelilingnya. Berdasarkan Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939), setiap pulau di Nusantara hanya berhak atas laut di sekeliling sejauh tiga mil dari garis pantai. Peraturan ini memberi ruang yang leluasa bagi kapal-kapal asing untuk berlayar menyusuri laut yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia. Tentunya juga memberi kesempatan pada mereka untuk menambang “harta kekayaan” di dalamnya.
Gebrakan Djuanda Kartawidjaja mengubah wajah perairan di Tanah Air. Deklarasi Djuanda menghasilkan isi antara lain: (1) bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri, (2) bahwa sejak dahulu kala kepulauan Nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan, dan (3) ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia.
Deklarasi ini memiliki tujuan untuk: (1) mewujudkan bentuk wilayah kesatuan RI yang utuh dan bulat, (2) menentukan batas-batas wilayah NKRI, yaitu laut teritorial sejauh 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau Indonesia, sesuai dengan azas negara kepulauan, dan (3) mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.
Deklarasi yang dipelopori Perdana Menteri terakhir Indonesia ini telah menggemparkan dunia internasional. Bahkan Amerika Serikat dan Australia yang notabene adalah negara daratan tidak langsung menerima sikap Indonesia ini. Namun, setelah 25 tahun perjuangan gigih dengan diplomasi yang panjang dan alot, akhirnya di tahun 1982 dunia menerima dan menetapkan konsepsi negara Nusantara dalam Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS).
Prinsip-prinsip negara kepulauan (Nusantara) dalam konsepsi tersebut telah berakibat bertambahnya luas wilayah Indonesia hingga 2,5 kali lipat! Dan wilayah Indonesia menjadi bulat dan utuh tidak terpisah-pisah oleh lautan. Kini lautan menjadi pemersatu lebih dari 17.500 pulau di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Luas laut Indonesia dari 2,02 juta km2 mencapai 5,8 juta km2, atau setara tiga per empat (75,3%) dari keseluruhan wilayah Indonesia. Wilayah laut dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Dengan demikian, Indonesia menjadi negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Bahkan Jusman Safeii Djamal, Menteri Perhubungan di tahun 2008, mengatakan bahwa Indonesia saking besarnya merupakan benua maritim—bukan lagi negara maritim.
Deklarasi Djuanda kala itu adalah wujud keberanian bangsa Indonesia mendobrak sistem pelayaran Internasional yang merugikan bangsa. Namun, deklarasi tinggallah pernyataan belaka, jika di dalam implementasinya puluhan tahun kemudian kita masih gagap dalam melaut dan pasrah dimalingi oleh negara-negara tetangga!
Djuanda Kartawidjaja, kelahiran Tasikmalaya, 14 Januari 1911, pada masanya telah berani berjuang mengusung kembali kejayaan maritim Indonesia. Alhasil kini laut Indonesia terbentang begitu luasnya mempersatukan belasan ribu pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, dan dari Miangas hingga Rote. Djuanda telah membuka jalan bagi para penerusnya untuk mendulang pelbagai sumber daya alam laut bagi kebaikan bangsa Indonesia. Djuanda yang visioner pun telah mendorong persatuan dan kesatuan bangsa melalui laut. Ia tidak melihat laut sebagai pemisah pulau, tetapi justru sebagai pemersatu Nusantara.
Secara geo-politik, Deklarasi Djuanda punya makna yang sangat strategis bagi persatuan dan kesatuan Indonesia. Kita teringat tiga pilar utama dari bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tiga pilar utama tersebut antara lain: (1) Kesatuan kejiwaan di dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang merupakan pernyataan “Kesatuan dan Persatuan Indonesia”; (2) kesatuan kenegaraan dalam proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan NKRI; (3) kesatuan kewilayahan Indonesia (darat, laut, dan udara) dalam Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Tentunya sumbangan Djuanda ini sangat bermakna bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, kesatuan wilayah melengkapi kesatuan jiwa dan kesatuan negara.
Secara geo-ekonomi deklarasi ini juga mahastrategis bagi kejayaan dan kemakmuran Indonesia. Sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat besar dan beraneka-ragam, baik berupa sumber daya alam terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), sumber daya alam yang tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya), juga energi kelautan seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut.
Potensi laut Indonesia, seperti disebutkan di atas, sungguh nyata dapat menggerakkan roda perekonomian nasional. Seperti dikutip dari Indonesia Maritime Institute, potensi ekonomi kelautan Indonesia diperkirakan mencapai Rp 7.200 triliun per tahun atau enam kali lipat dari APBN 2011 (Rp 1.299 triliun) dan satu setengah kali PDB saat ini (Rp 5.000 triliun). Juga lapangan kerja akan tercipta lebih dari 30 juta orang. Mengetahui potensi mahadasyat ini, sudah saatnya kita secara serius mewawas dan membangun bersama bidang kelautan Indonesia. Bukankah hanya dengan potensi laut, Indonesia sudah bisa berdiri mandiri membiayai anggarannya sendiri setiap tahun?
Oleh karena itu, benarlah perkataan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia Fadel Muhammad, ”Sudah saatnya kita (Indonesia) harus berpaling ke laut karena masa depan kita berada di laut.” Kita patut menyingsingkan lengan baju, bekerja bersatu bahu membahu mewujudkan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim. Dukung dan awasi upaya pemerintah dalam merencanakan, mengorganisir, mengaktualisasi, dan mengkaji kebijakan-kebijakan pembangunan berbasis kelautan, yaitu ocean policy, ocean governance, dan ocean economic. Dukung dan awasi upaya Departemen Kelautan dan Perikanan dalam mewujudkan visi Indonesia sebagai negara penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar dan bebas penangkapan ikan ilegal tahun 2015.
Samaratungga, sang Raja Sriwijaya telah membuktikan kejayaan bahari Nusantara 1000 tahun yang lalu. Dan Djuanda telah memulai usaha pemulihannya 1000 tahun kemudian. Apa bagian kita kini?
Jika Djuanda kini masih hidup dan berceramah pada peringatan Hari Nusantara, kira-kira apa yang akan ia khotbahkan? Mungkin ia akan begitu marah mendengar Sipadan dan Ligitan yang lenyap digondol bangsa asing. Mungkin ia akan berseru-seru mengenai persatuan dan kesatuan bangsa untuk menjaga teritori bersama. Mungkin ia akan geram melihat kemiskinan dan pendidikan rendah pada masyarakat pesisir di sekujur garis pantai Indonesia. Mungkin ia akan memperjuangkan mati-matian pembangunan Indonesia berwawasan kelautan di depan presiden dan di badan-badan kehormatan negara.
Lalu, jika Samaratungga sang Raja Sriwijaya yang tersohor itu bangkit kembali dan berceramah pada peringatan Hari Nusantara, kira-kira apa yang akan ia serukan? Mungkin ia akan mengacung-acungkan telunjuknya tanda kecaman atas penangkapan ikan ilegal oleh negara-negara bukan maritim di sekitar Indonesia. Mungkin ia akan gusar tak habis pikir akan jasa pelayaran di Indonesia yang didominasi perusahaan asing. Mungkin ia akan naik pitam mengutuki korupsi dan kecurangan yang menggerogoti tubuh aparat di laut-laut Indonesia.
Masa depan bangsa Indonesia terletak pada lautnya. Kini Djuanda dan Samaratungga telah tiada. Kitalah pengganti mereka. Mari kembalikan kejayaan maritim Nusantara!
Berantas eksploitasi ikan ilegal oleh bangsa asing!
Jadilah tuan rumah yang berkuasa atas laut sendiri!
Indonesia, berdirilah tegap sebagai negara maritim!
Biarlah kelak setiap hari anak cucu kita boleh berbangga, “Indonesia bukanlah my mother land atau my father land tetapi tanah airku.”